1 : Awal Mula

1344 Words
"Bapak! Jangan, jangan pakai uang itu, Pak!" Seorang wanita berusia 25 tahun menjerit kala melihat pria yang merupakan ayah kandungnya membawa kantung plastik berisikan uang di tangannya. "Jangan, Pak. Jangan dibawa," lirihnya dengan air mata yang terus mengalir. Tangannya mencengkeram dengan kuat pergelangan tangan bapaknya. Ia sudah berusaha untuk menyembunyikan setumpuk uang itu, namun tetap saja Bapaknya bisa menemukannya. "Diam!" gertak pria paruh baya itu. "Bapak butuh uang ini, Nan." "Nandya juga butuh, Pak. Kita gak punya uang lagi kalau itu semua dipakai sama Bapak. Abang belum mengirimkan uang untuk kita." Gadis itu menatap sang bapak dengan tatapan penuh permohonan. Ia tak tahu lagi apa yang harus ia lakukan untuk menghentikan Bapaknya. "Bulan depan juga dia ngirim lagi." "Pak, tolong jangan dibawa," tubuh ringkih itu berjongkok di hadapan Bapaknya. Kepalanya mendongak dengan air mata yang terus mengalir di pipinya. "Apa gak cukup Bapak sudah menjual ponsel Nandya hanya untuk membayar hutang-hutang Bapak?!" "Masih kurang, makanya Bapak butuh uang ini untuk membayar hutang-hutang Bapak, Nan. Kalau perlu bilang sama Abang kamu itu, suruh kirim uang lebih banyak!" "Nggak! Dia mengirimkan uang sudah lebih dari cukup untuk keperluan Nandya dan Bapak, seharusnya Bapak yang sadar! Jangan terus-terusan berjudi!" ucap Nandya dengan suara yang kencang. Ia sudah cukup menahan amarahnya karena ulah Bapaknya, sekarang ia benar-benar tak bisa lagi menyembunyikan semua itu. "Berani kamu berbicara seperti itu sama Bapak!" Tangan pria tua itu terangkat ingin memukul putrinya. Namun, hanya tertahan di atas kepala Nandya. "Lepas, Nan. Bapak gak mau menyakiti kamu, kalau Bapak menang nanti, pasti Bapak kembalikan dengan jumlah yang berkali-kali lipat lebih banyak." Nandya tertawa sumbang. Ia memejamkan matanya sejenak. Cekalan tangannya melemah membiarkan Bapaknya pergi begitu saja. "Nyatanya apa, Pak? Yang ada Bapak selalu kalah dan tak mendapatkan apapun dari semua itu, bahkan Bapak rela berhutang hanya untuk berjudi," lirihnya. Ia sudah tak tahu harus melakukan apalagi untuk membuat Bapaknya keluar dari lingkaran menyesatkan yang sudah mengikat dengan erat salah satu orang yang paling ia sayangi. Dan hari ini, Nandya terduduk lemas di samping pusara mendiang Bapaknya. Beliau meninggal tadi pagi karena terkena serangan jantung. Nandya tak bisa menghentikan air matanya yang terus mengalir. Setelah kepergian Ibunya, sekarang Bapaknya pun ikut menyusul. "Nandya, yang sabar ya, Nduk." Nandya mengangguk seraya tersenyum menatap wanita paruh baya yang berjongkok di sebelahnya. "Terima kasih ya, Bu Rum, karena sudah mau mengurus semua keperluan untuk pemakaman Bapak." "Sebagai tetangga, ya kita harus saling membantu, jangan sungkan untuk meminta bantuan sama Ibu, ada Ibu dan Pak Yasir, kami akan selalu membantu kamu, iya 'kan, Pak?" ucapnya seraya menatap pria paruh baya yang berdiri menjulang di sampingnya. "Terima kasih juga, Pak," ucap Nandya kepada sepasang suami istri itu. "Ayo, pulang, nanti keburu malam, nggak baik berada di makam." "Dia tidak datang, Nan?" tanya Pak Yasir. Nandya menelan salivanya dengan susah payah. Ia pun menggelengkan kepalanya. Teringat kejadian tadi pagi ketika ia meminjam ponsel milik Fahri—sahabatnya—untuk menelepon seseorang. Untungnya, ketika Bapaknya menjual ponsel miliknya, kartu SIM-nya masih bisa diselamatkan. Dan ia menggukana itu untuk menelepon salah satu keluarganya yang sedang berada di kota lain. "Mungkin sibuk." "Aku berkali-kali menelepon dia sampai pulsaku habis," lirih Nandya seraya tertawa sumbang. "Tetapi, dia tidak juga mengangkatnya, Bu." Ia hanya sendiri sekarang. Kepergian Bapaknya sangat memberikan duka yang begitu dalam di hatinya. Satu-satunya orang tua yang ia miliki sekarang sudah pergi. Menyusul Ibunya yang sudah meninggal 4 tahun lalu. Nandya bingung. Apa yang harus ia lakukan? Apa ia harus menyusul satu-satunya keluarga yang ia miliki di Jakarta? Lagi pula, tak ada lagi yang bisa ia pertahankan di sini, Bapaknya sudah pergi, mungkin memang dia harus merantau, untuk menemui Abang dan menceritakan semua keluh kesahnya. ••• Ajeng Nandya, wanita berusia 25 tahun itu menatap bangunan-bangunan yang menjulang tinggi di pinggir jalan. Ini kali pertama ia menginjakkan kaki di kota metropolitan. Keringat sudah membasahi tubuhnya, karena ia berjalan cukup jauh dari terminal bus. Wajahnya memucat, terik matahari langsung mengenai kulitnya yang berwarna kuning langsat seakan tengah menguji dirinya, apakah ia kuat untuk menghadapinya? Atau malah dirinya yang akan kalah dan akhirnya tumbang di jalanan? Tidak, yang pasti Nandya tak mau orang-orang menemukan tubuhnya tergeletak di jalanan. Ia terus memaksakan kakinya melangkah. Sebuah kertas kecil yang bertuliskan alamat seseorang adalah tujuannya saat ini. Ia harus segera menemukan alamatnya. Nandya melihat seorang pria tua yang tengah berjualan di pinggir jalan. Ia pun perlahan mendekati pria itu. “Pak, maaf mau tanya, bapak tau alamat ini?” ucapnya seraya memberikan kertas yang sedari tadi ia pegang. Kening pria itu mengernyit sebentar. “Oh, tau saya, neng. Ini mah harus naik angkot atau ojek, kalau naik angkot nanti turun di perempatan kedua di lampu merah, habis itu naik angkot lagi yang warna hijau, nah nanti turun di gang alamat ini. Kalau naik ojek lebih enak, tinggal kasih tau aja alamat ini.” “Naik ojek ya, Pak?” Nandya menelan salivanya susah payah. “Kira-kira berapa ya, pak, ongkosnya?” Lanjutnya. Jujur, uangnya tinggal sedikit, bahkan mungkin hanya cukup untuk membeli sebungkus nasi warteg dengan lauk telur dan orek tempe saja. “Paling lima puluh ribu, itu ojek pangakalan, kalau ojek online lebih murah, mau lebih murah lagi ya naik angkot, begitu.” Nandya mengangguk. “Matur nuwun ya, Pak.” “Neng dari mana? Baru pertama kali ya ke Jakarta? Duduk dulu atuh, keliatannya capek banget.” Pria itu membersihkan karpet kecil yang ia jadikan alas tempat ia duduk untuk berjualan. Ia pun menggeser sedikit agar ada sedikit ruang untuk wanita muda di hadapannya beristirahat. “Terima kasih sekali lagi, Pak.” Nandya teraenyum ramah. “Tapi, saya harus cepat pergi.” “Oh begitu, hati-hati ya, Neng. Awa itu barang bawaannya, banyak copet di sini teh.” Nandya jadi semakin erat memegang tas yang ada di bahunya. “Iya, Pak.” “Saya berhentiin dulu angkotnya,” pria itu berdiri dan mencari angkot. Lalu, angkot berwarna merah berjalan mendekat, pria itu pun langsung melambaikan tangannya agar angkot itu berhenti. “Ini naik cepat.” “Ya Allah, terima kasih ya, Pak. Bapaknya baik sekali,” Nandya merasa terharu. Karena ia menemukan orang sebaik bapak itu. “Iya, sama-sama.” “Kalau begitu, saya pergi ya, Pak.” Nandya pun masuk ke dalam angkot. Ada beberapa orang di dalam angkot selain dirinya. Kemudian, angkot pun berjalan membawanya pergi ke tempat tujuannya. Hingga akhirnya, Nandya melihat sebuah gang yang di depannya terdapat gapura. Ia melihat lagi kertas yang ada di tangannya, lalu ia mencocokkannya dengan plang jalan yang ada di samping gapura. Wanita itu pun tersenyum, alamatnya sama persis dengan yang ia cari. Bapak yang tadi ia tanyai di pinggir jalan, benar-benar sangat membantu dirinya. Nandya pun semakin mengeratkan tas yang ada di bahu kanannya. Kakinya melangkah memasuki gang itu. Ia melihat sudah ada beberapa pemukiman warga. Beberapa pintu yang berderet menjadi satu. Ia pun melihat banyak tanaman sepanjang jalan, hampir sepanjang jalan dirinya tak menemukan sampah. Rupanya warga daerah itu benar-benar menjaga lingkungan mereka. Lalu, ia pun mencari tempat tinggal yang tertera pas kertas di tangannya. Walaupun dirinya merasa risih karena ada beberapa warga yang menatapnya dengan tatapan bingung. Mungkin, karena mereka melihatnya sebagai orang baru di sini dan dirinya juga parti terlihat sangat kebingungan saat ini. Tetapi, Nandya hanya tersenyun kecil membalasnya. “Lima,” ucapnya. “Oh ini, rumah nomor tujuh,” lanjutnya dengan wajah yang sumringah. Sebuah rumah dengan cat berwarna krem. Rumah tingkat dua yang minimalis, tetapi terlihat begitu nyaman dan lega. Halamannya pun cukup luas. Ia begitu senang, karena tempat hunian lelaki itu terlihat sangat nyaman. Tak menunggu lama, Nandya pun berjalan menuju pintu rumah. Tak lupa, Nandya melepaskan alas kakinya saat menginjakkan kaki di teras depan rumah itu. Jantungnya berdetak dengan kencang. Ia menetralkan deru napasnya sejenak, sebelum akhirnya ia pun memberanikan diri untuk mengetuk pintu. Beberapa kali ia melakukan hal itu, sampai suara berat terdengar dari dalam. “Iya, tunggu sebentar.” Jantung Nandya malah semakin cepat berdetak. Hingga pintu itu pun terbuka dan menampakkan wajah seorang pria yang terlihat begitu kaget ketika menatapnya. “Abang!” Nandya pun langsung berhambur memeluk tubuh pria itu dengan kuat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD