"Tin! Tin!"
"Tin! Tin!"
Bunyi klakson terdengar bersahutan ketika aku mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi seperti pembalap.
Sebenarnya aku punya trauma, makanya gak berani ngebut, tapi karena anakku sedang dalam bahaya, rasa takut ikut lenyap seketika, dan tergantikan dengan rasa berani tidak takut mati yang penting anak semangat.
Beberapa mobil pun pada akhirnya ikut ngebut seperti aku. Sekarang bukan hanya trauma yang hilang, tapi kantuk juga musnah.
"Abang takut gak Mama ngebut gini?" tanyaku pada bocah yang selalu melakukan apapun yang aku inginkan. Katanya dia ingin menjadi orang pertama yang bertahta di hatiku, yang kedua baru Zihan, adiknya.
Anak kecil itu malah tersenyum lebar, lalu tertawa kecil.
"Kenapa, Bang? Kok, malah ketawa?" Ingin aku melihat ekspresinya lebih lama, tapi untuk sekarang jalanan lebih harus aku perhatikan. "Apa jangan-jangan Abang takut?"
"Enggak, dong, Ma. Mana mungkin Abang takut kalau Mama saja gak takut. Lucu, Mama ini." Ziron kembali tertawa.
Aku sempat terkejut ketika mendengar jawabannya .... MasyaAllah, dia memang anak yang berbakti dan anak sulung penguatku.
"Alhamdulillah sampai." Aku dan bocah itu sama-sama mengusap wajah setelah mengucapkan hamdalah.
"Yuk, turun!"
Mobil kami dibuka oleh pengawal orang tua, kebetulan kami memang berniat istirahat di sini tanpa memberitahu orang tuaku, ataupun Mas Yasa di rumah. Memang seorang istri tidak boleh pergi dari rumah tanpa izin suami, tapi hal ini sangat genting yang melibatkan nyawa kami berdua.
Malah Mas Yasa sendiri yang ingin berencana untuk melakukan perbuatan yang k**i itu Jika kembali teringat dengan percakapan mereka malam tadi, rasanya aku ingin pergi jauh dari kehidupan mereka, tapi sama saja dengan mengaku kalah, dan membiarkan mereka menang.
"Cucu Kakek!" Papa langsung berlari ke arah Ziron dan membawanya ke dalam pelukan.
Aku masuk ke dalam dan berkumpul dengan keluarga, lalu menceritakan semua yang aku dengar semalam. Mereka tentu saja sangat kaget, makanya Papa memutuskan untuk menempatkan beberapa pengawal rahasia untuk aku di rumah itu. Bahkan Mas Yasa sendiri tidak akan sadar kalau gerak-geriknya diawasi.
"Gila, ya, Mama sama sekali tidak habis pikir kalau mereka ternyata orang-orang yang kejam." Kembali Mama bicara. "Rasanya lebih baik punya mertua yang matre daripada yang lebih gila dari orang gila."
"Aku pikir dulu juga mereka hanya matre, ternyata aku salah." Papa menanggapi. "Sepetinya mereka memang minta diberikan pelajaran. Andai saja tidak dosa, aku sudah melakukannya dari dulu."
"Ingin rasanya aku remukkan badan si Yasa yang kecil itu." Om Dion, adik dari Papa itu semakin menjadi.
Pamanku yang satu ini memang masih sendiri, katanya tidak ada wanita yang mau padanya. Padahal kalau menurutku bukannya tidak mau, tapi dia sendiri yang tidak mau dekat dengan sembarang wanita.
"Apa nanti Om ikut kamu ke sana, ya?" usulnya.
Aku terdiam sejenak, berusaha mengingat rencana apa saja yang sudah mereka lakukan sejak pagi, dan rasanya aku enggan untuk pulang ke rumah yang ternyata lebih berbahaya daripada di rumah.
"Terserah Om saja, tapi aku rasa itu belum perlu. Aku istirahat di sini dulu saja, ya."
Sebuah pesan masuk membuatku begitu terkejut, bagaimana tidak, dia mengancam akan membunuh Bapak kalau aku tidak pulang.
"Apa kau pikir aku main-main? Baiklah, akan aku wujudkan. Asal kau tahu, kami memang lebih ingin melihat Bapak meninggal daripada kau, agar kami bisa menguasai hartanya," balasnya lagi.
"Teruskan kedua pesan dari Yasa ke ponsel bapak mertuamu!" titah Om Dion.
Aku menurut tanpa banyak bertanya dan beberapa menit kemudian aku mendapatkan telpon dari Bapak.
"Terima kasih sudah memberitahu ya, Sayang. Mereka memang sudah sangat keterlaluan dan harus diberikan kesabaran," ucapnya terdengar sedang menahan amarah.
"Iya, Pak. Sudah seharusnya aku bilang sama Bapak, soalnya mereka sudah kelewatan." Aku pun berusaha menahan emosi.
"Pulang ke sini, ya, bawa juga orang tua dan Om kamu itu, kita lihat pertunjukan besar di sini," pintanya membuatku menatap Mama, Papa, dan Om Dion.
"Bagaimana?" tanyaku berbisik langsung mengiyakan ketika mereka semua setuju.
***
"Nanti Om tunjukan sesuatu hal yang sangat besar. Bahkan dengan ini, kamu bisa membuat adik ipar kami itu bungkam, menurut padamu, atau mungkin dia langsung kehilangan segalanya," ucap Om Dion ketika kita berada di perjalanan menuju ke rumahku dan Mas Yasa.
"Apa itu, Om?" Aku menatapnya penasaran. Padahal kalau gak langsung ngasih tahu jangan dulu bilang, aku gak suka kalau harus menunggu hal yang tidak pasti seperti ini.
"Nanti juga kamu akan tahu, kok. Sebentar saja, harap sabar sebentar. Pokoknya kamu gak akan kecewa."
Tuh, kan, aku sudah nebak pasti endingnya seperti ini. Padahal sayang sekali kalau hal baik harus ditungu-tunggu.
"Pokoknya nanti di sana harus bisa bersikap tenang. Mas sama Mbak harus bisa memerintahkan mereka, tapi secara halus sampai membuat mereka tersiksa," pesannya lagi kepada Mama dan Papa. "Karena kalau Qiera yang melakukan hal itu, tentu saja dosa besar. Berbeda kalau kalian yang melakukannya."
"Siap!" Orang tuaku menjawab dengan kompak.
Memang hanya orang tua tempat seorang anak berkeluh kesah, meksipun sudah bercerita. Awalnya aku tidak ingin menceritakan tentang sikap Mas Yasa dan semua permasalahan rumah tangga yang aku alami, tapi jika sudah menyangkut nyawa, sungguh aku tidak tahu harus cerita kepada siapa lagi kalau bukan kepada mereka.
***
Beberapa mobil sempat mengikuti mobil besar yang kami tumpangi, tapi Om Dino berhasil menjauh, dan membuat mobil-mobil itu kalah.
"Ingat rencana kalian, kan?" Om Dino kembali mengingatkan hal-hal yang perlu kami lakukan selama ada di sini. "Mereka memang tidak main-main, bahkan sampai berani menyewa pembunuh bayaran," lanjutnya membuat kami terkejut dan mengusap d**a.
"Tapi kalian tidak perlu takut, orang yang ada di rumah akan menjaga rumah dan anak-anak. Pokoknya mereka aman dan di sini ada aku dan beberapa orangku. Sementara Abang kecil nanti akan dijemput sama orangku, lebih tepatnya sebentar lagi mereka akan datang. Jadi kalian para orang dewasa turun di sini saja dan masuk ke sana dengan berjalan kaki sekaligus untuk membuat mereka kaget juga," jelasnya panjang lebar.
Kami mengikuti semua perkataan Om Dino dan masuk ke halaman rumah dengan berjalan kaki.
"Siapa kalian?" Ibu menghampiri kami dengan tatapan jijik, sesuai yang diperkirakan Om Dino kalau mereka akan benci melihat kita jalan kaki, dan akan berpura-pura tidak kenal.
"Kenapa? Hilang ingatan?" Aku meminta yang lainnya untuk masuk, sementara aku akan berbicara lebih dulu dengan Ibu. "Jangan masuk! Rumahku terlarang untuk gembel seperti kalian!" teriaknya tidak terima ketika melihat Mama dan Papa masuk.
"Loh, ini kan rumahku sama Mas Yasa dengan bantuan Bapak, bukan Ibu." Aku melipat tangan di d**a dan menatapnya tajam. "Kalau sampai Ibu berani mengatakan hal itu lagi kepada orang tuaku, sudah pasti aku tidak akan tinggal diam, ya," ancamku lalu ikut masuk, tapi belum juga sampai pintu tanganku sudah ditarik lagi olehnya.
"Kenapa keluargamu datang ke sini jalan kaki? Apa kau sudah jatuh miskin?" Ibu tertawa terbahak-bahak. "Sudah pasti seperti itu bukan? Kalian memang pantas menjadi orang miskin!"
"Kenapa? Ibu malu punya mantu orang miskin?" Aku menantangnya.
"Tentu saja, nanti aku akan menjodohkan Yasa dengan wanita karir yang kaya," serunya pamer. "Tapi kalian harus cerai," lanjutnya.
"Aku setuju. Jadi sekarang aku tidak perlu repot-repot untuk mengurusi kalian, ayo bilang sama Mas Yasa, aku menunggunya menceraikan aku," ucapku bangga karena apa yang direncakan Om Dion seusai kenyataan.