3

997 Words
Damira menutup mulutnya tak percaya dengan apa yang ia dengar. Yang ia tahu selama dua setengah tahun suaminya adalah laki-laki baik, santun, dan bertanggung jawab, ia tahu kesibukan suaminya yang seorang dosen dan menekuni penelitian sejarah dan budaya berbagai negara, mereka bertemu saat suaminya melakukan wawancara padanya sebagai salah satu karyawan yang bekerja di museum yang dikelola oleh pemerintah. Mereka melalui pendekatan yang tidak mudah karena suaminya seolah lebih mencintai pekerjaannya dari pada dirinya, makanya saat suaminya sambil berkaca-kaca menjelaskan apa yang terjadi dengan wanita yang kemarin ia temui rasanya adalah hal yang mustahil, suaminya bukan tipe laki-laki penggoda. "Bagaimana bisa sayang, rasanya tidak mungkin kamu melakukan hal itu," Damira menangis tergugu, ia ingat bahkan dirinya yang harus memulai jika beberapa minggu Victor berlama-lama dalam kamar kerjanya. "Sudah kukatakan berulang bahwa aku melakukannya tanpa sadar, aku ditolak oleh ibu gadis itu, aku mencintainya bahkan sampai saat ini aku sulit melupakan ibu gadis itu, aku minum terlalu banyak, aku tak sadar apa yang aku lakukan,  saat aku bangun di guesthouse yang aku tempati, dia ada di sampingku, aku tanpa sadar melakukannya sekali, hanya sekali, meski ia berulang menggodaku, aku menolaknya karena aku tak terbiasa melakukan tanpa cinta, sampai akhirnya aku melakukan penelitian di negaramu, kita bertemu lalu enam bulan kemudian kita menikah," Victor mengusap wajahnya. "Dan ia sudah punya anak ternyata kan sayang, anakmu, aku melihat wajahmu pada anak itu?" Damira menatap wajah tampan Victor yang terlihat putus asa. "Ya, anakku, dia anakku, karena pagi itu aku melihat di sprei saat itu, ada darah, ia melakukan yang pertama denganku, aku menyesal, baru pertama aku menyentuh minuman dan merusak gadis itu, makanya saat ia kembali padaku, ingin melakukannya lagi, aku menolaknya, aku sampai pindah guesthouse agar aku tak didatanginya, ah mengapa begini, mengapa aku membiarkan mereka menderita, kau tahu Dami, anak itu kelainan jantung sejak bayi, aku merasa sangat sangat b******k sebagai papanya," Victor meremas rambutnya. Damira memeluk Victor, mengusap punggung suaminya. "Lalu kita bagaimana Victor, kita bagaimana, kau akan mengejar mereka, lalu aku kau tinggalkan?" tanya Damira menangis sedih. "Aku tak tahu Dami, aku tak tahu," sahut Victor lirih. **** Wajah Devi mengeras, ia bertemu Victor setelah laki-laki itu memaksa pada Adam ingin menemui Livi dan Biru kembali. "Lalu apa yang mau kamu bicarakan jika kau bertemu Livi dan cucuku, apakah keadaan akan menjadi baik-baik saja, aku yakin tidak akan ada yang berubah, kau sudah menikah kan, jadi jangan pernah lagi ingin bertemu mereka, tanpa kau pun, mereka akan pernuh limpahan cinta dari kami," ujar Devi dengan wajah dingin. Victor merasakan aura marah dan mengerikan di wajah orang yang sampai saat ini ia cintai. "Aku memang salah Devi, aku tak bisa menahan sakit karenamu, setelah pertemuan kita yang terakhir itu, aku merasakan lelah, sakit dan putus asa, aku lari pada minuman itu agar bisa melupakan sakit hatiku padamu, tapi sungguh aku tak ada niatan m*****i Livia, ia berada di tempat yg salah, harusnya jika ia mengantar aku yang mabuk, biarkan saat sudah sampai di guesthouse mengapa ia malah mengantarku sampai kamar, aku aku sunguh tak sadar apa yang terjadi," wajah Victor terlihat penuh penyesalan. "Aku tak mau membahas itu, saat ini yang jelas ada Biru hasil perbuatanmu, lalu kau mau memaksa ingin menemuinya, lalu jika sudah bertemu, apa yang mau kau lakukan, memeluknya, mau mengatakan jika kau papanya, apakah kira-kira kau akan selalu ada di sisinya setelah kau mengaku papanya, tidak kan, tidak mungkin kau menceraikan istrimu dan memilih Livia dan Biru kan?" "Kau bingung Devi, aku bingung, aku sudah bercerita pada istriku, dan dia kaget, dan juga kecewa," ujar Victor sendu. "Pasti, seandainya kau masih peduli paling tidak menengok Livia lagi kembali ke negera ini setelah kau menodainya, aku yakin tak akan seperti ini kondisinya, kau tahu Livia mencintaimu gara-gara peristiwa b******k itu, hingga ia membabi buta menolak orang yang sejak awal menaminya, hingga Biru lebih mengenal orang itu sebagai papanya, namun setelah tiga tahun kau datang lagi, memporak porandakan hatinya setelah penantian melelahkan karena ternyata kau sudah menikah, jadi sekali lagi, jangan temui Livia dan Biru, tak akan ada perubahan nasib mereka, malah kau akan menambah luka bagi keduanya," Devi berdiri namun Victor menahannya. "Tapi aku papanya Devi, tak berhakkah aku menemui Biru, ia anakku, anakku," Victor memohon. "Anakmu, lalu ke mana saja kau selama tiga tahun jika kau papanya, kau tak tahu kan hampir tiga bulan dia diicubator karena lahir prematur, dan semakin sedih kami karena ia mengalami kelainan jantung bawaan, lau kemana kau jika malam hari saat penyakitnya kambuh, kepanikan kami, kelelahan kami, apa kau merasa pantas menyebut dirimu papa untuk Biru, pulanglah kau tak akan membawa perubahan lebih baik, bagi Livia dan Biru," Devi berlalu dari hadapan Victor dan bergegas menuju mobilnya. **** Di dalam mobil, sambil menyusuri jalan raya, air mata Devi mengalir,  ia hanya ikut merasakan kelelahan yang dirasakan oleh Livia, tak ada jalan untuk Livia dan Victor, hanya rasa sakit yang akan mereka rasakan, karena Victor sudah memiliki istri. **** "Dari mana sayang?" Devi kaget saat Ananta tiba-tiba ada si rumah, tumben ia pulang lebih awal. "Ada yang harus aku selesaikan," sahut Devi. Ananta menangkup wajah istrinya, menatapnya lama. "Aku tahu kau berbohong, ada apa dengan wajahmu, matamu, ada sisa air mata, apa aku tak boleh tahu kelelahanmu?" Devi memeluk Nanta sambil menangis. "Aku akan bercerita, tapi berjanjilah untuk diam, hanya diam, karena keadaan sudah semakin rumit," ujar Devi. Lalu mengalirlah cerita Devi, dari awal dengan air mata bercucuran, sedang Ananta menahan amarahnya, mengatupkan gerahamnya dengan keras dan menundukkam kepalanya. "Lalu kau sengaja menyembunyikannya dariku karena ia orang yang pernah dekat denganmu?" amarah Ananta tak bisa disembunyikan lagi. Devi kaget. "Mas mengapa punya pikiran begitu, Livia baru mengatakan padaku, setelah ia pasti dengan kehamilannya, dan laki-laki itu sudah tidak di negara kita lagi, lalu jika aku memberi tahumu apakah kau bisa membantu, tidakkan?" "Setidaknya tidak ada yang disembunyikan dariku," sahut Nanta dengan nada yang dingin. "Lalu jika aku mengatakan semuanya padamu, apakah akan mengubah nasib Livia?" Ananta dan Devi sama-sama terdiam, mereka mencoba mencerna kemarahan dan kelehan hati masing-masing. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD