Setitik Harapan

1086 Words
"Neng." Suara bariton Adam menggema disusul suara deritan pintu. Merasa namanya dipanggil, Ara cepat membalik tubuhnya guna menghapus air matanya. "Nasinya sudah matang. Ayo kita makan." "Iya, Bang," sahut Ara setelah selesai membersihkan kedua sudut matanya. Adam menganggukkan kepalanya yang menyembul di celah pintu. Setelah melihat Ara hendak berjalan keluar, ia langsung melangkah lebih dulu menuju ruang makan. Keduanya menyantap makanan dengan lahap. Melupakan sejenak permasalahan yang tengah menghimpitnya. Selesainya makan, Ara langsung membawa gelas dan piring kotor menuju wastafel. Adam mengikuti langkah Ara, hendak bertanya tentang hasil rencananya yang mau meminjam uang pada Yuanita. Dalam hatinya ia sedikit berharap kalau Ara sudah mendapat pinjaman itu. Kedua tangan Adam melingkar erat di pinggang Ara, sekedar pemanis agar suasana tidak terlalu canggung. "Abang, lepas. Neng susah bergerak," ujar Ara yang kini menghentikan aktivitasnya mencuci piring. Adam tidak menghiraukan ucapan Ara, ia justru menyandarkan dagunya di pundak istrinya. "Bang," desis Ara saat tak mendapat sahutan dari Adam. "Hmm." Adam menghirup dalam-dalam aroma wangi tubuh Ara. Wangi yang membuatnya candu. Ara berdecak halus. Dengan paksa ia melepaskan tangan Adam. "Lebih baik Abang bantu Neng mencuci piring." Ara sigap membilas piring dan gelas kotor yang sudah ia sabun, lantas menyerahkannya pada Adam. "Issh. Kau ini, tidak bisa diajak romantis," cecar Adam. "Neng capek, Bang. Cepat rapikan piringnya, lalu mandi," titah Ara tegas. Mentari sudah kembali ke peraduannya sejak beberapa menit lalu. Ara bergegas kembali ke kamarnya. Setelah seharian melakukan pekerjaan rumah membuatnya kelelahan. Adam cepat melakukan perintah Ara. Menyusun rapi piring yang sehabis dicuci Ara di rak. Di kamarnya, Ara mengecek lagi ponselnya. Berharap ada balasan pesan dari Yuanita. Namun, yang ditunggu tak jua menampakkan diri. "Ya Tuhan, kemana lagi aku harus mencari pinjaman?" gumam Ara sembari melipatgandakan kedua tangannya. Pandangannya menatap kosong mengarah ke depan. "Kau kenapa Neng?" tanya Adam yang kini berada di ambang pintu kamar. Ia menutup pintu dengan hati-hati, takut akan membangunkan Kay yang sudah tertidur pulas. "Maaf, Bang. Aku tidak berhasil memperoleh pinjaman. Yuanita tidak mengangkat telepon atau membalas pesanku," ungkap Ara sendu. Adam perlahan merangkak naik ke atas ranjang. Mengambil tempat duduk di dekat Ara. "Ya sudah tidak apa-apa. Besok Abang pagi-pagi akan ke pasar untuk jadi tukang panggul. Sehingga siang nanti kau bisa membeli gas." "Tapi, bukannya Abang harus mengirim surat lamaran kerja?" sergah Ara. "Itu bisa nanti-nanti, Neng. Yang terpenting sekarang kita bisa mendapat uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari." Ara terdiam di tempatnya. Membenarkan ucapan Adam. Hanya menjadi kuli panggul lah yang mendapat upah harian hingga mereka bisa makan hari itu juga. "Neng." Adam tiba-tiba menggenggam tangan Ara. Dadanya terasa sesak melihat istrinya yang tampak lesu. "Sabar, ya. Mungkin rezeki kita memang berada di pasar," ucap Adam mencoba membesarkan hati Ara. "Iya, Bang." "Jangan terlalu dipikirkan. Badanmu lelah, mari kita rehat." Ara diam menurut. Perlahan ia merebahkan tubuhnya. Pelan-pelan, kelopak matanya terpejam saat sebuah kecupan hangat mendarat di dahinya. "Selamat malam, terima kasih sudah mau bertahan denganku sejauh ini." *** Mentari kembali terbit di ufuk timur. Satu hari telah terlewati lagi. Kalau Hari kemarin adalah masa lalu, hari ini adalah masa depan yang harus dihadapi. Sama dengan hari kemarin, hari ini Adam berangkat untuk mencari pekerjaan. Semalam, bidan yang menolong persalinan kemarin datang untuk berkunjung melihat Ara dan bayinya. Rezeki anak pasti selalu ada, itulah yang terjadi pada Kay. Diakhir kunjungannya, bidan itu memberikan beberapa lembar uang puluhan pada Ara. Meski tidak banyak, tetapi itu sudah cukup untuk beli gas dan beberapa kebutuhan Kay. "Abang berangkat dulu ya," pamit Adam dengan senyum ceria. Besar harapannya agar kali ini ia bisa menemukan lowongan pekerjaan. "Iya, Bang. Hati-hati." Ara menghantar Adam sampai beranda rumah. Ia melambaikan tangannya sebelum sosok Adam menghilang di ujung jalan. Jam menunjukkan pukul delapan pagi, matahari begitu cerah. Waktu yang pas untuk menjemur Kaylani. Semalam, Bu bidan mengatakan jika kondisi Kaylani sedikit kuning. "Ara ...." Suara cempreng seorang wanita yang memanggil Ara membuat fokus Ara kini tertuju padanya. "Yuanita!" panggil Ara yang nampak tidak percaya jika sahabatnya kini sedang berkunjung di gubuk reyotnya. Yuanita yang jaraknya sedikit jauh kini mulai mendekati Ara. "Maaf kemarin aku tidak mengangkat telpon darimu. Aku juga baru baca pesan darimu, berhubung aku ada syuting di dekat sini jadi aku mampir," papar Yuanita. "Tidak apa-apa, Yun. Ayo, kita masuk," ajak Ara. Yuanita menoleh ke gubuk Ara, nampak kosong dan kotor. Lalu ia kini memfokuskan pandangannya pada Ara, yang nampak kumuh dan sedikit bau. Wanita yang kini namanya sedikit melejit di dunia entertainment, saat sampai di halaman rumah Ara, ia tidak fokus dengan sekitar sebab ia memfokuskan pada alas kakinya yang berharga jutaan kini menginjak tanah liat. "Ra, ini hidupmu yang sekarang?" tanya Yuanita dengan sedikit mengejek. Ara hanya tersenyum menanggapi ucapan Yuanita. menganggap ucapan itu seperti angin lalu. "Harusnya dulu kau tidak menikah dengan suamimu yang sekarang, andaikan kau mau menikah dengan bos tanah itu, pasti hidupmu sudah enak, Ra!" celoteh Yuanita. "Iya, enak tapi makan hati!" sahut Ara. Bukan tanpa sebab Ara berkata demikian, sebab bos tanah itu sudah memiliki 5 istri, dan jika Ara mau, ia akan menjadi istri ke 6. "Dari pada sekarang enak gak, makan hati, iya!" celetuk Yuanita. Dalam hati Ara, ia mencoba untuk bersabar. Masih dengan senyum yang tercetak jelas di wajahnya, Ara berkata, "Mungkin sudah takdir, Yun. Ayo, masuk. Gak enak ngobrol di depan rumah begini. Apalagi kau artis." Mau gak mau Yuanita mengikuti ucapan Ara, untuk masuk ke dalam rumah. Gaun yang berharga hampir puluhan juta kini mengenai lantai rumah Ara yang masih berbentuk semen tanpa keramik. "Aduh, Ra. Kau bisa ya tinggal di tempat kayak kandang sapi begini?" "Mau gimana lagi, Yun. Dari pada tidur di kolong jembatan," sahut Ara. "Ngomong sama kau kayak ngomong sama tembok. Sudah sana taruh anakmu dulu, ada yang ingin aku sampaikan padamu!" Ara mengikuti ucapan Yuanita, meletakkan Kaylani ke dalam kamar. Membiarkan bayi mungil itu untuk tertidur pulas tanpa mendengar perbincangan para orang dewasa. Setelah selesai Ara kembali menemui Yuanita yang kini tampak menjelajah ke dapur. "Ara, kau tidak punya air putih?" tanya Yuanita. "Ada, itu lagi direbus." "Astaga, beli galon, Ra. Hari gini masih minum air rebusan." "Sudahlah, kau mau minum apa?" tanya Ara, mengalihkan pembicaraan. "Tidak usah, aku ke sini selain mau memberikan pinjaman juga mau memberitahukan kalau manager ku tertarik padamu dan mau mengajak kau terjun ke dunia entertainment." "Apa kau bersungguh sungguh?" tanya Ara dengan binar penuh harap. "Iya, kemarin saat kau menelpon, ponselku sedang dipegangnya. Karena menjaga privasi jadi ia tidak mengangkat. Lalu ia bertanya tentangmu dan aku menjawab apa adanya." Wajah Ara berubah rona menjadi kemerahan saat mendengar kalimat terakhir Yuanita. "Bagaimana, apa kau minat?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD