Si Barbar Jelita

1410 Words
Kita memang tidak akan pernah bisa memilih akan terlahir dalam keluarga mana dan dari orang tua yang bagaimana. Namun, sekalipun hidupku sangat menegangkan, but I'm feel blessed to be the part of this family.  [Jenna Himeka Saba — Irudimena: Fantasy]   Kenalin, nama gue Jenna Himeka Saba. Papi gue keturunan Jawa campur Belanda bernama Barend Yodha Saba, sedangkan Mami gue keturunan Sunda berpadu Jepang bernama Ekacitta Machiko Murakami. Wajar kalau nama gue juga berbau Jepang, ‘kan? Kata Papi, sih artinya putri yang sangat menggemaskan dengan sorot mata bercahaya. Mungkin karena Papi sama Mami menunggu selama sembilan tahun dan akhirnya kesampaian juga dapet anak perempuan yang sudah lama mereka idamkan. Makanya nama gue girly abis. Beda dengan Abang gue yang namanya bule banget kayak nama leluhurnya Papi. Wilfred Treffen Saba atau yang biasa dipanggil A Willy. Lahir dari keluarga pebisnis di bidang konstruksi yang minim penerus, membuat orang tua gue lumayan sibuk. Mau protes pun gue gak berani. Karena Papi sama Mami keduanya anak tunggal sedangkan bisnis keluarga gue udah ada sejak puluhan tahun lalu. Sekarang Aa gue juga makin sibuk karena harus ngurusin beberapa anak cabang di luar negeri setelah nikah sama Kak Yumna dan punya seorang anak laki-laki berumur dua tahun bernama Patria Biru Langit Saba.  Perbedaan usia sembilan tahun sama A Willy bikin gue terkadang canggung banget kalau mau cerita ini itu. Gue gak bebas tiap kali mau ngungkapin perasaan gue soalnya Aa masih nganggap gue sebagai adik kecil yang belum dewasa, atau lebih tepatnya adik kecil yang gak bakalan pernah dianggap dewasa. Keluarga gue selalu memenuhi keinginan gue, meskipun itu semua perlu negosiasi panjang karena Papi dan Mami gak mau anak-anaknya punya sifat manja berlebihan hanya karena terlihat mudah mendapatkan apa yang menjadi keinginan mereka. Yang namanya anak gadis dan jadi si bungsu dengan jarak yang cukup jauh terkadang bikin gue pengen juga bermanja-manja saat semua anggota keluarga gue berkumpul, karena cuma itu satu-satunya momen yang gue punya sebelum kami semua kembali sibuk dengan tanggung jawab masing-masing. Walaupun gue anak gadis, tapi gue doyan banget latihan taekwondo dari kecil. Tepatnya setelah gue hampir diculik sama rival bisnis keluarga gue. Keluarga Saba emang terkenal dalam dunia bisnis konstruksi. Bisnis yang sudah digeluti secara turun temurun selama lebih dari tujuh puluh tahun ini terbukti berhasil melalui badai dan krisis terberat baik dari faktor luar maupun dalam. Karena latar belakang keluarga gue juga kali ya, yang bikin orang ngira gue jadi gampang dimanfaatin karena mereka pikir gue pasti selalu dimanjakan di rumah. Alhasil banyak banget orang-orang yang mendekati gue dengan motif-motif tertentu dan pastinya mereka tidak benar-benar tulus karena hanya ingin mencari keuntungan aja. Untungnya gue masih punya banyak sahabat yang selalu bisa diandalkan. Sahabat yang gak akan pernah membiarkan gue tersesat dan kesepian sendirian. Semasa gue kecil, gue selalu dikelilingi banyak teman. Gue pikir mereka anak-anak yang tulus. Ternyata dari sekian banyak teman yang gue miliki, gak ada satu pun yang beneran berteman dengan gue tanpa motif apa pun. Saat gue berumur dua belas tahun, gue lagi-lagi harus kecewa karena dikelilingi teman yang sama. Seperti biasa, gue akan terus pakai topeng senyuman dan pura-pura bego sampai kami lulus lalu kembali menjadi orang asing. Terlalu sering di kelilingi orang-orang seperti ini bikin gue mahir banget bermain peran dengan sendirinya, sampai gue bisa bikin orang percaya kalau gue anak bungsu yang manja. Suatu hari ada murid pindahan baru di kelas gue. Namanya Nasima Khailina Valerian. Bocah ini tengil banget, terlebih lagi dia tomboy dan gak ada manisnya, persis seperti air isi ulang yang baru aja dijerang. Karakter kami yang berbeda seratus delapan puluh derajat membuat gue sedikit menjauhinya karena menganggap dia sangat brutal di mata gue. Sampai ada suatu kejadian yang membuat hidup gue berubah. Saat itu, gue yang mulai muak dengan kelakuan teman-teman fake gue memutuskan untuk menolak permintaan mereka. Gue pikir, sekali aja gue harus menyadarkan mereka kalau gue gak bodoh-bodoh banget. Lagian A Willy pasti bakal ngamuk kalau tahu gue diem aja karena gak membela diri. Sialnya, bukannya sadar malah mereka coba bully gue lebih parah. Ini sih gak bisa dibiarin. Gue udah bersiap memasang kuda-kuda kalau sampai mereka berani main tangan pakai cara keroyokan. Permainan baru aja dimulai saat ada seorang gadis terlihat mendobrak pintu gudang dan langsung melempar kursi ke arah temen-temen gue yang mencoba menjambak rambut gue. "Wah! Bener-bener drama yang menarik. Masih musim ya bullying macem gini? Katanya ini sekolah terbaik dan terfavorit. Ternyata masih aja ada sampah yang berserakan," serang Nasima dengan mulut pedasnya. "Heh! Punya nyali juga, Lo! Beraninya ngelempar kursi itu ke arah kami!" bentak Ivone si ketua bully. "Jangan banyak bacot, Lo! Anak baru aja mau sok jadi pahlawan." Seperti biasa Cici ikut menyudutkan. "Udah, gak usah banyak omong. Sekap aja dia sebelum dia lari kayak chicken. Dia gak bakal berani ngadu karena gak punya temen," timpal Ita sengaja memperkeruh keadaan. Tanpa membalas perkataan mereka, Nasima yang gak terima dibilang chicken langsung melesat ke arah sekumpulan anak-anak bodoh ini dan mulai menghadiahkan tamparan, tendangan, dan jambakan. Gue yang tersadar dari kebengongan gue akhirnya membantu Nasima dengan jurus taekwondo gue. Walaupun jurus gue masih taegeuk-6, tapi lumayan juga buat defense dari para perundung cemen ini. Adegan aksi itu berakhir saat Pak Maman, penjaga sekolah kami memeriksa suara gaduh di gudang paling ujung di halaman belakang sekolah. Berakhir dengan skors Nasima selama tiga minggu dan gue yang harus dirawat di rumah sakit karena kena hantaman balok yang dipegang Ita dari arah belakang yang sialnya kejadian itu telat gue prediksi, tapi ada untungnya juga sih gue dirawat. Karena Nasima selalu nemenin gue selama tiga minggu kami "liburan" dari pelajaran sekolah. Dia bilang sih, karena dia ngerasa bersalah udah biarin gue terluka parah sampai bahu gue dislokasi. Soal para anak-anak cemen itu. Mereka diberi peringatan dan dapat skors selama tiga bulan. Tadinya malah mau dikeluarin dari sekolah, tapi orang tua mereka memohon sama pihak sekolah buat kasih mereka satu kesempatan lagi karena kami bentar lagi akan naik ke kelas tiga.    ✧✧✧   "Nasima, sumpah kemaren itu lo keren banget. Kalo lo cowok nih, udah gue pacarin saat ini juga."  "Kepala lo kena hantam juga, ya? Kok otak lo ikutan cidera gini? Butuh cepet-cepet di MRI sebelum lo jadi makin gak waras." Nasima begidik geli sambil memutar badan gue ke kanan dan ke kiri. "Gue serius Nasimaaa. Makasih ya, lo udah bantuin gue kemaren. Kalau gak, mungkin bukan cuma dislokasi ini yang gue dapetin."  "Udah santai aja. Kalau lo emang masih mau berterima kasih, gue bisa minta satu hal gak?" "Bilang aja, apa pun buat lo."  "Lo bisa berhenti bilang hal-hal yang menggelikan kayak tadi gak? Sumpah gue merinding banget dengernya. Bikin gue pengen pipis di celana saking ngerinya ...." Yah, begitulah awal persahabatan gue dan Nasima dimulai. Sejak kejadian itu semua kenakalan teman-teman fake gue diketahui sama pihak sekolah. Parahnya lagi keluarga gue akhirnya tahu apa yang terjadi sama gue selama bertahun-tahun. Membuat mereka semakin merasa bersalah setelah kejadian gue yang hampir diculik dulu. Namun, gue berhasil meyakinkan keluarga gue. Kalau gue cuma akan berteman dengan Nasima mulai sekarang, dan ternyata keluarga gue adalah relasi bisnis dari keluarga Nasima. Oke, win-win solution buat kami semua. "Jen, besok kalau lo udah beneran sembuh gue bakal kenalin lo sama orang-orang yang keren dalam arti sesungguhnya. Gak nyesel deh kenalan sama mereka."  "Serius Nas? lo emang temen gue yang paling keren."  "Mulai lagi deh. Gue tuh gak ada keren-kerennya kalau dibandingin orang-orang itu. Lebih tepatnya gue masih noob dibanding mereka." Sore hari itu ditutup dengan suara tawa kami berdua yang membahana di sepanjang lorong bangsal VVIP Rumah Sakit East Medical Centre.   ✧✧✧   Di depan ruang rawat Jenna, "Mamih lega, Pih. Jenna akhirnya punya temen yang bener. Dari keluarga yang kita kenal betul lagi." "Iya Mi. Mulai sekarang kita tidak perlu mengkhawatirkan dengan siapa Jenna bergaul. Keluarga Valerian itu keluarga baik-baik. Kalau tidak, mana mungkin Willy pernah menaruh hati pada kakak sulung Nasima," kata Papi Jenna sambil merangkul pundak istrinya. "Jadi, Papih teh tahu Humira itu mantan pacarnya Willy?" ucap mami Machiko terkejut. Papi memang gila kerja, tapi Papi selalu tahu dengan siapa anak-anak Papi bergaul dan menghabiskan waktunya. Ya, walaupun Papi kecolongan dalam kasus Jenna karena dia pintar banget acting dan nego sama pengawalnya sampai bisa mengecoh kita semua,"—Papi Yodha menjawab dengan tatapan menerawang, mengingat kembali kejadian-kejadian tidak menyenangkan yang selalu dialami anak gadis semata wayangnya—"ya udah, kita masuk sekarang sebelum mereka berdua bikin pasien lain terganggu dengan suara tawa mereka yang bikin migrain itu," ajak papi Yodha.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD