Aku mengerjapkan mata ketika melihat Mama dan Papa mertua juga turun dari mobil. Bukan hanya aku, Yani dan Ibu pun langsung kehilangan kata-kata. Pukulan yang tadi mendarat cukup keras di bahu Qiera, kini berubah menjadi elusan penuh kasih sayang.
"Kamu capek 'kan, Sayang? Masuk dulu, yuk, nanti Ibu siapkan makanan yang paling enak," ucap Ibu dengan suara yang sangat berbeda dari tadi.
"Masak? Kan di dalam masih berantakan, apa tidak apa-apa menyuruh mereka masuk?" bisikku di telinga Ibu.
Aku tidak tahu apa yang akan terjadi kalau Mama dan Papa melihat dalam rumah yang begitu berantakan, bahkan lebih parah dari kapal pecah. Aku sendiri langsung pusing ketika melihatnya, apalagi mereka. Bisa-bisa kami bertiga langsung dibenci oleh mertuaku.
"Gapapa, biar orang tuanya tahu kalau anaknya sudah pergi terlalu lama, dan menelantarkan suaminya begitu saja." Ibu bersikap percaya diri.
Ya sudah, kalau Ibu sudah berkata begitu, aku tidak punya pilihan lain. Hanya bisa berdoa semoga apa semua perkiraannya benar.
"Ayo masuk, Pak, Bu!" Ibu berusaha menggandakan tangan Mama, tapi langsung ditepis secara tidak langsung.
Sikap apa itu? Apa pantas mereka begitu? Dasar orang-orang yang sombong, padahal harta tidak akan dibawa mati.
Mama dan Papa berjalan lebih dulu, disusul Qiera dan Ibu.
"Awas kalau saja kau mengatakan tentang kejelekan kami kepada mereka, akan aku lukai anak-anaknya nanti," bisik Ibu mengancam.
"Coba saja!" Qiera tidak menggubris ancaman dari Ibu dan malah masuk ke dalam rumah bagaikan ratu, tapi tidak lama mereka bertiga kembali keluar.
"Ya ampun, ini rumah atau sarang nyamuk?" Mama mertua mengeluarkan kata-kata yang pedas.
"Maaf, Jeng, tapi kondisi rumah memang sudah seperti ini ketika kami datang kemarin sore. Kami tidak sempat membereskan semua ini, apalagi Yasa, dia membawa banyak pekerjaan dari kantor yang harus segera dikerjakan meksipun di hari libur," jelas Ini panjang lebar.
Keren, pantas saja aku punya bakat untuk menjadi aktor, ternyata aku lahir dari rahim wanita yang pandai berakting juga.
Mereka bertiga menatap kami lekat, lalu Mama mendekat ke arah Ibu. "Bagaimana, ya, kami juga tidak punya waktu untuk membereskan rumah. Pantas saja anak-anak tadi tidak mau ikut, sepetinya mereka sudah tahu tentang kebiasaan papanya yang hanya sibuk bekerja, tapi tidak peduli dengan kesehatan mereka sebagai anak-anaknya," lirihnya.
Kata-katanya memang pelan, tapi menusuk hatiku yang paling dalam. Pantas saja dari tadi aku merasa ada yang kurang, ternyata anak-anak tidak ikut. Anehnya, ada rasa yang tidak biasa di dalam hatiku.
"Sekali lagi, maaf, ya. Jeng sama Bapak bisa tunggu di luar dulu," pinta Ibu yang berusaha menguasai emosinya, "dan Qiera, bisa bantu Ibu dan Yani beres-beres di dalam?" tanyanya pada Qiera dengan tatapan mengintimidasi.
"Sebenarnya aku capek, tapi ...." Qiera mengeluarkan kata-kata penolakan yang baru aku dengar. Karena dari dulu, dia selalu melakukan apa yang aku, dan Ibu perintahkan. "baiklah." Akhirnya ia setuju.
Mertuaku menunggu di mobil, sementara kami masuk ke dalam rumah, termasuk Qiera.
"Bersihkan semuanya dalam waktu dua puluh menit!" Ibu mulai memberikan perintah kepada Qiera yang hanya membulatkan mata. "Kenapa, keberatan? Sayangnya Ibu tidak mau tahu dan rumah ini harus beres dalam waktu dua puluh menit!" titah tajam.
***
Qiera mulai melakukan semuanya sendiri tanpa mengucapkan kalimat bantahan dari kata pun. Karena kasihan, aku membantunya untuk mencuci pakaian.
"Jangan dimasukkan ke mesin cuci semuanya, dipilih dulu!" Qiera berteriak ke arahku.
"Dia hanya ingin membantumu, harusnya kau bersyukur, bukan malah marah-marah!" Ibu langsung memaki dirinya sampai dia tidak berani bicara lagi.
Qiera bekerja sangat cepat, tapi hanya ruangan yang akan dilihat mertua saja yang dibersihkan, yang lainnya masih menanti.
"Ayo, masuk, Jeng, Pak." Ibu meminta mereka untuk menyantap makanan ringan yang dikeluarkan Qiera dari dalam lemari kecil yang aku sendiri tidak tahu ada lemari di sana.
***
"Kamu kelihatan lelah, kenapa?" Mama mulai tanya-tanya kenapa Qiera penuh keringat dan wajahnya kusut.
"Aku kan baru membereskan kekacauan yang ada sampai kinclong seperti ini, Ma," jawabnya tidak tahu malu.
Wajah mertua langsung merah, begitupun Ibu yang duduk di samping Qiera dan bersiap untuk mencubitnya.
Qiera tampak tersenyum puas melihat ketegangan kami bertiga. "Maksudnya karena membantu mereka, Ma," ralatnya. Namun, tetap saja aku sudah terlanjur emosi dengan sikapnya ini.
Dia tetap harus diberikan pelajaran, kalau tidak malah akan semakin melunjak, dan besar kepala.
"Syukurlah, pokoknya kamu tidak boleh capek-capek. Terus kalau ada apa-apa langsung telpon Mama sama Papa, apapun akan kami lakukan untuk kebahagiaan kamu, termasuk menghancurkan orang-orang yang ingin membuatmu hancur," pesan Mama membuatku beberapa kali mengelap keringat di kening.
"Siap, Ma."
Qiera membawa mangkuk besar untuk disimpan ke dalam lemari lemari perabotan, tapi sayangnya mangkuk besar itu malah jatuh dan pecah. Pecahannya berserakan di mana-mana sampai membuat Mama mertua tidak berani gerak.
"Jangan!" Mama langsung berteriak ketika melihat Qiera hendak mengambil pecahan itu. "Biarkan saja suamimu yang melakukannya," ucapnya seenak jidat.
Untungnya aku sering melihat OB kantor melakukan bersih-bersih, jadi tidak kaget lagi. Segera aku mengambil alat-alat yang dibutuhkan dan membersihkannya. Meski memakan waktu yang cukup lama, setidaknya masih lumayan.
***
"Mama sama Papa pergi dulu, ingat apa yang tadi Mama katakan!" pesannya kepada Qiera.
"Siap, Ma."
Setelah mertuaku pergi, kami bertiga menatap Qiera dengan kekesalan yang mendalam. Sekarang giliran kamu untuk memberikannya pelajaran.
"Sini!" Ibu menarik paksa lengannya dan mendorongnya ketika sampai di kamar anak-anak. "Bersihkan kamar ini segera karena Ibu mau menginap lagi!" titahnya tajam.
Qiera tidak punya pilihan lain, dia begitu patuh, dan menyulap kamar yang awalnya seperti rumah kosong yang ditinggal tahunan menjadi kamar yang begitu indah.
"Nah, gitu, dong jadi mantu!" Ibu memuji. "Sekarang bereskan kam—"
"Argh!" Yani berteriak begitu kencang sampai membuat ibu menghentikan perkataannya.
Segera kami berlari ke asal teriakannya.
"Ada apa, Sayang?" Yani berlari ke dalam pelukan Ibu, tapi tidak lama dia mendekat ke arah Qiera, dan mendorongnya.
"Apa yang kau inginkan sebenarnya? Kau benci dan dendam padaku? Bilang langsung, jangan begini caranya!" Yani memarahi Qiera habis-habisan, sementara aku dan Mama hanya saling tatap.
"Kenapa marah-marah? Sayang tenagamu." Ibu menarik Yani agar menjauh dari Qiera. "Coba jelaskan!"
"Ini, Bu, lihat!" Yani memperlihatkan beberapa baju kesayangannya yang tampak berubah warna menjadi jelek. Padahal harga baju itu mahal dan Yani mendapatkannya dengan banyak cara, tapi sekarang baju itu sudah terkena warna dari pakaian lain.
"Lah, kenapa menyalahkan aku? Tadi kan yang nyuci Mas Yasa. Aku juga sudah berusaha mencegahnya, tapi kalian ngotot. Ya sudah, silakan menikmati hari-hari kalian." Qiera mengangkat kedua tangannya dan tersenyum lebar. "Coba cek lagi, barangkali yang lainnya juga kena," usulnya.
Aku dan Ibu langsung mengecek pakaian yang ada di mesin cuci.
"Argh!!!"