Bab 6

1074 Words
"Kenapa pulang lagi? Tidak jadi 'kah?" Ibu duduk di sampingku yang menghempaskan diri di sofa. "Sepertinya Qiera memang harus diberikan pelajaran, Bu." Aku menceritakan tentang apa yang terjadi barusan dan Ibu menjadi lebih emosi. "Sudah aku bilang dari dulu, Mas, kalau wanita itu memang bukan perempuan baik-baik." Yani ikut bicara dan duduk di samping kiriku. Kami pun mulai menyusun rencana untuk membuat Qiera kembali, pokoknya dia harus pulang tanpa dijemput, dan tanpa diantar keluarganya. "Nah, sekarang coba kamu telpon bapaknya!" titah Ibu dan aku langsung melakukannya. "Assalamu'alaikum, Yas, ada apa?" Suara Bapak mertua langsung terdengar, dapat aku pastikan kalau aku memang selalu menjadi menantu kesayangan karena Qiera adalah anak satu-satunya. Tentu saja aku juga termasuk ke dalam menantu satu-satunya, apalagi mamanya Qiera sudah menganggapku seperti anak sendiri. Jadi, dapat aku pastikan kalau kali ini Qiera tidak akan pernah bisa kabur lagi seperti ini. Aku akan membuat dia hanya sibuk dengan anak-anak dan rumah, lagipula selama ini di rumah pun dia hanya tahu bersantai, dan menghabiskan uangku saja. "Wa'alaikumsalam, Pa. Ini, aku mau minta tolong sama Papa agar meminta Qiera untuk pulang, saya sedang sakit, Pa." Aku masuk ke dalam mode akting. Jangankan papa mertua, bos gila di tempat kerja saja selalu percaya dengan akting yang aku lakukan. Memang cocok menjadi aktor, hanya saja aku tidak akan tertarik untuk bayaran yang biasa. "Sakit apa? Dia sudah Papa suruh pulang, tapi gak mau. Katanya dia mau istirahat dulu, wajahnya pun terlihat lesu. Memangnya selama ini kamu gak punya asisten satu pun, ya, di rumah?" Asisten? Kenapa tiba-tiba membicarakan ini, lagipula untuk apa aku memperkerjakan orang kalau kegiatan sehari-hari Qiera hanya di rumah? Buang-buang uang saja. "Maaf, Pa, gajiku terlalu kecil membayar gaji seorang pekerja. Jadi ...." "Tidak apa-apa, Nak, Papa paham, kok. Nanti kami akan coba kasih faham Qiera agar bisa menjadi istri yang baik." Papa berbicara dengan antusias. Ya, akhirnya apa yang aku inginkan terjadi. Selamat menikmati penderitaan, Qiera. Papa dan Mama pasti akan memarahi kamu seperti dulu. Siapa suruh kamu buat gara-gara terus, inilah balasannya. "Bagaimana?" Ibu dan Yani sudah menanti jawaban yang akan aku berikan. "Memuaskan. Pokoknya kita tinggal menunggu Qiera datang dengan wajah frustasinya." Aku berseru semangat. "Siapa suruh dia begitu berani melawan kita, sekarang rasakan akibatnya." Kami bertiga tertawa bersama, sungguh tidak sabar menyaksikan wajah Qiera yang kasihan. Semoga dia langsung disuruh pulang tanpa kami harus menunggu lagi. "Kenapa sekarang masih belum pulang?" Ibu kembali bertanya. Aku melihat ke arah dinding untuk melihat jam berapa sekarang. "Sudah tengah hari begini, kenapa masih belum pulang?" Yani pun ikut bertanya. Kalau semuanya bertanya padaku, lantas pada siapa aku bertanya? "Mana aku tahu, kemarin Papa hanya bilang akan menasehati agar menjadi istri yang baik untukku, terus menyuruhnya pulang." Aku menjawab apa adanya. "Lah, terus pastinya dia pulang kapan?" Ibu terlihat bingung. Cucian baju di keranjang sudah semakin penuh, cucian piring di wastafel sudah menumpuk. Bahkan baju kerjaku dari Rabu dan baju bebas hari Jum'at belum dicuci. Ya ampun, kapal Qiera pulang sebenarnya? "Coba kamu cuci piring dulu, Yan. Itu sudah numpuk banget, bagaimana kalau nanti pada pecah?" pintaku halus. "Apa? Ibu gak sudi kalau anak perempuan satu-satunya dan tersayang disuruh cuci, enggak bisa. Di rumah pun tidak pernah Ibu izinkan untuk melakukan semua pekerjaan itu. Apalagi harus cuci di rumah kamu," maki Ibu panjang lebar. "Terus siapa sekarang yang cuci? Masa iya dibiarkan menumpuk sampai Qiera pulang? Nanti kita makan pake apa? Kresek atau daun?" Aku menatap mereka bergantian. Aku pikir kepergian Qiera dan anak-anak rumah akan selalu bersih, tapi nyatanya malah semakin menjijikan. Bahkan, kedua mataku tidak pernah melihat penampakan semenakutkan ini. "Pakai kertas nasi sajalah. Pokoknya Ibu gak sudi kalau Yani harus mencuci benda-benda yang menjijikan itu." Ibu menarik Yani untuk pergi ke kamar anak-anak. Terus apa yang harus aku lakukan sekarang? Tidak mungkin juga kalau aku yang mencuci piring numpuk itu, apalagi selama ini aku tidak pernah melakukanya. Qiera mengerjakannya sendiri. Tiba-tiba saja aku teringat dengan perkataan bos gila. "Kalau kau tidak membantu pekerjaan istrimu, nanti kalau ada hal-hal yang tidak diinginkan kau tidak akan bisa hidup, dan bertahan lama. Pasti akan langsung kalah dan tereleminasi." Sekarang perkataannya itu menjadi kenyataan. Padahal, Qiera hanya pergi dua hari saja, tapi rasanya sudah seperti berminggu-minggu. *** Kupaksakan diri untuk mengambil bungkusan makanan yang berserakan di lantai. Ini sudah hari Minggu dan Qiera sudah pergi selama empat hari tiga malam. Rumah pun sudah seperti tempat pembuangan sampah, karena di mana-mana hanya ada kotoran. Pakaian kotor, peralatan dapur kotor, lantai kotor, bahkan mobil pun kotor. Biasanya setiap hari Minggu, Qiera selalu mencuci mobil yang setiap hari aku gunakan. Meski aku tidak menyuruhnya dan dia juga tidak pernah aku izinkan untuk bawa mobil. Padahal kalau di rumahnya, dia punya sopir sendiri yang siap mengantarnya ke manapun. Aku kembali menelpon Papa dan memohon agar meminta Qiera untuk pulang, aku sudah tidak tahan dengan kondisi rumah yang tidak jauh berbeda dengan rumah yang tidak berpenghuni. Papa mertua langsung setuju, katanya Qiera akan pulang sekarang juga. Bergegas aku bersiap dan memberitahu Ibu dan Yani kalau Qiera akan pulang, mereka pun langsung bersemangat seperti aku, dan kita langsung menantinya di depan pagar. Tentu saja untuk memberikannya pelajaran karena sudah pergi begitu saja. Dua jam sudah berlalu, bisa aku pastikan kalau dia akan segera sampai, dan tidak lama sebuah mobil mewah memasuki pagar. Ibu bergegas mendekat ke arah Qiera yang baru saja turun dari mobil. "Dasar mantu tidak tahu diri! Bukannya di rumah menyambut Ibu mertua dan adik ipar pulang, ini malah kelayapan tidak jelas. Pulang ke rumah orang tua pun tidak izin suami, dasar istri durhaka!" Kata-k********r dan sampah serapan lolos begitu saja dari mulutnya, bahkan Yani tidak tinggal diam. Dia ikut memarahi Qiera yang hanya melempar senyuman. "Aku sudah bilang sama anakku untuk menceraikan kamu, tapi sayangnya dia tidak mau. Padahal apa yang harus dipertahankan dari wanita yang hanya tahu istirahat dan menghabiskan uang suami? Sungguh tidak pantas untuk dipertahankan!" Suara ibu kembali meninggi dan berapi-api. "Benar, Qiera. Kalau kau terus seperti ini, aku tidak akan segan-segan untuk menduakan kamu dengan wanita yang bisa melakukan segalanya. Kamu menangis darah pun, aku tidak akan pernah membatalkan rencana itu!" tegasku penuh penekanan. Aku ingin dia sadar kalau wanita tidak hanya dia, di luaran sana banyak wanita hebat yang menginginkan aku untuk menjadi suami mereka. Begitupun Salsa yang jelas-jelas lebih dari Qiera di dalam segala hal. "Oh, jadi ini cara kalian memperlakukan anak kami?" Suara yang tidak asing terdengar. Suara itu ... tidak mungkin kalau Qiera di antar orang tuanya, kan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD