Chapter 7 - Lumpuhkan Ingatanku

2223 Words
Dikta Inilah fase terberat di hidupku, kembali kehilangan orang yang aku cintai. Lima tahun lalu aku harus kehilangan Nadia karena kebodohanku, dan sekarang aku harus kehilangan ibuku satu-satunya keluarga yang aku punya selama ini untuk selama-lamanya. Menyakitkan benar-benar menyakitkan luar bisa. Apa perasaan ini yang dirasa Nadia saat ia harus menerima kenyataan pahit  saat kehilangan papanya, pria yang sangat ia cintai pergi selama-lamanya enam tahun yang lalu? Hancur, kecewa, hampa, sedih dan semua perasa-rasaan yang tak dapat aku utarakan lagi. Aku benar-benar tak dapat mengatakan perasaan apa yang aku rasakan saat ini. Hanya sakit yang tak terbendung. Saat pemakaman ibuku Bobby, Fena, Fatir, Nadia, Delima, Revan, lalu Wendy dan Kevin si orang asing yang mengatakan mereka adalah teman deket Nadia dan Fena dan beberapa teman kerjaku turut hadir. Tak ada keluargaku yang hadir. Nenek, Kakek, atau mungkin Ayahku pria b******k yang membuat aku dan ibuku harus hidup sebatang kara saat ini. Aku tak dapat mengutarkan bagimana perasaanku saat ini. Aku ingin menangis tapi air mataku terasa kering hingga rasanya aku tak mampu lagi untuk menangis. Dadaku sangat nyeri bagaikan sebuah pisau belati menusuk dadaku menembus jantungku dan meninggalkan sebuah luka yang tak bisa di sembuhan. Setelah pemakaman selesai, aku memutuskan untuk kembali ke rumahku. Rumah yang di beli ibuku dengan hasil kerja kerasnya selama ini. Rumah yang cukup sederhana jauh dari kesan mewah. Rumah yang menjadi saksi bisu aku lahir, tumbuh dan besar seperti sekarang ini. Saat aku sampai di rumah, terlihat Nadia mengikutiku. Kali ini dia sendiri tanpa Revan. Dan ini membuat perasaanku semakin sakit. Sakit karena aku tidak dapat memilikinya. Sakit karena kenyataannya dia berbahagia dengan orang lain yang jauh lebih hebat dariku bukan denganku, si pria bodoh dan kolot yang mencintainya seperti orang t***l selama sepuluh tahun ini. “Pradikta,” ujarnya saat aku membuka pintu rumahku. “Mau ngapain kamu kesini?” “Aku cuman mau ngeliat keadaan kamu, Dik,” kata Nadia. “Aku nggak apa-apa,” sahutku ketus. “Aku ngerti kamu pasti sedih banget, aku kesini cuman mau—” “Pulang lah, Nad!” potongku, “Aku tak ingin membuat Revan berprasangka buruk lagi denganku seperti tempo hari.” “Pradikta, aku cuman mau—” Aku menutup pintu rumahku. Dadaku terasa sesak saat ini seolah-olah aku di cecekik oleh seseorang. Aku berusah menangis tak bersuara di balik pintu ini. Ya Tuhan aku benar-benar jahat dengan Nadia, apa ini salah? Nadia maafkan aku aku begini karena aku ingin menyembuhkan luka hatiku sendiri. ##### Revan Setelah pemakam ibu Dikta, Nadia menolak pulang bersamaku. Kupacuh mobil BMW Z4-ku membelah jalanan kota Jakarta. Perasaan kesal dan cemburu mengampiriku. Kenapa Nadia begitu mementingakn Dikta ketimbang aku? apa dia masih mencintai Dikta? Kalau iya kenapa dia dulu mengatakan dia mencintaiku denganku? Dan kini, keraguan mulai menyelimuti diriku. Apa sesungguhnya perasaan Nadia denganku? Apa dia mencintaiku? Ataukah ia hanya terpaksa mencintaiku? Ya tuhan aku bingung. Sekarang aku harus berjalan kemana? Kenapa Raina harus mucul di hidupku lagi? Siapa yang harus aku pilih saat ini? Ponselku berdering keras. Sebuah pesan BBM masuk kedalam ponselku. Terpampang nama Raina di layar ponselku. Aku mendesah frustasi. Berani juga nyalinya. Benar-benar tak berubah dia. wanita yang ambisius itu memang tak akan pernah mati nampaknya. Andraina Mahendra Kamu sibuk nggak hari ini? Starbuck yuk? Revan Agustaf Putra D Aku baru pulang dari makam. Ngapain? Andraina Mahendra Makam? Siapa yang meninggal? Ya ngopi-ngopi sambil ngobrol santai aja, Van. Revan Agustaf Putra D Kerabat Istriku. Ngopi? Ternyata kebiasaanmu tak pernah berubah, Raina. Kurangi kopi. Kopi itu nggak bagus untuk wanita Andraina Mahendra Aku turut berduka ya. Ya, inilah aku. aku mencintai latte seperti aku mencintaimu. Semuanya tak akan pernah berubah di lekang oleh waktu. Aku terdiam. Ya tuhan kenapa dia tiba-tiba mengatakan hal seperti in? Sadarkah dia bawah dia sudah memiliki suami dan suaminya itu adalah sahabatku. Apa ia ingin membuat persahabatanku dan Dio lebih dari dua puluh tahun yang lalu berantakan? Sadarkah dia Aku ini pria beristri kenapa dia masih mencoba menghubungiku? Raina apa yang ada di otakmu saat ini? Dan kini aku merasa bimbang. Perasaanku benar-benar goyah saat ini. Aku sangat mencintai Nadia, aku ingin belajar mencintainya sebagai dirinya sendiri bukan di bawah bayang-bayang Raina tapi kenapa, Raina harus kembali hadir di hidupku setelah ia puas mencampakanku dan menolak lamaranku enam tahun lalu? Ya Tuhan, aku mohon berikan kekuatan untukku dalam menghadapi cobaan dan godaan yang menghampiri rumah tanggaku yang ku bangun dengan susah payah dengan Nadia. Jauhkan aku dari perselingkuhan dan berilah aku teguran jika aku menyakiti hati Nadia, aku sungguh mencintainya. ya tuhan, aku tak ingin membuatnya terluka lebih dalam karena dia terus merasakan kehilangan, kehilangan orang-orang yang ia cintai. ###### Raina Aku memandangi Latte-ku yang nyaris dingin dengan tatapan tak berselerah. Sudah dua jam Revan tidak membalas BBM-ku, perasaan kesal menghampiriku. Memangnya, secantik apa si istirnya Revan sampai Revan yang dulu bersumpah akan mencintaku seumur hidupnya kini tiba-tiba mengabaikanku. Menyebalkan! Hujan membasahi tanah sore ini. Aku merindukan hujan. ingatanku mulai kembali mengreplay saat-saat pertama aku bertemu dengan Revan di Jerman delapan tahun lalu. Kami bertemu di sebuah halte karena sama-sama berteduh, aku yang saat itu basah kuyup di berikan jaket olehnya supaya aku tak kedinginan. Setelah pertemuan itu, hubungan kami berlanjut. Awalnya aku hanya berniat mengembalikan jaket miliknya. Namun, sesuatu mencegahku pulang. Ia tiba-tiba mengajakku pergi ke bioskop untuk menonton film aku yang saat itu merasakan cinta padangan pertama denganya pun setujuh dengan tawarannya dan saat kami menoton film di bioskop ia mencuri ciuman pertamaku. Dasar pria gila! Sejak itulah aku merasa terjebak dalam buaian cinta seorang Revan Agustaf Putra Dharmawan, saat itu aku baru berumur dua satu tahun tapi aku jatuh cinta dengan Revan yang jarak usianya cukup jauh dengaku tujuh tahun. Sesosok pria bertubuh tinggi berkulit putih bersih dan berbadan atletis juga berkulit putih berjalan kearahku. Rambut hitam legamnya nampak lepek, Tubuh indahnya di balut kemeja hitam berbahan katun. Ia berjalan menujuku dengan memasang ekpresi datar. “Revan,” ujarku nampak tak percaya. “Maaf, jalanan macet dan aku terlambat,” katanya acuh. “Duduklah!” perintahku. “Kamu mau pesen minuman apa? Americano? Latte? Cappucino?  Pesen gih, nanti biar aku yang—” “Nggak usah! Aku paling anti di bayarin sama perempuan.” Ia langsung pergi meninggalkanku menuju kasir. Benar-benar tak berubah ya dia? Setelah beberapa menit ia kembali dengan sebuah minuman di tanganya. Aku hafal betul kesukaanya Hot Cappuchin. Ah, benar-benar tak berubah ya dia? Revan menarik kursi kosong yang berada di depanku. Kini kami saling bertatapan satu sama lain. Aku terus memandangi Revan memperhatikan setiap garis wajahnya. tak ada yang berubah darinya setelah enam tahun aku tidak bertemu denganya kecuali kumis tipis yang menghiasi wajahnya. Ini membuatnya nampak lebih tampan. “Apa kabar?” tanyaku memecahkan keheningan. “Baik.” Sahut Revan dingin. “Gimana—” “Sekarang mau kamu apa?” potong Revan, “Aku sibuk. Masih banyak pasien yang menungguku di rumah sakit.” “Aku cuman mau ngobrol sama kamu. Nggak boleh emangnya?” tantangku. “Kamu tahu kan aku udah nikah? Aku sekarang udah punya istri, Rai.” Revan menatapku tajam, “Dan kamu sendiri juga udah punya suami apa kata orang nanti kalau kita jalan berdua?” “Aku nggak bahagia sama Dio,” ujarku. “Lalu, mau kamu apa?” “Aku maunya sama kamu, Van.” Revan tersenyum getir. “Setelah kamu ninggalin aku enam tahun dan menolak lamaranku sekarang  kamu minta kembali sama aku? oh, Raina kamu gila ya? Aku nggak akan nyakitin perasaan istriku, ingat itu!” “Secantik apa si istri kamu, ha?” tanyaku ketus, “Sampai-sampai kamu berubah kaya gini? Cih jadi si playboy insyaf?” “Dia nggak cantik, tapi dia indah bahkan lebih indah dari malaikat,” kata Revan, “Malaikat tanpa sayap lebih tepatnya. Malaikat yang memberi warna di hidupku. Dan aku sangat amat mencintainya lebih dari apa pun.” “Revan,” Kataku nampak bergetar. “Apa?” “Aku masih mencintamu.” Kedua mataku mulai terasa perih, “Aku nggak bahagia sama Dio, aku cuman cinta sama-.” “Dengar aku,” potong Revan, “Aku udah punya istri, aku cinta mati sama dia. dan kamu tahu? Sekarang istriku sedang hamil anakku.” “Revan.” Revan bangkit dari tempat duduknya. “Raina, aku mohon lupakanlah aku. Mulailah hidup dengan Dio. Berbahagialah dengan Dio. Dan jangan ganggu aku dan istriku lagi.” “Revan, please dengerin aku dulu!” teriakku, “Aku cinta sama kamu, Van!” “Pergilah bersama Dio, Rai. Berbahagialah kamu dengan suamimu sekarang.” Ia langsung berlalu dariku. Aku hanya memandanginya dengan perasan hancur. Tunggu pembalasanku Revan, aku akan mendapatkanmu kembali di pelukkanku seperti delapan tahun yang lalu. Kamu milkku! ##### Nadia Aku masih nekat menunggu Dikta membukakan pintu rumahnya. Bahkan aku merasa aku seperti orang t***l karena selama tiga jam aku masih berdiri di depan pintu rumah Dikta dan mengharapkan ia membukakan pintunya untukku sejenak saja. Hujan mulai turun tapi aku tak perduli. Yang aku inginkan aku hanya ingin bertemu dengan Dikta dan memberinya support untuknya dan juga memastikan dia baik-baik saja. karena aku tahu rasanya kehilangan orang yang kita cintai karena kanker si monster terkutuk itu. Tubuhku benar-benar basah kuyup sekarang. Tapi aku tak memperdulikannya, aku masih membujuk Dikta untuk membukakan pintunya untukku. “Dik, buka dong pintunya hujan ni!” Selang beberapa saat ia pun membukakan pintu untukku. Wajahnya sangat datar tanpa eksperesi. Ini bukan Dikta yang aku kenal. Senyumannya yang membuatku jatuh cinta denganya lenyap seketika hari ini juga. “Udah aku bilang kamu pulang sekarang! batu banget si kamu!” cibir Dikta. “Aku nggak akan pulang sebelum aku ngomong sama kamu dan mastiin kamu baik-baik aja!” aku bersih kukuh dengan perkataanku. “Aku baik-baik aja,Nad,” sahut Dikta, “Kamu nggak perlu khawatir sama aku.” “Tapi, hatiku berkata kamu nggak baik-baik aja!” elakku, “Pradikta, aku kenal kamu udah lebih sepuluh tahun dihidupku. Aku tahu kamu baik-baik aja atau nggak tanpa kamu ngomong sama aku. please izinkan aku buat mastiin keadaan kamu baik-baik aja, Dik.” “Dasar kepala batu!” teriak Dikta kesal. “Pradikta.” Tiba-tiba tangisan Dikta pun pecah. Ia mendekap tubuhku yang basah kuyup ini dengan erat. Ia menangis sejadi-jadinya.Selama aku bersahabat dengannya aku baru melihatnya menangis seperti ini. “Pradikta....” “Aku nggak kuat Nad, aku nggak kuat.” isakknya. “Jangan nangis Dik, kamu pasti kuat menjalani semua cobaan ini!” tuasku. Ia melepaskan dekapannya. Lalu ia memandangiku sangat lama tanpa kata. “Masuklah, kamu basah kuyup.” Tangan kiri Dikta tanpa izin mengengam tangan kananku. Ia menyeretku masuk kedalam rumahnya. Rumah yang cukup sederhana. Sama seperti rumahku. Tak ada kemewahan disini berbeda dengan rumah yang aku tinggali dengan Revan saat ini mewah seperti istana. “Mau ganti baju?” tawar Dikta, “Aku ambilin ni baju ibuku.” “Nggak-.” “Jangan nolak, Nad.” potong Dikta, “Nanti kamu sakit kasihan pasien kamu nanti.” Aku tertawa mengejek. “Benar juga ya? Aku ini kan dokter masa aku sakit. Gimana aku ngerawat pasienku ya?” Dikta meninggalkanku sendiri di ruang tamu. Terlihat jelas foto-foto milik Dikta dan tante Nina terpampang rapi di sudut-sudut tembok rumah ini. Dan.. semua foto itu tanpa seorang pria dewasa yang mungkin di panggil oleh Dikta dengan sebutan, ayah. Kemana pria itu? Selama lebih dari sepuluh tahun aku bersahabat dengan Dikta, aku selalu bertanya di dalam hatiku. Kemana perginya ayah Dikta? Kenapa dia begitu tega meninggalkan Dikta dan tante Nina hanya berdua? Lalu, kenapa di pemakaman tadi tak ada satu pun kerabat Dikta yang datang? Apa yang terjadi sebenarnya? Dengan keluarga Dikta? Apa dia menyembunyikan sesuatu denganku? “Nadia!” Aku tergelonjat kaget dari sofa yang aku duduku. Sosok Dikta sudah berdiri di hadapanku sembari menbawakan aku sebuah mini dress bermotif bunga-bunga dan sebuah haduk kecil berwarna merah muda. “Keringkan tubuhmu, kamu bener-bener basah kuyup Nad. Kaya kucing kecebur got.” Aku menaikan alisku seolah-olah aku tak percaya dengan perkataanya. “Separah itukah penampilanku?” “Sepertinya iya.” Aku bangkit dari sofa yang aku duduki. “Well, sepertinya aku harus memperbaikknya. Tunggu sebentar aku ganti baju dulu.” Selang beberapa menit aku pergi ke dalam toilet demi memperbaiki penampilanku, aku kembali duduk di samping Dikta. Keheningan menyelimuti kami. Dikta masih terus terdiam sembari melemparkan tatapan kosong. Perasaan cemas pun menghampiriku. Apa dia baik-baik saja? “Dikta,” panggilku. “Kenapa?” “Kamu baik-baik aja?” cecarku, “Dikta, aku harap kamu nggak berlarut-larut dalam kesedihan.” “Semuanya udah hancur, Nad!” sahut Dikta dengan suara bergetar, “Aku kehilangan dua wanita yang paling berharga dari di hidupku.” “Dua wanita?” “Ya!” tuas Dikta, “Ibuku, dan kamu Annadia.” Aku terdiam. Pradikta, ku mohon jangan membuatku semakin bimbang seperti ini. Jangan membuat diriku meragukan pilihanku saat ini. “Pradikta.” “Apa aku nggak punya kesempatan lagi untuk bersamamu?” tanya Dikta. “Dikta.” “Apa kesalahanku denganmu lima setengah tahun lalu, begitu besar sehingga aku tak memilik kesempatan lagi denganmu?” “Dengar aku!” tegasku, “Aku ini udah punya suami. Aku nggak mungkin menyakiti perasaanya. Dia udah berkorban banyak sama aku dan keluargaku. dia biayain aku kuliah, biayain aku skripsi sampai aku lulus, biayain Delima kuliah sampai dia lulus sekarang. Aku cinta sama dia, Dik. Aku nggak mau nyakitin dia.” “Bohong!” teriak Dikta. “Aku jujur.” Suaraku nampak bergetar. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD