Chapter 2 - Perjanjian Iblis

1340 Words
Jika tak percaya padanya siapa lagi yang bisa kupercaya? batin anak kecil berpikir menatap makhluk menyeramkan yang berdiri di dekatnya. "Bisakah kau merubah wujudmu menjadi lebih baik? Jujur wujudmu sekarang sangat menakutkan," akunya jujur yang dibalas tawa pria hitam. "Kau takut pada wujudku? Padahal aku sangat menyukai wujud asliku ini. " Iblis merasa geli karena tingkah anak kecil tersebut. "Baiklah, aku akan merubahnya." Tanpa menunggu lama wujud menyeramkan berubah menjadi seorang pria dewasa yang tampan. Tidak ada pilihan lain yang bisa kulakukan. Aku membutuhkan perlindungan dari orang dewasa dan hal itu tampaknya bisa kudapatkan dari paman ini, batinnya sembari menatap pria dewasa. "Kau benar-benar bisa membantuku?" tanya anak kecil menatap iblis penuh harapan. "Tentu saja, tapi aku punya sebuah syarat yang harus kau penuhi," sahut iblis. "Katakan apa syaratnya?" "Kau harus bersedia menyerahkan jiwa dan mengabdi seumur hidup." Pria iblis menatap anak kecil dengan raut wajah serius. Tanpa pikir panjang bocah kecil mengiakan permintaan dari pria iblis. Di dalam hatinya dia hanya terpikir dengan balas dendam dan juga keamanan hidupnya. Sang iblis mengajari anak kecil itu cara berkultivasi sampai dia tumbuh dewasa. Di umur dua puluh lima tahun, dia menjadi sosok yang sangat kuat dan paling berbakat di antara generasinya. "Aku sekarang sudah siap untuk melakukan balas dendam!" Di suatu malam yang gelap tak berbintang anak kecil yang sudah tumbuh menjadi pemuda yang tampan berjalan tanpa suara di jalan. Di jalanan sudah sepi, tidak ada satu pun orang yang lewat. Hanya suara hewan-hewan yang mengisi kekosongan suara. Seorang pria berusia sekitar empat puluh tahunan sedang duduk menunggu datangnya seorang pembeli. Pandangan mata menatap tumpukan buku-buku yang belum satu pun laku. "Hari ini sepi sekali pelanggan satu pun tak ada yang membeli bukuku," keluhnya dengan raut wajah putus asa, menghapus keringat yang mengalir di dahinya. Cuaca malam ini terasa sedikit berbeda tak seperti biasanya. Entahlah dia tak itu hal itu disebabkan karena apa? Seorang pemuda yang rambut panjangnya dikuncir. Hanfu yang membalut tubuh atletis nya terlihat mewah. Dia berjalan mendekati bapak penjual buku yang sedang melamun. "Bos, berapa harga buku ini?" tanyanya sembari menunjukkan buku bersampul biru tua yang diinginkannya. Bapak penjual terbangun dari lamunannya. Wajahnya terlihat berseri melihat kedatangan pelanggan pertama. "Anak Muda! Harga buku ini sangatlah murah hanya satu tael saja, " jawabnya dengan ramah. "Baiklah, saya beli buku ini, " balas pemuda tampan sembari meletakkan satu tael di atas tumpukan buku, kemudian dia berlari pergi menjauh. "Akhirnya ada satu orang pelanggan yang membeli bukuku, aku bisa membawa uang untuk dibelikan makanan untuk anak-anak dan istriku. " Dengan senyuman di wajahnya. Dia mengambil uang tael tersebut dan memasukkannya ke dalam kantong uang miliknya yang sudah usang. Satu, dua, tiga, empat, lima, pemuda yang bersembunyi di balik pilar menghitung di dalam hati. Sementara itu tatapan matanya tertuju pada bapak penjual buku. Dalam hitungan detik paman penjual buku kejang-kejang, dia jatuh terkapar di atas tanah dengan mulut mengeluarkan busa. Sekujur tubuhnya berwarna biru dengan bercak ungu. *** Keesokan harinya terlihat dua orang murid tengah berlari tergesa-gesa memasuki salah satu ruang yang ada di kediaman. Saking paniknya menerobos masuk tanpa mengetuk pintu. Sang pemilik yang berstatus sebagai ketua sekte sedang merapikan lapisan rompi hanfu merahnya. "Ketua sekte, terjadi masalah seorang pria ditemukan jatuh tergeletak di lantai," lapor seorang murid yang lebih tua. "Kalian sudah periksa lokasi kejadian? Selain pria itu apa ada hal mencurigakan yang lain?" Dia memasang topi ke atas kepalanya. "Apa kalian telah menyelidiki hal-hal ini?" Tak ada jawaban dari dua orang murid. Menandakan mereka belum melakukannya. "Kita selidiki sekarang!" Ketua sekte mengambil pedang yang tersarung sebelum berbalik melangkah pergi. Ketua sekte berjalan di depan, dengan dua orang pria mengikutinya di belakang. Langkah mereka tegap dan teratur. Kedua murid meminta warga yang berkerumun untuk menyingkir memberikan jalan untuk mereka lewat. Mereka melangkah masuk ke dalam kios buku. Ketua sekte memeriksa keadaan mayat yang tubuhnya sudah biru semua menggunakan alat khusus. Selesai memeriksa dia menutupi tubuh mayat memakai kain putih. Pria itu juga memeriksa keadaan sekitar dengan teliti. Kedua muridnya juga ikut membantu, tapi tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan seperti pisau, pedang atau senjata tajam lainnya yang tergeletak di lokasi. Aneh, tidak ada jejak perkelahian dan juga darah. Jika tak ada mayat di sini orang-orang pasti akan mengira tidak terjadi sesuatu, batin ketua sekte. Jujur dia benar-benar kebingungan. "Ketua sekte, suamiku adalah pria yang jujur dan baik hati. Siapa yang dengan teganya membunuh suamiku?" ucap istri korban terisak, air matanya mengalir di kedua sudut matanya. Dia tak menyangka sarapan bersama pagi kemaren dengan penuh canda dan tawa adalah terakhir kalinya. Masalah perebutan uang sangatlah tidak mungkin, batinnya mengamati hanfu sederhana yang di beberapa tempat ditambal membalut tubuh wanita itu. "Ayah, bangunlah aku janji tak akan nakal lagi!" Anak kecil yang berusia tujuh tahun menangis sedih. Ketua sekte meminta dua orang muridnya membawa mayat ke kediaman sekte untuk pemeriksaan lebih lanjut. Sementara itu si pelaku yang berada di balik pintu ruang pemeriksaan tersenyum senang. Kalian rasakan itu manusia! Rasa kehilangan anggota keluarga yang berharga, batinnya merasa puas. Kalian lakukan saja pemeriksaan sampai berulang kali! Kalian tak akan menemukan penyebab kematian pria tua itu. Setelah berkata begitu dalam sekejap dia menghilang tanpa jejak. *** "Tuan Muda, semua anggota kita sudah siap," lapor seorang bawahan berseragam hitam. "Serang!" perintah Tuan Muda yang sedang duduk santai di atas kuda cokelatnya. Semua bawahan bergerak sesuai perintah atasan. Suara langkah kaki serempak dan suara teriakan terdengar bersamaan. Orang-orang berseragam hitam tanpa belas kasihan melemparkan warga-warga biasa yang tak memiliki kekuatan kultivasi ke dinding rumah mereka. Pedang-pedang tajam menyabet leher warga baik pria maupun wanita tanpa sempat menjerit kesakitan. Cairan merah segar memuncrat dimana-mana seolah dijadikan sebagai cat melukis. Anak-anak kecil dipinta oleh orang tua mereka untuk bersembunyi sampai keadaan aman. "Lapor! Kami sudah melakukan apa yang Tuan Muda perintahkan!" lapor seorang bawahan yang setia, badan sedikit membungkuk dan tangannya membentuk posisi hormat. "Bagus sekali! Sekarang tinggalkan tempat ini dan pergi ke tempat lain untuk berbuat kekacauan!" Tuan Muda tersenyum sinis dan memacu kudanya yang diikuti para bawahan yang setia mengikuti kemana pun sang tuan pergi. *** Masalah baru datang sebelum masalah sebelumnya selesai membuat hampir semua orang merasa resah dan gelisah. Baik itu sekte-sekte, pemimpin kota, dan rakyat biasa. Laporan bencana dan masalah dari warga seolah tak berhenti bagai air yang terus mengalir. Di suatu pemukiman terlihat murid-murid aliran salah satu sekte besar hilir mudik tengah mengobati warga yang terbaring di ranjang. Dua orang murid mendorong pasien baru yang diletakkan di dalam gerobak. Murid lain membantu menurunkan pasien dari gerobak dan membawanya ke dalam ruangan yang diubah menjadi tempat pengobatan rakyat. Aroma obat-obatan tercium jelas di udara. "Guru, bagaimana ini para pasien yang datang terus bertambah, sedangkan ruangan ini sudah penuh oleh pasien sebelumnya," ucap seorang murid sekte yang masih muda. Seragam merah muda khas sekte membalut tubuh gadis itu. Pria yang dipanggil guru oleh murid perempuan itu tampak sedang berpikir sebelum menjawab. "Berikan ini pada sekte nomor satu dan katakan bahwa guru meminta bantuan mereka." "Baik, guru," balas si murid mengangguk, memasukkan token ke dalam kantong yang dikaitkan di pinggang, kemudian bergegas melangkah pergi melaksanakan tugasnya. Begitu banyak rakyat yang tak bersalah kehilangan nyawa mereka. Tak sedikit warga terkena wabah yang mematikan. Awalnya hanya sepasang ibu dan anak yang terkena kini menyebar ke warga yang lain. Bahkan murid-murid sekte dan beberapa tetua juga terkena wabah. Keadaan benar-benar sangat kacau dan memprihatinkan. *** Hari demi hari akhirnya ketua sekte pertama dan ketua sekte yang lain mengetahui jika masalah dan bencana yang terjadi diakibatkan oleh Tuan Muda bawahan iblis. Mereka bersama-sama menjebak sang Tuan Muda. "Kau tidak akan bisa melakukan kekacauan lagi!" ucap salah satu ketua sekte. "Lepaskan aku! Kalian semua menjebakku!" Tuan Muda bergerak mencoba melepaskan tali Penglai yang mengikat tubuh dan tangannya. "Tali ini selamanya akan mengikatmu dan kau tidak akan bisa berbuat kejahatan lagi!" sahut tetua yang lebih muda dari tetua yang tadi. Bersama-sama semua ketua sekte dan para tetua bekerja sama mengunci Sang Tuan Muda di dalam ruangan khusus yang sudah diberi mantra kertas sehingga dia tak bisa keluar dari sana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD