Duel

1004 Words
Cengkeraman di bahuku kini dilepas oleh Mina, berganti dengan jambakan pada kucir rambutku, “Aww ...!” Kepalaku menengadah mengikuti tarikan tangannya, meringis menahan sakit. “Masih berani kamu ya!” Kucoba menarik lengannya dari kepalaku, Ingin rasa membalas perbuatannya tapi aku tak tega. Hatiku terlalu polos untuk sekadar balas dendam. Sesuai ajaran orang tuaku dulu, tak seharusnya hal buruk dibalas dengan keburukan pula. Sekar berusaha menengahi kami, memberi kalimat penyejuk agar Mina mau melepas. Sayangnya ia tak terpengaruh, tetap bertahan menyakitiku. Beberapa anak lain mulai berdatangan. Beberapa ikut memohon agar melepas, tak banyak pula yang malah mengompori. Seakan senang melihat pertengkaran ini. Kami bagai dua ekor ayam yang sedang diadu, menjadi tontonan tunggal di tengah medan perang. Hanya saja tanpa perlawanan sedikit pun. Aku pasrah menerimanya. Hingga sebuah tepisan kasar menepuk tangan Mina dari belakang. Ia memekik, “Aww!” Sontak tangan itu akhirnya terlepas, kuusap-usap kulit kepalaku yang terasa panas. Seakan rambut-rambut ini mau jebol dari akarnya. Kami menoleh ke belakang, menemukan Mbah Painem berdiri melotot menatap penuh amarah pada kami berdua. Wanita berbalut kebaya dan jarik itu menyilangkan tangan dalam d**a. Di belakangnya, Putra menampakkan mimik yang sama dengan ibu sambungnya itu. “Kalian seperti binatang, tak punya adab!” Aku berjingkat mendengar kalimat terakhirnya dengan nada tinggi. Kulirik Mina di sampingku yang turut kaget, ia menundukkan kepala dalam-dalam. Aku yakin di sini ia yang merasa bersalah sekaligus malu. “Terutama kau Mina! Jadi apa yang selama ini kuajarkan, tak pernah ada yang merasuk dalam pikiranmu? Gobl*k!” Kedua bahu Mina berguncang dan matanya memejam mendengar tutur kasar dari guru kami. “Sabar, ikhlas, telaten. Haruskah kuulang lagi? Coba jabarkan!” sentak Mbah Painem pada Mina. Ia berjingkat, terbata mulai menjawab pertanyaannya. “Sabar ketika menghadapi segala hal. Menghadapi kawan dan lawan yang nakal ketika di panggung. Ikhlas menerima apa pun. Menerima ketika ada kawan yang lebih baik dari kita, ketika ada penonton yang nakal dan tak puas. Telaten bersikap ketika ada kawan baru yang minta diajari, telaten menghadapi penonton nakal dengan menghindarinya perlahan.” Suara Mina bergetar dan serak. Menahan takut sekaligus tangis dalam d**a. Kucerna setiap kalimat yang muncul dari bibir tebal Mina. Bibir yang begitu sexy namun penuh dengan bisa mematikan. “Paham?” tanya Mbah Painem kembali. Kami mengangguk bersamaan. Kening Mina kini penuh peluh, beberapa kali ia mengusap dengan punggung lengannya. “Paham semua?” Suaranya lantang dan menyusuri pandang pada semua murid. Serempak semua menjawab, “Paham, Mbah.” “Sekarang, aku ingin kalian berdua duel yang positif. Duel menari di sini. Bukan saling jambak!” Ada rasa ragu menyelinap dalam d**a, bisakah aku melawan Mina yang jelas sekali kelincahannya? Sedang aku murid baru dengan pengetahuan yang pas-pasan. “Siap?” jawab Mina tegas, ia terlihat begitu percaya diri menerima tantangan ini. Kutengadahkan wajah yang sedari tadi tertunduk, menatap wajah Mbah Nem penuh harap, semoga ia mengurungkan niat ini. “Tapi ....” Ingin rasa menolaknya. Namun, tetiba sorot mata Mbah Painem memberiku kekuatan, akhirnya kuanggukkan kepala tanda setuju. Semua anak sigap membentuk lingkaran besar, mengitari kami berdua. Ada sedikit rasa deg-degan menyelimuti. Bisakah aku? Tatapan dalam Putra di belakang Mbah Painem membingungkanku. Apa maksudnya? Apa ia kecewa karena sikapku tadi, atau justru sengaja memberi semangat lewat sorot tajamnya itu? Sesuai titah Mbah Painem, Putra bergegas mengambil posisi pada kendang. Jari-jarinya sigap menunggu perintah. Mina mengambil selendang dalam tas dan mengalungkannya pada leher. Sedang aku begitu ragu, bolehkah kupakai selendang yang kemarin sempat dicegah Mbah Painem? Aku menoleh padanya untuk meminta izin. Mulutnya membuka, mengucap sebuah kata, “Tunggu!” Aku mengangguk. Lirikannya pada Mina pertanda sebuah perintah. Mina menjejak satu langkah ke depan. Tangan Mbah painem diacungkan ke atas, seketika itu pula tepukan kendang mulai mengalun indah. Mencipta irama harmonis. Tubuh Mina mulai bergoyang dengan indahnya, sapuan selendangnya beberapa kali sengaja di buang kepadaku. Aku masih terdiam sambil sedikit menghindari uluran kasar dari selendang Mina. Bibirnya menyungging, kepalanya berayun-ayun. Perlahan mulai mengitari tubuhku dengan goyangan ejekan. Aku hanya mendengus, teriakan dari kawan penonton membuatnya semakin beringas, bergeol dan mengentak-entak dengan luwesnya. Kulirik Mbah Painem di ujung kananku, ia mengangguk. Kuembuskan napas berat, lantas perlahan menarik selendang dari dalam tas. Kusibakkan kain panjang itu menjuntai lantai, membuang tas lalu mengalungkannya pada leher. Seketika suasana terasa berbeda, kenapa begitu hening? Bahkan suara teriakan kawan-kawan tak lagi kudengar. Ada apa dengan telingaku? Dalam pandanganku, tetiba kulihat seorang ronggeng cantik muncul dari belakang Mina. Aku ingat betul, sosok ini yang kulihat duduk di atas makam Mbah Sriyani kala itu. Ia mengenakan selendang yang sama denganku, memberiku isyarat untuk mengikuti gerakannya. Kuikuti setiap lekukan tubuhnya. Mengayun, mengentak, menggoyangkan pinggang ke kiri dan kanan. Semakin lincah dan semangat diri ini menemukan guru yang bisa langsung ditiru. Kini semua suara riuh ramai seketika kembali. Aku semringah melihat Mina yang mulai kewalahan mengimbangiku. Peluhnya merupa butir jagung, wajahnya masam. Tak ada lagi sunggingan kesombongan seperti awal ia bergerak tadi. Aku merasa begitu istimewa berbalut selendang kuning ini. Seperti ada aura pikat yang memancar. Bahkan kulirik Putra menatapku dengan seringai puas. Begitu pun dengan sang dukun ronggeng. Ada keharuan dalam wajah teduh itu. Bahkan kini matanya berkaca-kaca. Tepukan kendang semakin keras dan cepat, menggoyangkan badan semakin meliuk, semakin gila. Hingga akhirnya Mina tersandung kakinya sendiri dan jatuh bersimpuh di hadapanku. Riuh ramai kawan-kawan memenuhi pendopo. Teriakan-teriakan ejekan pada Mina membusungkan dadaku. Aku semakin di atas awan. Menatap Mina yang terengah-engah di bawah kakiku. “Sriyani!” Suara serak dan berat menolehkan semua kepala ke sisi kanan. “Bapak!” Mbah Painem tak percaya mendapati Mbah Diman berdiri tegak di sana. Mulutnya menganga dengan mata yang berembun. Terseok ia mendekat pada bapaknya, menatap lelaki tua itu dari atas ke bawah. Sementara Putra masih mematung di depan kendangnya, bergeleng-geleng dengan wajah penuh heran. Begitu pun dengan kami semua. Saling berbisik dan bergerumun membicarakan. “Apa aku bermimpi?” Mbah Painem menepuk pipinya sendiri. “Tidak, Nem. Lihat dia, gadis itu jelmaan Sriyani, ia yang memberiku kekuatan untuk bisa berdiri kembali.” Tudingan tangannya padaku, membuatku celingukan memandang tubuh sendiri. Apa benar yang dikatakan Mbah Diman?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD