5. Sifat Asli Zidan

1175 Words
"Kak Aris jalan sama cewek lain dan juga ketawa. Kak Aris udah lupa sama aku ma," Allisya mulai berkeluh kesah, ia muak dengan sikap Aris dan janjinya yang tak bisa di pegang. Selena menatap Aris penuh curiga menyipitkan matanya. "Apa benar itu Aris? Kenapa? Allisya kalau sakit demam lagi gimana? Kamu mau rawat Allisya sampai sembuh?" Aris mengangguk. Tentu, karena Allisya adalah tanggung jawabnya. "Mau ma. Tapi aku cuman ngobrol, dia teman satu organisasi gak lebih," Aris mencoba meluruskan kesalahpahaman ini, entah Allisya mempercayainya atau tidak. Allisya tertawa hambar. "Oh teman organisasi ya kak? Sampai ketawa dan kak Aris lupa sama aku?" Aris meraih tangan Allisya. "Sya, aku bisa jelasin kalau-" tangannya di hempas oleh Allisya, gadisnya itu masuk ke dalam rumah. Allister mendekat menghampiri Aris. "Saya percaya kamu bisa jaga perasaan Allisya. Jangan sampai membuatnya sedih." "Maaf om. Saya janji gak akan mengulanginya lagi," dengan bersungguh-sungguh Aris mengucapkan itu. Di abaikan oleh Allisya membuat hati dan pikirannya tidak tenang. *** Setelah sampai di rumah, Aris mengirimkan pesan pada Allisya. Ia sangat merindukan gadis itu. Anda Sya? Maafin aku ya? Aku janji gak akan terlalu deket sama cewek lain. Aku merasa bersalah banget. Hukum aku sya kalau itu bikin hati kamu lega. Tak lama kemudian Allisya mengetik membalasnya. Allisya Hm. Aris menelepon Allisya, jawaban singkat itu belum tentu gadisnya memaafkan dengan mudah. Setelah panggilan tersambung Aris menjelaskan semuanya, tentang Yeni teman satu organisasinya yang sudah memiliki seorang kekasih. "Oh. Udah kan? Aku matiin teleponnya," respon Allisya biasa saja, tidak ada emosi disana. Aris heran, apakah Allisya saat cemburu diam? "Allisya," suara Aris lirih bahkan terdengar bisikan. "Aku kangen banget sama kamu. Please jangan di tutup teleponnya. Aku pingin kita ngobrol lebih lama. Oh ya, besok ketemu di kantin ya? Aku mau makan bareng kayak biasanya." Di tempat lain, Allisya menarik senyumannya. Ia tak bisa marah terlalu lama dengan Aris. "Iya kak. Boleh, tapi beliin seblak ya? Aku udah lama gak makan-ihh kak Aris!" Allisya mengumpat kesal saat teleponnya terputus begitu saja, tapi saat melihat baterainya habis hatinya semakin kesal. "Padahal pingin lebih lama ngobrolnya. Ah nyebelin," suasana hatinya membaik, Allisya sedikit lega setelah Aris meminta maaf untuk kesalahannya yang sudah berani berurusan dengan cewek lain terutama tertawa. Allisya yanya takut. Takut kehilangan Aris yang cintanya begitu tulus. Aris hanya miliknya, dan Allisya tak suka berbagi. *** Allisya sudah duduk di kantin sendirian menunggu kedatangan Aris. Dan Kaila yang masih berdiri di luar fakultasnya dengan Aqila itu mengobrol seperti biasanya. Sampai pandangan Kaila berpusat pada Aris berjalan bersisian dengan cewek kemarin. "Tuh cewek siapa sih? Udah tau kak Aris punya pacar masih aja nyerobot pingin nikung. Gini nih cewek sekarang, gak puas punya satu cowok karena bilangnya bosenlah gak asiklah atau yang jomblo sebaliknya malah sok caper. Pingin gue sleding satu-satu tuh semuanya," Kaila mengepalkan tangannya, rasanya gatal ingin menonjok cewek yang di sebelah Aris itu. Mengobrol haha hihi dan tertawa lagi. "Loh? Kalau Allisya tau gimana dong?" tanya Aqila. Pastinya Allisya akan sedih lagi sekaligus kecewa menjadi satu. Paket komplit sudah namanya sakit hati. Kaila mengeluarkan ponselnya dan memotret Aris. "Kirim aja nih foto. Karena sekali bohong bakalan terus-terusan bohong la, kasihan Allisya," Kaila juga tidak tega Allisya sakit hati. Aqila mengangguk setuju, benar apa yang di katakan Kaila. "Buruan kirim!" Allisya yang mengaduk es teh-nya dengan malas pun teralihkan. Pesan dari Kaila terutama foto Aris dengan, dia lagi. Tangan Allisya meremas ponselnya, ucapan Aris kemarin hanyalah bualan belaka. "Ok, see you. Jangan lupa ya makalahnya," Aris melambai pada Yeni yang kini sudah masuk ke dalam fakultas Sejarah. Aris menghampiri Allisya yang duduk sendiri, pasti menunggu lama. "Hai," Aris menyapa ramah, duduk di sebelah Allisya. Namun cewek itu menggeser posisi duduknya menjaga jarak dari Aris hingga ia berada di paling ujung geser lagi sedikit sudah di pastikan Allisya jatuh. Aris yang merasa Allisya pun mendekati gadisnya itu. "Kenapa? Kamu liat yang tadi ya?" tebaknya, pasti Allisya melihatnya mengobrol dengan Yeni tadi. "Sya, kan dia juga udah tau kalau kamu pacar-" "APA?!" suara Allisya meminggi, sedikit membentak dengan wajah memerahnya. "Pacar semua cewek gitu?" tanya Allisya sedikit pongah. Seisi kantin yang hanya ada sedikit mahasiswa itu menatap Allisya dan Aris. Sebuah keributan kecil di siang hari. "Sya dengerin aku dulu," Aris menahan tangan Allisya yang ingin beranjak pergi. "Lepasin dia. Allisya gak mau sama kamu," ujar Zidan yang datang sebagai pahlawan penyelamat. "Kak Zidan," Allisya melepaskan cekalan tangan Aris dan berpindah di sebelah Zidan. "Laper juga ya kak?" Zidan tersenyum miring, Aris memalingkan pandangannya. Pasti cemburu. "Iya nih. Makan bareng yuk," Zidan menarik tangan Allisya, mencari tempat duduk yang sedikit jauh dari Aris. "Kenapa harus Zidan sih?" Aris mengacak rambutnya gemas, melihat Allisya yang tampak bahagia dengan Zidan. "Kenapa kamu marah-marah tadi? Ada masalah lagi ya sama pacarmu itu?" Zidan ingin tau lebih banyak, terutama soal asmara Allisya yang kian hari semakin rumit. Allisya diam tak bisa menjawabnya. Lagipula buat apa percaya lagi kalau Aris sudah membohonginya lagi. Zidan mengerti, tak seharusnya ia membahas hal itu sekarang. Suasana hati Allisya sedang tidak baik. "Mau seblak gak?" Zidan hanya sekedar menebak, namun respon Allisya sangat ceria hingga ia bisa melihat senyuman itu lagi tanpa harus ada kesedihan di wajah cantik Allisya. Jadi ini kebahagiaan sederhananya? Terletak di makanan pedas? "Mau banget kak," Allisya mengangguk antusias. "Level pedasnya 5 ya?" Seorang anak kecil berumur lima tahun itu memanggil nama Zidan, karena kantin yang sedikit sepi itu membuat Zidan menemukan sumber suara dengan mudah. Adiknya, Rafael bisa lepas dari rumah tanpa ada yang mengawasi. Zidan beranjak dari duduknya, menghampiri Rafael dan membawanya ke tempat sepi. "Kenapa kesini sih? Udah tau kalau keluar bahaya nanti kalau ada apa-apa gimana?" Zidan mengomeli Rafael, anak itu menunduk memeluk robot Iron Men. Aris yang penasaran pun mengikuti Zidan diam-diam. Allisya tak ingin ikut campur. Ia menunggu makanannya datang karena sudah sangat lapar. Rafael terisak, Zidan kakak tirinya memang sedikit keras dan otoriter. "Nangis aja. Gak bakalan ada yang denger. Makannya gak usah kelayapan keluar rumah. Jadi abang yang nganterin kamu pulang. Bikin repot aja. Dan kamu udah ganggu kencang abang tadi. Ayo pulang," Zidan menarik tangan Rafael, langkahnya yang cepat membuat Rafael tak bisa mengimbanginya sedikit terseret. Aris yang melihat itu berhasil merekam semuanya. Selesai. Ini adalah sebuah bukti agar Allisya sedikit menjauh dari Zidan. Allisya bersendawa, akhirnya habis juga seblak pedasnya. Tangannya mengambil tisu, mengusap sudut bibirnya yang belepotan dengan modal cermin kecil yang ia bawa. Aris diam, ia hanya duduk di sebelah Allisya. "Ngapain kesini? Sama cewek itu aja sana," usir Allisya, tapi rasanya enggan untuk pergi entah kenapa dengan tubuhnya ini. Aris memutar rekaman video itu. Allisya melihatnya dengan diam, mengamatinya sampai berdecak kesal. "Gak seharusnya marah sama anak kecil. Apalagi sampe nangis gitu," gerutunya. Tapi tanpa sadar juga ia mengajak Aris berbicara. "Jadi kamu masih mau Zidan? Kalau anak kamu nanti di marahin kayak gitu gimana?" tanya Aris sedikit menggoda Allisya. "Apa? Haha anak? Kan aku nikahnya sama kak Aris bukan kak Zidan ah," Allisya bersidekap d**a, memalingkan wajahnya dari pandangan Aris. Mendengar penyataan itu, hati Aris tenang. Meskipun marah, Allisya masih mencintainya dan memikirkan soal pernikahan itu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD