Bab 14

1274 Words
Qiera Kupikir selama ini aku sudah menjadi istri yang baik untuk suamiku. Istri yang patuh karena aku melakukan semuanya sendiri sesuai perintahnya, istri yang baik karena tidak menuntut suamiku untuk membantu pekerjaan yang kulakukan. Tapi ternyata ... tetap saja aku hanya seonggok daging yang tidak penting baginya. Bahkan untuk ibu dan adiknya pun, aku adalah lalat pengganggu yang akan menghancurkan kualitas makanan mereka. Tidak hanya aku, mereka pun menilai anak-anakku sama. Apa salah mereka? Apa salah anak-anak yang tidak berdosa itu sampai-sampai mereka mengincar nyawanya? Jika mereka membenciku, itu bukanlah masalah. Karena boleh jadi aku belum baik untuk mereka, tapi tidak ketika mereka mulai menembus batas kesabaranku dengan mencoba untuk menghancurkan ketenangan anak-anakku. Semut memang selalu diam, tapi dia akan mulai menggigit ketika kenyamanannya diganggu, dan ketika keluarganya dilukai. Begitupun denganku. Mana ada seorang ibu yang hanya diam ketika melihat dan mendengar beberapa orang sedang berencana untuk mencelakai anaknya? Aku pastikan yang diam hanyalah ibu yang memang sedari awal tidak menginginkan seorang anak, atau justru wanita yang sudah kehilangan kesadaran. Aku hampir depresi kalau saja tidak pulang tepat di hari esok setelah Mas Yasa mengatakan kalau ibu dan adiknya akan pulang. Luka hati yang disebabkan olehnya saja belum sembuh, tapi sekarang dia malah mengajak yang lain untuk ikut menorehkan luka yang sama sepertinya. Apakah dia masih punya hati nurani? Ditambah dia malah melibatkan anak-anak yang seharusnya ia sayangi, lindungi, sama seperti seorang ayah yang lain. Tapi apa yang dia lakukan? Lagi-lagi dia hanya bisa menorehkan luka. Siapa sebenarnya yang jahat di sini? Apakah aku yang sudah salah masuk dan menjadikannya imam dalam keluarga, apakah dia yang memaksaku dulu untuk menjadikannya kepala rumah tangga? "Aku tidak akan pernah menceraikan kamu!" teriak Mas Yasa tepat setelah Ibu pergi. Sepertinya dia langsung mengadu dan membuat anaknya itu marah. "Kenapa, Mas? Bukankah kau senang melihatku dan anak-anak terluka? Lantas kenapa tidak sekalian saja kau ceraikan aku?" cecarku sambil melihat wajahnya lekat. Dari awal aku memang tidak pernah mencintainya karena hubungan pernikahan kami terjadi begitu saja. Sempat hadir, tapi tidak lama. Waktu aku aku melahirkan Ziron, kupikir Mas Yasa akan luluh dan mencintaimu, tapi nyatanya tidak. Semakin anak pertamaku besar, dia semakin menjadi pemarah, dan selalu menyalahkan anak. Begitupun dengan kelahiran Zihan, anak keduaku. Ibu mertua pun yang katanya mencintai dan menyayangi kedua anakku, nyatanya nol besar. Jika terdengar beliau mengatakan itu, tandanya ada Bapak di dekatnya. Jadi, dia tidak berani berbicara macam-macam. Jika tidak ada, akhirnya sudah pasti akan menjadi seperti ini. Saling menyakiti dalam kebencian sampai kehilangan kesadaran tentang dosa yang seharusnya tidak dilakukan. Mas Yasa diam membisu. Tidak ada satu kata pun yang keluar lagi dari mulutnya, yang ada hanya guratan heran yang terlukis di wajahnya. "Kenapa, Mas? Apa kau kecewa karena aku, wanita yang selama ini kau pikir sangat mencintaimu itu nyatanya meminta cerai?" Aku tertawa kecil. "Kalau aku mau jujur, dari dulu pun aku tidak cinta padamu, Mas. Andai saja dulu kau tidak memohon dan mengemis, aku tidak akan pernah mau menjadi istrimu. Jadi sudah pasti aku tidak akan pernah ada di sini, baik sekarang ataupun nanti," tegasku penuh penekanan. Aku ingin dia sadar kalau sikap dirinya sangat menyakiti hati wanita dan tidak akan ada wanita yang mau apalagi betah menjadi istrinya. Tugas seorang istri tidaklah mudah, apalagi jika sudah menjadi ibu. Banyak tugas yang harus mereka lakukan tanpa sepengetahuan suami. Bahkan ketika Ziron kecil, dia tidak mau minum s**u formula apapun. Selalu asi sampai tubuhku terasa remuk. Tapi apakah dia tahu? Tentu saja, sayangnya dia malah memilih untuk menutup mata dan berpura-pura tidak tahu. *** Sejak kemarin Mas Yasa diam. Bahkan kali ini dia membiarkan aku tidur di tempat tidur sendiri dan dirinya tidur di sofa yang ada di dekat ranjang. Padahal selama ini kebalikannya. Pokoknya dia tidak pernah mau tidur di tempat lain selain tempat tidur. Pagi-pagi sekali sudah terdengar bunyi alat masak di dapur. Mungkin Ibu dan Yani yang masak atau perintah Mama, Papa, Bapak, dan Om Dino. Paling juga Mama hanya melakukan beberapa hal. Mas Yasa pun sudah tidak di sofa, padahal biasanya dia tidak akan bangun kalau tidak aku bangunkan. "Lihatlah, semua orang sudah mulai sibuk," bisik Om Dino sambil menyerahkan segelas s**u dan sebuah apel yang sudah dikupasnya. Aku langsung meneguk s**u dan memakan apelnya itu tanpa memedulikan tatapan Mas Yasa yang tidak suka. Selama ini dia memang tidak begitu suka kepada Om Dino, karena selama ini dia berpikir kalau pamanku ini bukan kandung, melainkan hanya anak angkat kakek dan nenekku. Makanya dia tidak mau aku dekat-dekat. "Iya, Om." Aku pun tersenyum ke arahnya, bisa dibilang di antara kami seperti tidak ada jarak. Om Dino memang pamanku, tapi usianya tidak berbeda jauh denganku. Wajah Mas Yasa yang menatap kami berubah menjadi semakin merah. Apa karena dia marah melihat kami dekat begini? Bukankah dia sendiri yang bilang kalau aku hanyalah sumber masalah? "Kenapa, Mas? Apa di wajah kita ada kotoran?" Aku bertanya sambil melemparkan tatapan bangga. Terus saja kesal, Mas, aku lebih suka melihatmu seperti ini daripada punya banyak rencana. "Biarkan saja laki-laki yang tidak punya harga diri itu. Kamu pantas punya suami yang tahu bagaimana caranya menjadi imam yang baik dan bertanggung jawab. Jadi hempaskan saja suami seperti itu!" Om Dino berbicara sinis. Tanpa bicara, Mas Yasa menarik tanganku menunju ke kamar. "Kenapa kau ajak dia ke sini? Apa kau ingin dia melihat dan menilai sembarangan tentang aku?" tanyanya berapi-api, tapi aku malah menunjukkan tatapan yang tenang. "Kau memang salah, akuilah, Mas. Sekarang pun pernikahan kita memang sudah seperti layangan putus, makanya aku mau kita pisah agar aku bisa menentukan di mana aku akan jatuh!" tegasku tanpa meninggikan suara. "Kau! Aku tidak akan pernah menceraikan kamu!" makinya geram, lalu kembali keluar dengan membanting pintu kamar. *** Aku kembali keluar setelah membersihkan diri dan terkejut ketika mendengar perkataan Bapak. "Daripada menyakiti istri dan anak-anakmu, sebaiknya kau lepaskan. Bapak tidak ingin kau menjalani pernikahan karena keterpaksaan dan membuatmu menjadi orang yang kejam karena selalu menyiksa mereka," saran Bapak sama Mas Yasa yang duduk di hadapannya. Mas Yasa hanya diam, begitupun dengan ibu, dan Yani yang selama ini selalu mengharapkan aku celaka. Aku tidak akan pernah meminta cerai atau minta diceraikan kalau saja dia tidak menyakiti anakku, tapi ternyata ... dia memang lelaki yang tega. Hewan yang sangat berbisa saja tidak sampai menyakiti anaknya sendiri, tapi ternyata manusia lebih kejam dari binatang buas karena bisa menyakiti anaknya sampai Ziron yang baru mau menginjak lima tahun pun tidak mau lagi berbicara dengannya. "Yasa!" panggil Bapak dengan suara meninggi, lalu tatapannya beralih ke istri dan anak perempuannya. "Bagaimana pendapat kalian? Bukankah ini lebih baik daripada harus membunuh salah satu dari kita?" tanya-tanya membuat tubuh kedua orang itu terguncang. Ibu dan Yani saling tatap dengan mata yang tiba-tiba berurai air mata. "Kenapa? Bukankah ini yang kalian harapkan?" Bapak kembali menegaskan dengan mata yang nanar. "Lalu, kenapa kalian diam?" Suaranya semakin parau. Ibu dan Yani menjatuhkan tubuhnya. Entah karena mereka merasa tidak bersalah atau mengakui kesalahan karena Bapak sudah tahu dengan niat busuk mereka. Bapak menyeka air matanya, tapi air mataku, Om Dino, dan orang tuaku malah jatuh begitu saja. Bagaimana tidak, aku seorang istri dan menantu yang harusnya disayangi, dijaga, malah dilukai, dan dianggap benalu sampai nyawaku menjadi taruhannya. Sampai hati dan pikiranku selalu bertanya satu hal, ini rumah atau neraka? "Maafkan, kami," ucap ibu bersamaan dengan Yani, lalu mendekat ke arah kami dan bersimpuh di kaki Bapak." "Aku maafkan, tapi sikap kalian sudah keterlaluan!" bentak Bapak membuat keduanya terdiam membisu. "Kenapa kalian kemarin ingin menculik Ziron? Di mata hati kalian sebenarnya?" Bapak kembali berteriak. Di saat seperti ini Om Dion malah mendekat ke arah Mas Yasa. "Yang kau lihat ini bukanlah apa-apa, akan banyak kejutan yang harus kau terima!" bisiknya sambil tersenyum menyeringai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD