Prolog

605 Words
“Cocok, ya.” Kening seorang wanita yang baru saja keluar dari gedung perkantoran mengernyit saat mendengar suara temannya. “Apa?” “Tadi loh.” Ia berpikir sejenak, kemudian ia pun mengingat satu hal. “Oh.” “Cuma ‘oh’ doang?” “Ya, terus aku harus gimana?” Ia menatap temannya dengan bingung. Wajah temannya terlihat begitu kesal. Dalam dirinya, ia sedang menahan sebuah perasaan yang membuncah ingin segera dikeluarkan. Ia tak bisa melakukannya sekarang. Apalagi di hadapan temannya. “Maaf, Num, aku gak bermaksud begitu. Cuma aku gak mau aja bahas itu lagi. Lagian juga, kita gak ada urusan sama mereka, ‘kan? Tugas kita cuma datang setiap hari mengantarkan makanan catering untuk para karyawan. Hanya sebatas itu.” Ya, dia berusaha mengingatkan dirinya sendiri tentang posisinya saat ini. “Ah, gak seru nih, Nandya. Gue tuh mau ngajak lu gibah gitu. Tapi, emang lu kayaknya tipe orang yang gak suka ngurusin hidup orang, ya?” Ia tersenyum kecil mendengarnya. “Capek ngurusin hidup sendiri. Untuk apa ngurusin hidup orang lain juga?” “Ya, iya juga sih.” Wanita itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Gue tuh suka aja ngeliat pasangan tadi. Cocok banget gitu, yang satunya cantik banget kan keturunan bule gitu, yang satunya ganteng banget, gak kebayang deh kalau mereka nikah gimana? Anaknya pasti cakep-cakep deh, ditambah lagi orang tuanya kaya, udah enak banget hidupnya.” “Cocok banget ya, mereka?” tanyanya seraya menelan saliva dengan susah payah. Matanya mengerjap-ngerjap pelan. Langkahnya pun kian memelan. Tangannya saling bertaut dengan hati yang semakin bergejolak panas. “Banget banget banget, mereka tuh kayak pasangan sempurna, ibarat Pangeran William sama Kate Middleton dari Kerajaan Inggris, nah kalau ini versi Indonesia Kebayoran. Tapi ya, gue mikir deh, mereka tuh hidupnya udah enak banget, kayak gak adil gitu ya, udah parasnya cantik ganteng, keungannya juga jangan ditanya segimana banyaknya, gue jadi mikir, kekurangan mereka tuh apa, ya?” Tidak bisa memilih antara gadis malang seperti dirinya atau wanita cantik bak puteri kerajaan itu. Nandya menjawab dalam hati. “Eh, ya Allah, lu kenapa jalannya lambat banget sih?” “Maaf, Num.” Wanita itu menatap Hanum—temannya—yang sedang menoleh ke arahnya dari jarak sekitar 2 meter di hadapannya. Hanum berjalan berbalik mendekatinya. Lalu, wanita itu pun mengamit tangan Nandya. “Ck, ayo kita balik, nanti diomelin.” Nandya mengangguk lesu. “Lagi banyak masalah ya, Nan? Muka lu ditekuk mulu dari tadi.” “Keliatan banget, ya?” tanya Nandya seraya memegang wajahnya sendiri. Ia menatap Hanum dengan serius. Mungkin kah pria itu menatap wajahnya yang berekspresi seperti tadi? “Banget. Buktinya tebakan gue bener, ‘kan?” Nandya tak menjawabnya, ia mengalihkan tatapannya ke arah jalan raya yang dipenuhi oleh kendaraan. “Kenapa? Ada masalah sama keluarga, ya? Suami lu apa gimana?” Nandya terdiam. “Eh, maaf, gak pantes gue nanya itu ke lu. Maaf, Nan.” Nandya tersenyum kecil seraya menggeleng. “Gak apa-apa, Num. Lagi kurang enak badan aja.” Sebisa mungkin, Nandya menutupi semuanya dari orang-orang di sekitarnya. Ia sudah berjanji kepada pria itu bahwa dirinya tak akan memberitahukan apa pun tentang kehidupannya kepada orang-orang. Jujur, Nandya lelah dengan hubungan rahasia ini. Ia juga seorang wanita yang ingin diakui di depan semua orang. Diakui bahwa dirinya adalah seorang istri. Rasanya, ia begitu muak harus berpura-pura tidak mengenali pria yang ia temui tadi, padahal pria itu adalah suaminya sendiri. Apalagi melihat suaminya bersama sang kekasih. Wanita cantik yang berpakaian begitu modis, berbanding terbalik dengan dirinya yang bagaikan seorang upik abu. Ia juga heran, kenapa pria itu tak melepaskannya saja? Kenapa pria itu masih mempertahankannya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD