Perdebatan Kecil

1270 Words
Jarum jam kini sudah menunjukkan pukul 16.00 WIB. Detak jantung Ara semakin menggila, setelah berpikir panjang ia berniat untuk menerima tawaran dari Yuanita dan meminta izin secara baik-baik kepada sang suami, Adam Suseno. "Tenang, Ra. Jika kau memberikan alasan yang logis, pasti bang Adam akan mengerti. Lagi pula kau tidak mungkin kan hidup dalam kemiskinan terus menerus meskipun kau hanya mengulang waktu," gumam Ara berdialog sendiri. "Iya, ini semua demi Kay agar dia memiliki masa depan yang cerah. Di masa depan kau sudah gagal, kali ini kau harus memperbaikinya. Yakinlah Ara, di dunia ini tidak ada yang pasti kecuali kematian. Kau memang bisa mendapatkan kesempatan sekali, tapi kau juga tidak bisa memastikan apa yang terjadi esok nanti," imbuh Ara. Ia menarik napas panjang, kemudian menghembuskannya perlahan. Tekadnya sudah bulat, ia hanya perlu menunggu waktu yang tepat. Ara menyibak gorden ruang tamunya, mengintip kedatangan sang suami. "Kenapa abang belum sampai juga," keluh Ara sembari membenarkan kembali gorden warna biru tua itu. "Sepertinya keputusanmu sudah benar, Ra." Semangat ibu muda beranak satu itu kian menggebu. Ia teringat ketika tadi pagi Adam memberitahukan dirinya kalau dia akan pulang terlambat. Suaminya itu hendak mampir ke tempat pos untuk mengirimkan lamaran pekerjaan. perjalanan itu Adam tempuh dengan jalan kaki. Bayangkan, berjalan sejauh delapan kilometer! Tak mau dihinggapi gelisah yang tak menentu, Ara segera kembali ke dapur. Berkutat dengan pisau dan rempah-rempah. Selang beberapa menit, suara bariton yang Ara tunggu akhirnya menyapa gendang telinganya. "Neng," panggil Adam seperti biasanya setelah pulang bebergian. Lalu Lelaki itu pasti akan mendudukkan pantatnya di bangku rotan beranda. Ara sudah memberikan Adam nasehat berungkali. Kalau sehabis pulang pergi, dia seharusnya langsung masuk ke dalam rumah terlebih dahulu. Agar dirinya tak perlu membuang tenaga keluar. Namun, sayangnya, hal itu sudah menajdi kebiasaan sehingga sangat susah untuk dirubah. "Iya, Bang," jawab Ara dari arah dapur. Tanganya cekatakan memindahkan sayur tumis kangkung yang baru dimasaknya ke atas piring. Seusainya, wanita yang memiliki hidung sedikit mancung itu menghampiri suaminya. "Abang,, kenapa tidak masuk ke dalam," cerca Ara dengan malas meraih tangan suaminya, menciumnya singkat. "Abang sudah lelah. Sini, duduk." Perlahan Ara mendudukan pantatnya di kursi seberang Adam. Ia tahu, kalau sudah begini, suaminya pasti ingin berbincang-bincang dengannya untuk melepas lelahnya. "Ini, Neng. Hasil hari ini, bisa buat beli beras. Sisanya bisa Neng simpan buat beli s**u Kay jika sudah habis. Untuk biaya kontrakan nanti Abang pikiran semoga sebelum akhir bulan Abang sudah mendapatkan pekerjaan," celoteh Adam dengan nada cepat beserta napas yang kian memburu. "Baik, Bang. Neng akan simpan uangnya," ucap Ara tanpa protes. Walau dalam hatinya ia ingin menyemprot Adam. Menurutnya, hal seperti itu tak perlu dijabarkan pun ia sudah mengerti. "Apa kau sudah selesai memasak?" "Sudah," sahut Ara singkat. Gejolak batinnya sudah memburu, mengisyaratkan bila ia harus mengatakan apa yang ia inginkan. Ditambah dengan celoteh Adam yang sudah mengawali pembicaraan, sepertinya ini moments yang pas. "Kay sedang tidur?" "Iya." Ara meremas ujung pakaiannya. Gemas dengan Adam yang terus mengoceh sebelum dirinya sempat berbicara. "Dia tidak rewelkan?" "Tidak. Bang, tunggu dulu Neng mau berbicara sebentar," ujar Ara dengan cepat membungkam mulut Adam. "Iya Neng, tapi sebelum Neng berbicara, Abang mau bercerita sedikit." Adam yang ingin bercerita tentang keseharian yang ia alami tak mau mengalah. Ia menarik napas dalam-dalam, bersiap bercerita. "Mau cerita apa Bang?" tanya Ara dengan kening berkerut, penasaran dengan celoteh yang akan disampaikan suaminya. Tidak masalah ia menunda keinginannya asal Adam merasa senang terlebih dahulu. Ada yang mengatakan jika mood booster membaik maka urusan pun membaik juga. "Neng, kau tahu, tadi di pasar ada artis yang sombongnya minta ampun. Dia sendiri yang memutuskan untuk berbelanja di pasar, eeeh dia sendiri juga yang marah-marah," ucap Adam dengan nada kesal. Sebagai pekerja pasar, ia juga merasa tersinggung dengan sikap sang artis. Deg. Jantung Ara seketika berpacu lebih kencang. Mendadak perasaannya menjadi tidak enak. "Abang tahu popularitas dia sedang naik daun, tapi jika dia terus bersikap sombong pasti banyak orang yang akan menjatuhkan dirinya hingga sampai ke akar-akarnya." Ucapan Adam membuat bibir Ara terkatup rapat. Rasanya ia ingin menyela ucapan Adam dan menenangkan emosi suaminya. Namun, bibir Adam terlihat seolah masih ingin mengatakan banyak hal. "Abang berharap, semoga keluarga kita kelak tidak ada yang berkeinginan menjadi artis. Apalagi lagi Kay, besok ketika dia sudah dewasa, aku ingin dia jadi dokter saja," imbuh Adam. Kali ini Ara tak bisa menahan bibirnya. Ia pun langsung menyahuti ucapan Adam. "Tapi Bang, gaji artis sangat besar. Masa depan Kay pasti akan terjamin." "Untuk apa memiliki uang banyak, kalau itu hanya menjadikan diri ini manusia yang sombong? Percayalah tidak ada buah manis yang akan kita tuai dari kesombongan." "Tidak semua artis itu sombong. Perilaku kita tergantung pribadi masing-masing bukan harta," sergah Ara. Meski ucapan Adam ada benarnya. Harta memang terkadang bisa membuat seseorang lupa diri, tetapi ia sangat membutuhkan pekerjaan ini. Dan ia yakin, dirinya pasti bisa mengontrol diri. "Tapi, banyak yang begitu. Kau tahu kan uang bisa merubah segalanya, bisa memberikan kebahagiaan dan juga bisa memberikan duka," timpal Adam yang sepertinya tidak ingin kalah dalam beradu pendapat. Adam memang tipe orang yang kalem dan lembut, tetapi jika untuk mengutarakan suatu pendapat dia seperti rumput liar yang sulit untuk mati. Meskipun sudah dicabut akan tumbuh lagi dan lagi. Pupus sudah harapan Ara. Niatnya yang menggebu kini berubah menjadi abu setelah melihat dari ekpresi Adam yang tampak kukuh. Demi mengalihkan topik pembicaraan Ara pun berkata,"Sudahlah Bang. Kau sudah makan?" "Tentu belum Neng, Abang belum bisa makan jika tanpa dirimu," ucap Adam ingin bersikap seromantis mungkin. "Abang bisa saja. Ya sudah ayo, kita makan. Neng sudah masak menu favorit Abang, tumis kangkung dan tempe goreng," ungkap Ara. "Wah, lezat itu. Tapi kau dapat uang dari mana untuk belanja?" tanya Adam yang penasaran. Meskipun ia mendapatkan uang dari Bu bidan tapi itu sudah untuk membeli gas dan keperluan Kaylani yang lainnya, seperti pempes, tissue basah dan seperangkat alat bayi. "Tadi Yuanita kemari. Dia memberikan aku uang. Jadi bisa aku belanjakan." "Dia tidak mengajakmu untuk terjun ke dunia entertainment kan?" tebak Adam dengan mata memicing. Jika dalam iklan, ngeteh bisa membuat saling berbicara dan mencairkan situasi, maka di hidup Ara, makan adalah hal yang paling bisa mencairkan situasi. "Iya Bang, tadi dia menawarkan aku sebagai artis. Tapi aku belum menerima ataupun menolak. Karena aku sadar harus meminta izin dulu dan Abang, dan memikirkan kembali nasib Kaylani," papar Ara dengan nada sendu, tetapi jemarinya tak lupa mengambilkan makanan untuk Adam. "Tapi Abang tidak suka kalau Neng jadi artis." "Tapi Bang ...." Ara memberikan jeda pada ucapannya mengatur suaranya sedikit menghalus agar emosi Adam tidak meledek. Kemudian melanjutkan kalimatnya, "Maaf Bang, bukan Neng tidak bersyukur dengan rejeki yang setiap hari Abang bawa pulang. Tapi, semua demi keluarga Bang, demi Kaylani agar hidup lebih baik lagi melebihi orang tuanya." "Iya Neng, Abang tahu maksud Neng. Tapi, Kaylani masih membutuhkan Neng." Ara hanya bisa menarik menghela napas pelan. Rasanya percuma jika terus berbicara. 'Es batu tidak akan langsung mencair setelah di diamkan di luar pendingin, es itu juga masih butuh waktu. Begini pun dengan sifat suaminya yang berwatak keras tapi lembut, ia hanya bisa membujuk sedikit demi sedikit. "Ya sudah Bang, yang penting Abang makan dulu," ucap Ara. Ia mengambil jatah makan untuk dirimya sendiri. Saat Ara dan Adam sedang ingin menyantap menu masakan yang sudah di hidangkan Ara ke piring kosongnya, tiba-tiba ponsel Ara bergetar pendek. "Bang, sebentar sepertinya ada yang mengirim pesan di ponselku." Ara langsung menggeser tubuhnya yang duduk pada lantai yang hanya berlapis dengan adonan semen dan pasir. Tangannya terjulur untuk meraih ponsel yang ia letakan sedikit jauh dari tempatnya. Adam menganggukan kepalanya. Kembali meneruskan aktivitas makannya. Ara membuka ponselnya, lalu membaca pesan yang sudah tersemat di sana dengan mata berbinar. "Ada apa Neng?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD