Teka-Teki

1003 Words
"Untuk sekarang aku belum minat, Yun!" jawab Ara lirih. Ia ingat dulu saat ia menerima tawaran yang diberikan oleh Yuanita, berefek pada rumah tangganya. Dirinya bertengkar hebat dengan sang suami untuk menyetujui keinginannya untuk ikut terjun ke dunia entertainment. Setelah perdebatan panjang, Adam tak juga memberikan izin. Sehingga Ara dengan modal nekat mengambil pekerjaan itu. Namun, takdir seakan tidak berpihak pada dirinya. Ia gagal menjadi artis karena dirinya hanya mendapat peran sebagai pembantu. Sangat jauh dari ekspektasinya. Ia pikir, karena manager Yuanita yang menunjuk langsung dirinya, ia akan mendapat job sebagai peran utama. Hal inilah yang menjadi awal dirinya menjadi bulan-bulanan oleh orang sekampung. Bahkan, terkadang postingannya di media sosial mendapatkan bully-an dari netizen yang tidak dikenal. "Kau yakin? Dibandingkan kau hidup sengsara seperti ini, lebih baik kau mencobanya dulu. Lihat aku, semua yang melekat pada diriku adalah barang branded dengan harganya yang tidak main-main!" celoteh Yuanita membanggakan diri. Ia menyibak rambutnya, memamerkan perhiasan yang melekat pada lehernya. "Dan ini, ini juga harganya sangat fantastis lho," sambung Yuanita. Ara hanya tersenyum tipis mendengar celotehan Yuanita yang terus membanggakan diri. Saat ia berada di masa depan, dirinya sudah menyelidiki bagaimana cara Yuanita bisa mendapatkan kekayaan itu, dan ternyata, di samping bekerja di dunia hiburan, Yuanita juga menjadi teman tidur sang manager. "Dasar manusia," gumam Ara pada sendiri. Ingin sekali rasanya ia mematahkan kesombongan yang kini ditunjukkan sang sahabat. Tetapi apalah daya, ia tak memiliki bukti. Sanggahannya hanya akan membuat hubungan persahabatan mereka retak. "Ara? Coba pikirkan lagi." Yuanita memasang ekspresi seserius mungkin. "Iya, Yun. Kalau di pikir-pikir, suamiku mungkin juga tidak akan mengizinkan," jawab Ara selogis mungkin. Kini ia sedikit menyesal karena saat semalam ketika terpuruk justru mengabari Yuanita. Bukan teman-temannya yang lainnya. Kadang emosi bisa membuat dirinya salah menentukan arah dan mengulang kejadian yang seharusnya ia hapus dalam jalinan benang kehidupannya. "Aku tau betul Adam seperti apa. Dia tipikal laki-laki penurut. Kau hanya perlu membujuknya, dan dia pasti akan mengalah." "Aku tau, tapi Adam kadang suka berpikir kritis. Aku baru saja lahiran, bayiku saja masih merah. Aku belum sepenuhnya bisa beraktivitas dengan pekerjaan berat." Ara menggigit bibir bawahnya pelan. Berharap Yuanita akan berhenti merecokinya. Yuanita tak kehabisan kata-kata. Dengan cepat ia menimpali. "Kau bisa bekerja setelah luka bekas lahiran itu sembuh." "Tidak semudah itu, Yun. Kalau aku bekerja di dunia entertainment, siapa yang akan mengurus anakku? Suamiku sekarang masih menganggur. Kami tidak memiliki uang untuk menyewa baby sister." "Aku bisa meminjamkan uang untukmu." Ara merasa putus asa. Ia terdiam sesaat guna mencari alibi yang pas. "Apa lagi yang kau pikirkan, Ra. Ini semua juga demi keluargamu. Bayangkan kalau kau menjadi kaya raya seperti aku, selain bisa mengangkat status sosialmu, masa depan anakmu juga akan terjamin," ucap Yuanita menggebu. Bukan hanya tak tega melihat kondisi rumah Ara, tetapi apa kata teman-teman sosialitanya kalau sampai melihat ia berteman dengan gembel seperti Ara? Ara menautkan alisnya nampak berpikir lagi, sekaligus menjeda obrolannya. selang beberapa menit ia baru melanjutkan, "Pekerjaan yang kau tawarkan memang sangat menjanjikan, Yun. Tapi aku sangat menyayangi anakku. Aku tak ingin melewatkan masa-masa pertumbuhannya begitu saja. Mungkin lain kali aku akan menerima tawaran itu," papar Ara mencoba menolak secara halus tawaran dari Yuanita. "Kesempatan tidak bisa datang dua kali, Ra. Kau tahu, tahun ini adalah kesempatan untuk meniti karir." Yuanita mencoba membujuk Ara kembali. Baru saja Ara ingin membuka suaranya menjawab ucapan Yuanita. Suara Kaylani yang kini menangis terdengar di gendang telinganya. Ara buru-buru masuk ke dalam kamar untuk melihat Kaylani, tanpa meminta izin kepada Yuanita. "Sayang, kau kenapa?" tanya Ara sembari mengangkat tubuh mungil Kaylani. Lalu menimangnya agar tangis Kaylani mereda. "Kau haus?" tanya Ara kembali, yang nyatanya tidak mendapatkan jawaban hanya tangis yang semakin nyaring. Ara sigap memeriksa tubuh bagian bawah Kay, berjaga-jaga kalau anaknya sehabis memenuhi panggilan alam. Namun, nyata nihil semua nampak bersih. "Sayang, kau kenapa? Diam ya Mama di sini," ujar Ara setelah memastikan pakaian Kay masih bersih. Sementara Yuanita yang masih berada di luar kini ikut masuk ke dalam kamar. "Anakmu itu kepanasan, lihatlah kamar ini sama sekali tidak ada ventilasi, dan tidak ada alat pendingin," ucap Yuanita sembari mengibas-ngibaskan tangannya. Menyindir sekaligus memberitahu. "Sepertinya begitu, aku akan mengajak Kaylani keluar," sahut Ara dengan cepat berharap Yuanita juga ikut keluar tanpa harus berkomentar lebih banyak lagi dengan kamar yang terbilang sangat minim itu. Kali ini Ara membenarkan ucapan Yuanita, karena Kaylani langsung menghentikan tangisnya saat sudah berada di luar kamar, dan terkena dinginnya baling-baling kipas angin serta sepoi-sepoi angin yang masuk melalui jendela rumah. "Tuh benar kan, coba sekali lagi pertimbangkan tawaran yang aku berikan ini. Semua juga demi anakmu, jika ekonomi kau membaik kebutuhan anakmu juga akan terjamin, Ra!" seru Yuanita dengan nada mencibir. "Baiklah, Yun. Aku akan mempertimbangkan penawaran yang kau berikan sekaligus meminta izin juga pada suamiku," putus Ara guna melegakan hati Yuanita. Sahabatnya itu memiliki sifat memaksa, seribu alasan menolak pun percuma. Namun, Ara sendiri kini justru memikirkan kata-kata Yuanita. Ingatan Ara menerawang ke depan penderitaan kemiskinan yang ia alami masih akan sangat panjang jika tidak ada perubahan. "Haruskah aku menerima tawaran Yuanita? Kalau dulu aku gagal, mungkin dengan memperbaiki penampilanku itu akan membuatku berhasil tenar," pikir Ara. "Nah, begitu dong! Sini aku gendong dulu anakmu, dan sepertinya dia haus kau segeralah buat s**u," perintah Yuanita yang seakan bisa menebak apa yang sebentar lagi diinginkan oleh bayi mungil itu. Ara pun memberikan Kaylani pada Yuanita dan ia membuat s**u. Dalam fokusnya saat membuat s**u, benak Ara justru sibuk bernostalgia. Apakah kejadian seperti ini dulu pernah terjadi? Tangan Ara yang tengah mengaduk s**u tiba-tiba terhenti. Kepalanya memutar penggalan kejadian saat itu. Ya, dulu dirinya sangat excited dengan tawaran Yuanita sehingga tanpa pikir panjang ia langsung menitipkan Kay pada tetangganya. Siang itu juga keduanya berangkat menemui manager. Keduanya pulang malam karena berpesta kecil merayakan pekerjaan barunya. Inilah yang membuat Adam murka. Ara menarik napas panjang. Bila sekarang ia meminta izin pada Adam, dan bisa mengatur waktu sebaik mungkin agar bisa merawat Kay dan bekerja, apakah rumah tangganya akan baik-baik saja? Dan teruntuk kariernya, apa bisa melejit? Ara mengelap wajahnya gusar. Hidup memang penuh teka-teki bukan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD