Symohony-2

1597 Words
Asap masih mengepul dari atas mie instant yang baru saja diseduh air panas oleh Sagara. Dia mengaduk mie kemasan dalam gelas itu supaya bumbunya tercampur sempurna. Supaya panasnya cepat mereda, sesekali Sagara mengipas asap dari atas gelas mie dengan telapak tangannya. Sembari menunggu Sagara meraih ponsel yang terletak tidak jauh dari posisi duduknya saat ini. Setelah mengutak atik ponselnya terdengar alunan musik klasik dari Beethoven. Cukup aneh memang. Di saat pemuda seumurannya menyukai musik pok, reage, hip hop sampai metal, tidak halnya dengan Sagara. Dia begitu menyukai musik klasik. Meski tidak mengalir dari musisi di tubuhnya, tetapi dia mencintai musik klasik dengan segenap jiwanya. Rasanya ada yang kurang dalam hari-hari Sagara bila tidak mendengarkan musik klasik barang lima menit saja. Meski tidak mengalir darah seni dalam jiwanya, Sagara pernah belajar alat musik biola secara otodidak. Saat itu usianya baru sepuluh tahun. Dia bekerja paruh waktu untuk membersihkan barang-barang di sebuah toko alat musik tidak jauh dari sekolahnya. Pemilik toko dengan senang hati mengajarkan Sagara bermain biola. Karena Sagara belajarnya penuh keikhlasan maka dia bisa dengan mudah menyerap pelajaran dari pemilik toko. Tidak hanya biola, Sagara juga pernah diajar untuk memainkan alat musik organ. Sagara yang naif sangat ingin belajar piano secara profesional, sayangnya di toko alat musik tersebut tidak tersedia piano klasik dan tentu saja butuh guru berketerampilan khusus untuk belajar piano profesional dengan biaya yang cukup fantastis. Namun Sagara tidak berkecil hati, bisa mengenal dan belajar alat-alat musik secara gratis saja dia sudah bahagia. Setelah mie dalam gelas kemasan berbahan styrofoam sudah tandas, itu artinya sudah waktunya Sagara harus menghentikan kesenangannya pagi ini. Membereskan sisa sarapannya, meraih tas ransel yang tergantung di dinding Sagara melangkah lebar keluar kamar. Tak lupa Sagara mematikan semua peralatan yang terhubung dengan aliran listrik dan mematikan lampu, sebelum meninggalkan kamar kos berukuran tiga kali empat meter tersebut. Saat Sagara mengenakan sepatunya, ponsel yang berada di kantong jaketnya bergetar. "Ya, Tante?" sapa Sagara setelah menerima panggilan telepon yang sudah masuk ke ponselnya sebanyak tiga kali. "Hari ini lo yang open kafe ya. Gue mesti ke Dara's Bakery dulu nitipin si Levi," ucap penelepon setelah panggilan teleponnya diterima oleh Sagara. Sembari berjalan cepat menuju halte trans jakarta yang terletak di jalan utama, Sagara menertawakan penelepon yang tidak lain adalah pemilik kafe tempatnya bekerja sebagai barista selama beberapa tahun terakhir. "Tante Melody mau ke mana? Buru-buru amat? Santai dikit, masih pagi ini." "Ada pertemuan wali murid di sekolah anak gue. Mana pembokat nggak masuk lagi," gerutu Melody. "Bayar baby sitter dong, Tante! Masa sewa satu dari yayasan penyaluran aja nggak kuat," ejek Sagara. "Sialan lo, Ga!" Sagara terbahak mendapat umpatan seperti itu dari atasannya. Karena gilirannya untuk masuk ke dalam trans jakarta sudah tiba, Sagara memutus sambungan telepon dan menyimpan kembali ponsel di dalam kantong jaketnya. ***** Bunyi lonceng dari atas pintu kaca menghentikan aktivitas Sagara sedang merapikan cangkir yang baru saja diantar oleh rekan kerjanya. Sagara menatap wajah tak asing yang muncul dari balik pintu kaca. Wajah yang selama beberapa bulan terakhir menarik perhatiannya. Namun hingga detik ini Sagara belum mempunyai keberanian untuk menyapa secara langsung. "Selamat datang di Melody's Kafe," sapa salah seorang karyawan melihat kedatangan pengunjung di kafe. "Silakan dipilih minumannya, Kak," ujar karyawan tersebut sekali lagi. "Americano Ice, satu. Less sugar, es nya dilebihin," ujar pengunjung tersebut.  Suaranya terdengar tegas, tetapi terdengar begitu seksi bagi orang-orang tertentu, salah satunya Sagara. "Baik, Kak. Atas nama siapa?" "Syfo." "Baik, americano ice, less sugar, more ice. Ada tambahan, Kak Syfo?" "Sudah cukup," ujar pengunjung bernama Syfo tersebut kemudian melakukan pembayaran. Baru saja karyawan mengirim pesanan ke ruang barista, tidak lama kemudian pesanan milik Syfo sudah ada di bagian pengambilan pesanan. Sagara yang sudah hapal di luar kepala pesanan Syfo. Tidak memerlukan waktu lama, Syfo sudah bisa menikmati kopinya di meja paling sudut, jauh dari keramaian dan tempat ini adalah spot favoritnya. Syfo meraih earphone dari dalam tasnya, kemudian menyambungkannya dengan ponsel untuk mendengarkan lagu-lagu klasik favoritnya. Namun Syfo mengurungkan niat saat mendengarkan alunan musik milik Mozart piano version mengalun lembut dari pengeras suara yang ada di kafe. Sebuah senyum terukir di wajah dingin Syfo. Dalam hati dia berterima kasih pada siapapun yang begitu mengerti kalau musik inilah yang sedang ia butuhkan saat ini. Syfo berusaha menghubungi seseorang melalui ponselnya. Namun sepertinya panggilannya selalu gagal. Membuat kesabarannya sedikit demi sedikit mulai mengikis karena ini sudah panggilan ke sepuluh sejak tiga puluh menit yang lalu. Syfo beranjak dari kursi, melangkah tegap tanpa menghilangkan kesan anggun dan berkelasnya menuju kasir. Saat Syfo sudah sampai di bagian kasir dia celangak celinguk mencari keberadaan karyawan kafe. Secara kebetulan Sagara keluar dari ruang barista untuk mengambil sendok yang tertinggal di depan. "Melody nggak ke kafe hari ini?" tanya Syfo secara tiba-tiba. Sagara terkejut bukan main. Dia menoleh ke kanan dan kirinya. Tidak ada satu orangpun yang ada di sana kecuali dirinya. Artinya Syfo saat ini sedang bertanya padanya. "Oh...itu...Emmhh... Tante Melody..." ujar Sagara terbata. "Iya, Melody mana ya? Saya telepon dari tadi nggak diangkat," keluh Syfo. "Mungkin masih ada di toko rotinya..." jawab Sagara akhirnya. Jantung Sagara berpacu lebih cepat, seperti baru saja melakukan joging sepanjang tiga kilometer tanpa istirahat. Tangannya tiba-tiba tremor hingga tanpa sengaja dia menjatuhkan sendok yang tidak seberapa berat itu. Kening Syfo mengernyit. Dia merasa tidak ada yang salah dari pertanyaannya, tetapi mengapa sikap pemuda di hadapannya ini terlihat seperti baru saja tertangkap basah sudah melakukan tindak kejahatan. "Kira-kira Melo ke kafe nggak, ya, hari ini?" tanya Syfo lagi. Sagara tidak langsung menjawab. "Mungkin nggak," gumamnya pelan. "Kalau gitu saya pulang aja," ujar Syfo. Terlihat jelas wajahnya sedikit lesu. Dari jarak yang cukup dekat seperti ini, Sagara menangkap perbedaan ukuran pipi Syfo yang tidak simetris. Terlihat lebih besar ukuran pipi yang sebelah kiri. Namun Sagara tidak berani berkomentar apa pun. Bukan kapasitasnya bertanya sesuatu yang sifatnya pribadi meski dia mengenal orang tersebut. "Mau tambah americano ice lagi?" tanya Sagara memberanikan diri. Kening Syfo mengernyit. Dalam hatinya bertanya-tanya, bagaimana pemuda itu bisa tahu pesananannya? Padahal selama tiga puluh menit dia berada di kafe ini, pengunjung yang membeli minuman datang silih berganti. Syfo akhirnya menjawab dalam sebuah gelengan dan menambah sedikit senyum tipis di wajahnya. Merasa tidak ada yang perlu ditanyakan lagi Syfo menyingkir dari hadapan Sagara. Bingung mesti menanggapi apa, Sagara hanya membungkuk hormat melepas kepergian Syfo dari kafe. Di ruang penyimpanan bahan Sagara terduduk lesu. Dia berusaha mengatur pernapasannya sendiri. Bergerak ke sana kemari untuk menghentikan tremor yang dialaminya sejak beberapa menit yang lalu. Dia merutuki dirinya sendiri atas sikap bodoh yang ditampilkannya di depan Symphony  Gila! Pengaruh seorang wanita yang terpaut usia hampir sepuluh tahun itu begitu kuat bagi Sagara yang terbiasa tenang dalam menghadapi situasi dan kondisi apa pun. ***** Rupanya Symphony pulang lebih awal dari suaminya. Hal tersebut terlihat dari kondisi garasi yang kosong saat Symphony datang. Pembantu rumah tangga menyambut kedatangan Symphony. Wanita paruh baya itu dengan cekatan menyajikan segelas air minum untuk tuan rumahnya. "Dari tadi Pak Aries menghubungi saya. Tanya Ibu Syfo sudah pulang atau belum. Katanya handphone ibu tidak bisa dihubungi dari tadi." "Terima kasih, Bi Yana. Handphone saya habis baterai," ujar Symphony setelah menemukan keberadaan ponsel di dalam tasnya. Symphony bergegas menuju kamar untuk mengisi daya ponselnya. Sembari menunggu daya ponselnya terisi, Symphony membersihkan tubuh dari segala sisa rutinitasnya hari ini. Membuang segala penat yang ditopang tubuhnya hari ini Symphony menyegarkan tubuhnya dengan mandi air hangat. Sebenarnya dia ingin berendam, tetapi matanya sudah tidak bisa diajak kompromi lagi. Akhirnya tubuhnya harus puas hanya mandi biasa saja tanpa berendam. Baru saja Symphony menyalakan ponselnya, dering panggilan teleponnya sudah terdengar. Symphony menatap layar ponsel yang menampilkan nama Aries. Menggeser tombol diterima, Symphony mendekatkan ponsel di depan telinganya. Setelah satu tarikan napas, Symphony menjawab telepon dari Aries. "Hallo?" "Stupid!!! Dari mana saja kamu? Dari tadi aku telepon nggak diangkat?" Terdengar suara Aries membentak dan berkata kasar begitu memekakkan telinga. Membuat Symphony sampai harus menjauhkan ponsel dari telinganya. Namun Symphony tidak mau ikut terbawa suasana hati Aries yang mudah terusik bila menyangkut egonya. Dia sudah tahu karakteristik suaminya. Bila semakin dilawan maka akan semakin meledak. "Maaf, handphone aku lowbat. Sampai rumah baru tahunya kalau mati," jawab Symphony tenang. "Di mana kamu sekarang?" tanya Aries, kali ini suaranya sudah lebih lembut dari sebelumnya. "Aku sudah di rumah." "Baru pulang?" "Iya. Kamu pulang jam berapa?" "Mungkin sekitar satu jam lagi. Alarmnya nggak usah diaktivin dulu." "Pulang beneran tapi. Seminggu yang lalu kamu bilang pulang, taunya nggak pulang. Aku cuma berdua aja di rumah ini sama Bi Yana. Kalau alarm nggak diaktivin resiko besar, Eris," ujar Symphony mengingatkan Aries atas kesalahan laki-laki itu satu minggu yang lalu. "Iya-iya. Nggak usah ngajarin aku. Aku tutup teleponnya. Bye!" balas Aries lantas benar-benar mengakhiri sambungan teleponnya. Symphony menarik napas panjang. Dia menyegerakan diri untuk melaksanakan rutinitas perawatan wajah malamnya. Saat mengaplikasikan serum anti penuaan dini dia menepuk terlalu keras pipi bekas tamparan Aries tadi pagi. Symphony mengerang sakit. Dia lupa lebamnya belum sembuh betul hingga malam ini. Symphony tersenyum getir kala menatap refleksi wajahnya yang tanpa riasan di cermin. Sungguh menyedihkan, gumamnya. Setelah merebahkan tubuhnya di atas ranjang, Symphony menarik selimut hingga menutupi pundaknya. Setiap berada di rumah seperti ini, dia selalu merasa kesepian. Seandainya memiliki anugerah bisa mengatur waktu, dia ingin sepanjang waktu adalah pagi hingga sore hari saja. Tidak perlu ada waktu malam datang yang hanya bisa menyajikan rasa kesepian. Kesepian itu tetap dirasakan oleh Symphony meski Aries ada di sekitarnya. Setiap malam Symphony selalu berusaha mencari jalan keluar atas rasa kesepian tak bertuan yang semakin merajalela. Telebih bila rasa kesepian itu datangnya diiringi oleh  perasaan hampa, jenuh dan gelisah tanpa alasan setiap malamnya. Sungguh, hal itu tidak baik bagi kesehatan jiwa Symphony. ~~~ ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD