2

1076 Words
"Llii..liviiii?" Mata Livia berkaca-kaca, kakinya mendadak melemah. Dengan terbata-bata ia mengatakan pada seluruh wisatawan agar menuju ruang finishing, proses pembakaran di ruangan paling belakang. Mata Livia mencari-cari Adam, ia ingin mencari kekuatan pada lengan laki-laki itu. Belum selesai jantung Livia berdebar mendadak datang wanita cantik, tinggi semampai dan anggun dengan kerudung menutupi kepalanya, mendekap lengan Victor. "Sayang, ke mana saja, aku cari-cari, jadi lupa istri kalau sudah lihat-lihat benda kayak gini," Deg! Ternyata dia istrinya, selesai sudah Livia, selesai..berhentilah berharap dan bermimpi... Lalu kedunya berjalan bersama, menyusul seluruh rombongan dari negara yang sama. **** "Livi, kamu kenapa, kamu kenapa?" Adam nampak cemas saat melihat Livia yang nampak pucat dan terlihat lemas. "Ini mas Adam, berikan sama mbak Livia," Nia tampak memberikan teh hangat dan Adam meraihnya lalu didekatkan ke bibir Livia yang masih gemetar, Livia meminunnya sedikit demi sedikit. "Aku nggak papa, aku hanya kecapean saja, bentar lagi juga sehat kok," sahut Livia mulai berdiri dan kaget saat melihat bi Sum menggendong Biru. "Mengapa dibawa ke sini bi?" "Lah dari tadi nggak tahu kenapa Biru rewel cari non Livi, dan nyonya sedang ke cafe sebentar mau lihat non Natasha sama Bayu dan Banyu juga yang katanya kurang enak badan," sahut bi Sum. "Naik apa ke sini bi?" tanya Livi meraih Biru namun segera digendong oleh Adam. "Ya diantar sopir non, untung Pak Supar ada di rumah," jawab bi Sum. **** Livia berusaha menyembunyikan Biru agar Victor tak melihat keberadaannya, karena Livia merasa percuma Victor tahu, toh ia sudah menikah, air mata Livia terasa hendak melompat, ia mengutuki kebodohannya, menunggu orang yang tak pernah menganggapnya ada. Ia raih Biru dari gendongan Adam. "Mau ke mana?" "Biru kelihatan capek mas, akan aku tidurkan saja di ruanganku, di sana ada bantal dan selimut," "Iya sebentar lagi aku susul Livi, kamu juga istirahat jika capek, sebentar lagi wisatawan yang dari Belanda datang, maaf aku tak bisa membantu menidurkan Biru," ujar Adam terlihat cemas. "Nggap papa, bi Sum sudah sana balik ke rumah, kalau bunda datang bilang saja ada di sini Birunya," "Iya non saya pulang," sahut bi Sum. **** Livia bergegas menuju ruangannya di belakang, tangan kirinya mendekap Biru sedang tangan kanannya membawa perlengkapan s**u. Livia tak sadar jika pergerakannya diawasi oleh sepasang mata yang menatapnya penuh tanya. **** Victor melihat tubuh mungil Livia kesulitan menggendong seorang anak kecil, dadanya berdegup kencang meski dari jauh ia bisa melihat warna rambut anak itu. Voctor tergesa-gesa menggerakkan kakinya melangkah ke arah Livia. Istri Victor kaget.. "Sayaaamg mau kemana?" Victor mengabaikan pertanyaan istrinya, setengah berlari ia mengejar Livia yang sudah berbelok. **** Livia mencari kunci, meletakkan tas s**u Biru di lantai dan merogoh kunci di saku celananya. Saat ia memasukkan kunci, Livia merasa ada yang memegang bahunya, ia berbalik dan seketika dadanya bertalu saat Victor ada di depannya. Menatap Biru dengan mata kaget, mulut terbuka dan tak lama, matanya berkaca-kaca, melihat warna rambut, mata dan kulit anak laki-laki dalam gendongan Livia. "Diaaa diaaaa anakku?" "Bukan, dia anakku, lahir dari rahimku, kau bohong, ku hubungi kau berkali-kali, sampai bunda menghubungimu juga, tapi kau tak ada, pergi, pergi dari hidup kami, kami baik-baik saja tanpamu, selama tiga tahun ia baik-baik saja," suara Livia bergetar. "Mama iu bobok," suara lirih Biru menyadarkan Livia. "Ia sayang Biru ngantuk?" Lalu Livia menatap Victor dengan tatapan tajam.. "Pergi kau dari sini, kembali pada istrimu, dia menyusulmu," Livia memutar kunci, meraih tas s**u Biru, masuk ke ruangannya dan meraih kunci lagi, lalu menutup pintu dengan kasar. **** Victor memegang dadanya, air matanya tiba-tiba memenuhi matanya. Mengapa akhirnya seperti ini..andai saja ponselnya tak hilang saat ia pertama menginjakkan kaki di negara istrinya pasti takkan seperti ini kejadiannya. Ponselnya tertinggal di sebuah cafe yang ia lupa jalan untuk kembali ke cafe itu karena hari itu adalah hari pertama ia di negara itu... "Sayang kamu kenapa, ada apa kamu dengan wanita tadi, kau mengenalnya?" tanya Damira, istri Victor. "Kita kembali ke rombongan, nanti, nanti aku ceritakan," Victor menarik tangan istrinya menjauhi ruangan Livia yang sedang menidurkan Biru. **** Livia mendongak saat pintu terbuka dan ia menangis saat Adam menyentuh kepalanya. "Ada apa Livia, ada apa?" Livia bangkit lalu duduk di samping Adam. Ia menangis, menangis sepuasnya sampai bahunya terguncang. Adam merengkuh kepala Livia ke dadanya. "Ada apa berceritalah, sejak tadi aku merasa kau aneh Livia," ujar Adam dengan nada sedih. "Diaaaa diaaa tadi menemuiku mas, melihat Biru juga," Livia kembali menangis. Adam menangkup pipi Livia, menatap tepat ke manik mata Livia dengan wajah mengeras. "Maksudmu laki-laki itu, laki-laki yang menyebabkan Biru ada?" Livia mengangguk dengan ragu dan kembali menangis. Adam merengkuh kepala Livia semakin erat, ia tahu jika Livia bingung. "Ia datang bersama istrinya..ia...," Suara Livia hilang dalam tangisnya... "Ssstttt diamlah, tenangkan hatimu, semuanya akan baik-baik saja jika kau tenang," **** Adam menatap laki-laki di depannya dengan tatapan curiga, sejak tadi dia hanya berputar di satu tempat tapi matanya seolah sedang mencari seseorang. "May I help you, sir?" "Oh tidak terima kasih, saya saya ingin bertemu seseorang," sahutnya dan Adam kaget laki-laki bule di depannya lancar berbahasa Indonesia, "Oh, anda mencari siapa?" "Eeemm Livia, apakah ia bekerja di sini karena kemarin saya melihatnya..," Dan d**a Adam bergemuruh, menahan marah, ia tahu jika marah tidak akan menyelesaikan masalah. "Kembalilah ke negara anda, dia mampu membesarkan sendiri anaknya yang selama tiga tahun baik-baik saja meski jantungnya bermasalah sejak lahir, tiga tahun bukan waktu singkat dan mudah membesarkan sendiri anak seperti Biru dan Livi mampu," Adam meninggalkan Victor yang masih tergugu ditempatnya, Victor mengeratkan gerahamnya mencoba mencerna kalimat Adam bahwa anaknya, anak yang ia tingalkan ternyata memiliki kelainan. Hatinya berdenyut nyeri..membayangkan bahwa ini hukuman Tuhan untuknya meski ia melakukan di luar kesadarannya, ditambah lagi di usia pernikahannya yang lebih dari dua tahun, istrinya belum menunjukkan tanda-tanda kehamilan. **** "Belum tidur Livia, tidurlah, mumpung Biru sudah nyenyak sejak tadi, bunda perhatikan sejak sore kau melamun, ada apa?" tanya Devi mendekati Livia dan duduk di sampingnya. Livia menunduk dan air matanya luruh. "Saya melihatnya lagi bunda, dia dia...melihat saya dan Biru, di gallery bun," Mata Devi terbelalak, ia tahu ke arah mana pembicaraan Livia, tapi bagaimana bisa... Devi mendekap badan Livia ke dadanya, mengusap punggungnya.. "Dia bersama istrinya bundaa...," Devi merasakan air mata Livia yang luruh, mata Devi berkaca-kaca, Devi memahami bagaimana perih dan sakitnya hati Livia, Devi tahu bahwa di lubuk hati paling dalam Livia masih mengharap Victor kembali namun saat mengetahui Victor telah menikah, selesai sudah semuanya... Ah Liviii hidup memang akan selalu menampakkan riaknya, agar kita bisa terus berusaha, tetap tegar dan tak jatuh... ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD