4

1104 Words
"Kau masih marah? " Devi memeluk Ananta. "Maafkan aku kalau kau menganggap aku salah, tak jujur dan apalah, semua aku lakukan agar semuanya baik-baik saja, aku hanya kawatir kalau aku bilang sama mas, takut mas jadi marah nggak karu-karuan mengingat sejak dulu ia selalu bikin mas marah, dan Livia meski ia bukan anak kandung kita, sayangku padanya sama seperti pada Sena dan Ejak, makanya saat ada masalah kayak gini benar-benar jadi pikiran bagiku," ujar Devi sambil memeluk Ananta. Ananta menatap Devi yang memeluknya dengan posisi menyamping. "Memang seandainya aku tahu sejak awal, aku pukuli dia, tapi sekarang, ada Biru, Livia yang tersakiti juga jadi tidak mengubah keadaan meski aku berbuat seperti itu, yang penting kita terus menasehati Livia agar melupakan laki-laki itu dan mempertimbangkan Adam untuk menjadi papanya Biru, memang tidak mudah tapi aku yakin akan ada perasaan suka pada akhirnya mengingat Adam benar-benar mendampimgi Livia dalam suka dan duka," ujar Ananta. "Sudahlah kita tidur saja, rasanya aku lelah mikir mas dari tadi takut benar-benar marah," Devi memajukan wajahnya, menciumi bibir Ananta, melumatnya pelan dan melepas kembali saat napas suaminya menjadi tidak normal. Ananta memeluk erat kepala Devi ke dadanya. "Kita semakin tua, usia kita mendekati angka lima puluh, akan lebih baik jika ada masalah ya segera diselesaikan, aku tidak mau juga jadi berlarut-larut, tidurlah, aku sebenarnya ingin tapi kau terlihat capek, besok saja setelah subuh," Ananta mencium kening Devi keduanya saling menatap dan tersenyum lalu menyamankan posisi tidur mereka dan memejamkan mata. **** "Nggak usah ke galery dulu ya Livi, biar aku saja, aku tidak mau laki-laki itu mencarimu lagi, aku bertanya pada biro perjalanannya, sempat aku hubungi kemarin mereka di Jogja masih tiga hari lagi, hari ini agenda mereka ke keraton, jaraknya tidak jauh dari galery kita," ujar Adam pagi hari, ia mampir sebelum ke galery untuk menyapa Biru. "Tapi aku ingin menemuinya mas akuuu...," "Buat apa, kamu ingin kembali ke dia, kamu ingin dia pisah dengan istrinya, sadar Livia, dia sudah memiliki rumah tangga sendiri, kamu ingin bersatu dengan Victor dan harus menyakiti wanita lain yang sah sebagai istrinya, aku tak masalah kau tinggalkan, aku hanya berpikir tentang Biru," Adam terlihat menekan perasaannya, meski sakit, ia bangkit dan menurunkan Biru yang ia gendong, mencium keningnya, melangkah menuju pintu. "iu icut papa," Biru mengejar Adam,  Adam berjongkok menggendong Biru lagi, ia ciumi pipinya. "Tidak boleh sayang, papa ke galery dulu ya, nanti papa bawakan oleh-oleh, Biru mau apa?" Adam menatap mawa bening Biru. "Ainan papa," "Baiklah, papa bawakan nanti ya, papa berangkat dulu," Adam kembali masuk menyerahkan Biru ke tangan Livia tanpa berkata apa-apa lagi. **** Dari luar pagar rumah besar itu Victor menatap Biru yang diciumi oleh Adam, hatinya pedih dan sakit harusnya ia yang menggendong Biru dan menciuminya. Ia melangkah gontai meninggalkan rumah besar itu, menuju rombongan yang menunggunya di keraton. **** Siang itu Livia menitipkan Biru pada bi Sum, ia bergegas menaiki motornya melajukannya ka arah keraton. **** Sesampaunya di depan pintu keraton mendadak hatinya gamang, dalam pikirannya melintas wajah Adam dan istri Victor, lalu sambil menahan air mata yang hendak tumpah, Livia berbalik, bergegas menuju motornya lagi. Namun tangan besar menahan lengannya, menariknya dalam pelukan seseorang berbadan tegap. "Livia maafkan aku, maafkan aku," suara Victor mendesis di telinga Livia. Seketika ia mendorong denga keras badan Victor. "Kau bohong, kau mengatakan padaku bahwa kau akan bertanggung jawab, kau menyuruhku menghubungimu jika ada apa-apa, tapi kau mengabaikan kami," Livia terisak wajahnya memerah menahan tangis. "Lalu jika kau benci dan marah padaku, mengapa kau ke sini, kau masih mencariku kan, kau masih mengharapkanku kan?" Victor masih menahan lengan Livia. Livia tak menjawab tapi ia berusaha melepaskan diri. "Jawab aku Livia, jika kau mau kita bersama, aku akan mengatakan sejujurnya pada Damira, aku akan memintanya agar melepaskan aku, kita bisa bersama-sama mengasuh Biru," Victor menatap Livia sambil menghiba dengan wajah sedih. Livia menatap Victor dengan mata basah. "Aku tak bisa jadi orang jahat, yang seenaknya menyuruhmu, menceraikan istrimu, aku hanya ingin melihatmu saja, hanya melihatmu, sepanjang tiga tahun aku tak pernah bisa melupakanmu, kini saat kau datang dengan istrimu, lalu kau harus bagaimana, akuuu aku bingung," Dan sekali hentakan Livia berlari menuju motornya, menaikinya dengan kencang membelah keramaian lalu lintas dengan air mata bercucuran. **** Setelah meletakkan motornya Livia bergegas masuk, setengah berlari ia membuka pintu dan kaget saat Devi ada di depan matanya. "Bundaaaa," Livia menangis tergugu, bahunya terguncang hebat. Devi memeluk Livia dengan bingung. Ia usap punggung Livia. "Jangan katakan jika kau menemuinya Livi," ujar Devi dengan suara menahan emosi. "Aku menemuinya bundaaa, aku merindukannya bundaaaa, aku bingung, aku tidak tahu harus bagaimana bundaaa," tangisan Livia membuat Devi semakin marah, hanya ia menahan perasaannya agar keadaan tidak semakin buruk, jika ia marah maka kawatir langkah Livia semakin tak terkendali. "Duduk, dengarkan bunda," Devi menatap mata Livia. "Pikirkan dengan jernih, kamu mau Victor meninggalkan istrinya lalu bersama dengan kamu dan Biru, kamu mau mengorbankan istri Victor yang tak tahu menahu tentang masa lalu kalian, pikir pikirkan Livia, jika Victor memang laki-laki bertanggung jawab, ia akan menengokmu ke Indonesia,  bukan menghilang, lalu muncul dan merusak tatanan yang sudah baik-baik saja, lalu pikirkan lagi perasaan Adam, laki-laki baik dan tulus yang menemanimu merawat Biru saat ia sesak, sakit semalaman dia gendong Biru di rumah sakit lalu ke mana Victor saat seperti itu, sekarang tiba-tiba dia datang dan mengaku papanya Biru, jika kau ingin bersama Victor silakan, bunda tidak melarang, bawa Biru juga silakan tapi saat kau ke luar dari rumah ini untuk mengejar laki-laki itu, jangan pernah kembali lagi ke rumah ini," Devi bangkit dari duduknya meninggalkan Livia yang masih terisak di ruang tamu. Devi melangkah menuju bi Sum meraih Biru dan ia bawa ke kamarnya. **** Adam menunduk merenungi semua kejadian beberapa hari terakhir, ia sadar jika sejak awal rasanya memang sulit meraih hati Livia, apalagi sejak laki-laki itu muncul keadaan jadi semakin sulit. Adam memutuskan akan menjauh dari Livia, ia ingin tahu apa yang Livia rasakan, untuk sementara ia akan menghadap pada Ananta tapi tidak di rumahnya namun ke hotel tempat Ananta biasa berada, ia akan mengajukan ijin selama seminggu, akan mengistirahatkan pikirannya ke rumah kakeknya di Wonogiri. **** "Pergilah Dam, aku ijinkan, tapi kembalilah, aku tetap mengharap kau kembali, kau salah satu orang yang aku percaya," ujar Ananta. Adam mengangguk, entah mengapa ia ragu akankah ia bisa kembali seperti rencana semula,  karena tiba-tiba ada keinginan untuk menerima tawaran pekerjaan dari temannya semalam. Adam memandang Ananta, laki-laki yang telah ia anggap seperti bapaknya sendiri, laki-laki yang telah memberinya pekerjaan dan selalu memberikan perhatian lebih dari sekadar karyawan dan atasan. Maafkan saya pak, jika kali ini saya ingin istirahat lebih lama, saya berjanji akan kembali, saya akan membalas semua kebaikan bapak... ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD