Chapter 6 - Gone

2187 Words
Nadia Perasaanku gelisah sejak aku pulang dari rumah sakit. apa maksud dari ibu Dikta mengatakan aku harus menjaga Dikta? Aku ini sudah bersuami kenapa harus aku?. malam ini aku benar-benar tidak bisa tidur. Perasaanku gelisah takut dan bingung sejak tadi. “Kamu kenapa belum tidur?” bisik Revan tepat di telingaku. Aku memutar tubuhku kehadapanya. “Lagi bingung aja.” “Bingung kenapa?” “Bingung aja.” Revan menyikirkan guling yang menghalangiku dan dia. kini kedua lengan kekarnya mendekapku erat. “Ayo cerita kamu kenapa? Apa yang bikin kamu nggak bisa tidur?” tanya Revan. “Nggak tau, aku cuman bingung aja... Mas.” Tiba-tiba, lagu Love Me Harder dari Ariana Grande mengalun keras dari ponselku membuat kami terkejut. Aku meraih ponselku yang tergeletak di atas meja. Terlihat di layar handponku Dikta memanggilku. Ada apa si? Kenapa dia memanggilku tiba-tiba di tengah malam seperti ini? “Halo?” “Kamu dimana?” tanya Dikta. “Di....di rumah. Kenapa, Dik?” “Ibuku,” ujar Dikta lemas. “Ibu kamu kenapa?” Tanyaku was-was. “Dokter bilang... malam ini ibuku harus masuk ke ruang ICU.” Aku terdiam. Otakku mulai mengreplay semua kejadian yang terjadi enam tahun lalu. Dimana aku menerima telfon dari mama pada tengah malam dan mama mengatakan bahwa papa harus masuk keruag ICU dan saat aku tiba papa mulia fase koma. Ini adalah kenangan buruk untukku dan selalu menjadi mimpi buruk di setiap malamku. “Cepetan kamu tanda tangain Infom Consen-nya sekarang juga!” perintahku. “Tapi Nad—” “Pradikta, dengar aku!” tuasku, “Keselamatan ibu kamu jauh lebih penting. Aku dokter dan aku tahu tindakan yang terbaik. Cepat kamu tanda tangani infom consennya supaya ibu kamu cepat di pindahkan di ruang ICU.” “Nadia...” “Satu jam lagi aku akan sampai disana.” Lalu aku memutuskan telfonku. Revan memandangiku dengan tatapan heran, mungkin ia heran kenapa raut wajahku makin tak karuan saat ini. Ya terserah lah dia berpikir bagaimana dengan wajahku ini. “Dari siapa si?” tanya Revan. “Aku mau, ke rumah sakit dulu.” tuasku, Aku langsung bangkit dari tempat tidur dan mengacak-ngacak lemari pakaianku lagi demi mencari pakaian yang dapat ku kenakan malam ini. “Siapa yang—” “Ibunya Dikta.” potongku seolah aku tahu apa yang akan ia ucapkan. “Ah kamu mah! aku nggak suka lah kamu-.” Dengan cekatan aku kembali naik keatas tempat tidurku. Revan menatapku dengan jengkel. Aku berusaha tersenyum seperti biasanya. Aku tahu pasti Revan sedang cemburu saat ini apa lagi jika mendengar nama Dikta. “Dengar ya... Suamiku sayang, aku cuman mau memberi support sama sahabatku. itu aja nggak lebih.” “Yakin?” Aku meraih kedua pipi tirusnya. Aku menatap kedua mata hitamnya sangat dalam. “Iya, Dikta itu sahabatku jaman SMA dan... sekarang dia butuh aku.” “Bukan karena—“ Secepat kilat aku mengecup bibir tebalnya. Kedua matanya nampak terbelenga saat aku menciumnya demi menghentikan perkataanya. Sedetik kemudian aku melepaskan ciuman kami dan kembali menatap kedua matanya. “Memang aku mencintai Dikta, tapi itu dulu. Sekarang aku cuman cinta sama satu orang selalin papaku yaitu kamu. Believe it?” Revan tersenyum puas. “Yes, ma’am, im believe you. Yaudah, aku temenin kamu deh ke rumah sakit. Bolehkan?” “Kamu mau ikut?” Revan mendekapku erat. “Iya dong. Mana tega aku ngelepasin istriku yang cantik ini sendirian malam-malam naik mobil. Kalau kamu kenapa-kenapa aku bisa mengutuk diriku sendri.” Aku mencubit hidung Revan gemas. “Dasar Babo Namja-ku. Ayo cepetan kamu siap-siap kalo kamu mau ikut!” ##### Revan Aku memacu Nissan Juke hitam milik Nadia dengan kecepatan tinggi. Sepajang perjalan Nadia sibuk menghubungi teman-temanya dan terus memantau kondisi ibu Dikta lewat Dikta. Terlintas perasaan cemburu menyelimutiku malam ini. Memangnya sebegitu pentingkah Dikta dan ibunya untuk Nadia? Sehebat apa si mereka hingga membuat Nadia begitu menganggap mereka hal yang terpenting di hidupnya? Oke selama nyaris lima setengah tahun aku menikah dengan Nadia, satu hal yang belum aku ketahui pasti darinya. Masa lalunya dengan Dikta itu seperti apa. Sebenarnya apa hubungan mereka berdua? Sahabat yang saling cinta dan terjebak friendzone? Aku sering menanyakan masa lalu Nadia seperti apa dengan Fena, sahabat Nadia sejak mereka berumur enam tahun. dan Fena sering mengatakan memang Nadia dan Dikta terjebak friendzone sejak mereka kelas satu SMA tapi keduanya sama-sama takut kehilangan jika mereka mengutarakan perasaan satu sama lain. Benar-benar bodoh mereka. Kenapa mereka tak pernah berani mengukapkan perasaan mereka satu sama lain saja? “Tenang lah Nad, banyak berdoa,” ujarku. “Tapi, aku kasihan sama Dikta, Mas. aku nggak kebayang kalau Dikta di posisiku enam tahun lalu!” tuas Nadia. “Aku ngerti. Dia pasti kuat Nad, dia laki-laki.” “Aku nggak kebayang kalau dia harus ngerasain di tinggal sama Ibunya... seperti aku di tinggal Papa dulu. Itu menyakitkan. Sangat menyakitkan, Mas.” Aku memarkir mobil Nissan Juke milik Nadia di halaman parkir rumah sakit tempat aku dan Nadia praktik. Nadia langsung berlari saat aku mematikan mesin mobil. Aku cukup kesulitan mengimbangi Nadia karena dia pelari yang hebat. Sesampainya di depan bagian repsesionis terlihat si repsesionis kebingungan dengan kedatanganku dan Nadia yang tiba-tiba di tengah malam ini tanpa membawa jas putih kami. “Dokter Nadia? Dokter Revan?” tanya salah seorang repsesionis. “Pasien yang bernama Nina Ameliani Hidayat sekarang di rawat di mana ya?” tanya Nadia dengan nada setengah membentak. “Sabar Dok, saya ca—” “CEPETAN! JANGAN LAMA-LAMA!” nentar Nadia. Terlihat kesabaran Nadia benar-benar sudah habis. Repsesionis itu nampak ketakutan saat di bentak Nadia. Aku berusah menenangkan Nadia tapi hasilnya nilih ia terus saja gelisah seolah-olah seperti orang yang kebakaran jengot. “Ibu Nina baru di pindahkan di ICU, jam 12 malam tadi,” sahut si repsesionis. Nadia langsung berlari menuju lift. Aku tak pernah melepaskan gengaman tanganku dengan Nadia. Ia menyeretku menuju lift. Entah, apa yang ada di pikirannya saat ini. kenapa dia benar-benar menanggap Ibu Dikta saat penting si? ###### Dikta Semua orang yang aku kenal datang saat ini. Tapi ,mereka bukan keluargaku. Dia sahabat-sahabatku saat SMA, Bobby, Fena dan Fatir. Mereka bertiga lah yang menemaniku sejak ibuku masuk ke ruang ICU saat tengah malam tadi. Mereka bilang, Nadia yang menghubungi mereka makanya mereka datang. Ah, dasar Nadia selalu saja seperti ini. Padahal aku hanya membutuhkanya. Kenapa dia malah membawa massa banyak? Sejak kecil aku tak tahu siapa keluargaku, sejak kecil saja aku tak tahu siapa ayahku. Yang aku tahu ayahku hanya seorang dokter sialan karena dia yang merusak buku. Aku dan ibuku hidup sebatang kara. Ibuku di usir oleh orang tuanya karena dulu ibuku hamil diluar nikah akibat perbuatannya dengan ayahku. Dan anak hasil hubunganya itu adalah aku. Selama dua puluh enam tahun hidupku aku tak pernah mengenal kakek, nenek apa lagi ayah kandungku. Mereka membuang ibuku dan juga bagaikan sampah. Kasihan ibuku ia selalu menderita di sepanjang hidupnya. Perasaanku gelisah sejak satu jam ibuku masuk ke ruang ICU aku tak di perkenankan masuk kedalam dan harus menunggu di luar. Ya tuhan selamatkan ibuku kumohon. Aku tak bisa hidup tanpanya. “Banyak berdoa, Dik,” ujar Bobby. “Selalu Bob.” “Kenapa lo nggak ngomong Ibu lo sakit sama kita? Kita kan bisa bantuin lo dari awal.” tanya Fatir. “Gue tahu kalian sibuk,” sahutku. “Makanya gue nggak mau ngehubungin kalian. Nanti yang ada gue ngegangguin kalian sama kerjaan kalian lagi.” “Dan lo cuman ngubungin Nadia? Iya? oh cukup tau aja, Dik,” sahut Fena sinis, “Ini yang namanya sahabat?” “Bukan gitu Fen. Gue ketemu sama Nadia juga nggak sengaja.” elakku. “Tapi, setidaknya lo kabarin kita lah!” tuas Bobby, “Kita ini sahabatan udah lebih dari sepuluh tahun ya! suka duka, susah seneng kita lewatin semuanya berlima bareng-bareng. masa lo tega si  nggak mau ngabarin kita soal Ibu lo sakit! Ibu lo itu juga Ibu kita, inget?” “Maaf.” Keheningan menghampiri kami berempat terdengar suara hentakan heels dari ujung lorong ini. Dari kejauhan terlihat sosok Nadia dan suaminya Revan berjalan mendekat kearah kami berempat. Aku hanya memandanginya dari jauh dengan perasaan cemburu. Seharusnya aku yang berada di samping Nadia bukan dia. Selang beberapa menit ia sudah berdiri dihadapan kami. “Gimana keadaan Ibu kamu?” tanya Nadia. “Aku nggak boleh masuk sama dokternya,” sahutku. Nadia langsung beralih kedepan pintu ruang ICU. Dan seorang dokter keluar dari ruangan itu. nampak raut wajahnya tak terbaca. Sedih, kecewa, semua perasaan bercampur dengan ekpresi wajahnya itu. “Dokter Satya?” tanya Nadia. “Oh, kamu Nad. Kamu ngapain malam-malam di rumah sakit? Bukanya kamu lagi cuti? Kenapa kamu mau ke ruang ICU? Siapa yang—” “Bagaimana keadaan pasien yang bernama Nina Ameliani Hidayat, Dok?” potong Nadia “Apa dia sudah membaik?” “Oh, pasien dengan kanker Serviks yang baru di pindahkan jam 12 malam tadi?” tanya dokter yang Nadia panggil Satya itu, “Ya banyak berdoa dengan Tuhan ya.” “Selamatkan dia, Dok!” tuas Revan. “Saya akan berusaha semaksimal mungkin, dokter Revan,” sahur Dokter Satya. ##### Revan Jam tanganku menunjukan pukul setengah empat pagi. Dan kami semua tetap tidak di izinkan untuk masuk ke ruang ICU. Memangnya separah itu kah kondisi ibunya Dikta? Aku tak pernah membayangkan jika aku di posisi Nadia atau Dikta yang menghadapi orang tua mereka dalam keadaan harus masuk di ruangan yang menyeramkan yang bernama ICU. Aku bersyukur selama tiga puluh enam tahun hidupku Papi dan Mami selalu di beri kesehatan dan bisa terus mendampingku. “Nadia,” bisikku tepat di telinga Nadia. “Apa, Mas?” “Kamu ngantuk kayanya, sini tiduran yuk di pundakku.” tawarku “Aku mana bisa tidur, dalam keadaan begini. Tante Nina sedang berjuang di dalam aku nggak akan pernah bisa tenang kalau belum dapat kabar tentang keadaan Tante Nina.” Selang beberapa saat kemudian seorang suster memanggil kami untuk masuk kedalam. Dikta masuk lebih awal lalu di ikuti Bobby, Fena, dan Fatir. Tinggalah aku dan Nadia masih di ruang tunggu. Aku memandangi Nadia cukup lama dalam keheningan. Terlihat raut wajah Nadia sangat cemas. apa dulu saat papanya meninggal Nadia juga seperti ini? “Nadia...” Tiba-tiba ia memelukku. “Aku nggak tega ngeliat Dikta sekarang, Mas. Semacam aku flasback tentang Papa. Aku tahu rasanya gimana orang yang kita cintai harus melawan maut. Menyakitkan sangat menyakitkan. Bahkan, aku tak tahu rasanya bagimana lagi saat itu. seolah-olah pisau belati menusuk dadaku dan menembus jantungku saat aku melihat benda-benda mengerikan menghiasi tubuh papa. Rasanya aku ingin memohon dengan tuhan supaya aku saja yang mengantikan posisi Papa jangan Papa.” Aku mengelus punggungnya. “Papa kamu udah tenang, Nad. Jangan terus di sesali kejadian waktu itu.” `“Kasihan Dikta, Mas. dia nggak punya siapa-siapa selain Tante Nina,” ujar Nadia. “Dikta pasti kuat!” tuasku, “Kamu aja kuat masa Dikta nggak? Kamu harus selalu kasih support buat Dikta, arraci? “Ya ,Mas pasti.” Nadia mengangguk khitmad. “NADIA!” teriak seseorang. Kami tersigap bangkit dari tempat duduk kami. Terlihat wajah Fena begitu panik. Aku langsung merasmsusi sesuatu yang buruk telah terjadi saat ini. “Ada apa?” tanyaku. “Cepetan lo ke dalam Nad, Ibunya Dikta lagi kritis sekarang!” Nadia langsung berlari masuk ke dalam ruang ICU aku mengikuti dari belakang. Terlihat kepanikan menyelimuti ruangan ini. Dokter Satya dan beberapa dokter lainnya juga beberapa suster nampak panik melihat keadaan ibu Dikta yang menurun secara drastis semakin lama tidak ada perubahan yang berarti. Semua orang yang berada di ruangan ini nampak di runduh kesedihan yang mendalam. Bobby, Fatir, Fena terutama Dikta. Mereka menangis saat melihat keadaan ibu Dikta benar-benar memburuk. Mungkin selama ini aku hanya bisa melihat tanpa merasakan betapa tertekanannya para keluarga pasien yang berada di ruang ICU. Tapi, malam ini aku merasakan hal yang mereka rasakan saat itu. walau, aku tidak mengenal ibu Dikta dengan baik dan aku tidak menyukai Dikta-nya sendiri tapi aku merasakan perasaan tertekan yang luar biasa malam ini. Satya berusah terus memacu detak jantung ibu Dikta untuk kembali normal dengan berbagai cara, beberapa obat di masukan kedalam cairan infus dan tindakan-tindakan lainnya. Nadia pun tak kuasa menahan tangisanya. Nadia menangis bagikan seorang anak SD yang tak mendapat mainan. Aku tahu, mungkin ia kembali teringat dengan papanya saat ini. Mungkin dulu saat papanya meninggal Nadia seperti ini? Ya tuhan, aku tak kuasa melihat Nadia menangis. Andai aku mengenalnya jauh sebelum ia kehilangan papanya aku akan menjadi pundak tempat bersandarnya. Dan monitor jantung menujukan garis datar. Tangisan Nadia dan Fena pun pecah mengema di ruangan ini.  Mereka berdua berpelukan sangat erat. Bobby dan Fatir terdiam solah-olah mulut mereka terkunci rapat. Dan aku, aku hanya bisa mematung memperhatikan mereka. Dikta terduduk lemas di atas lantai ia seolah-olah tak percaya dengan apa yang ia saksikan sekarang. Nadia melirik sekilas kearah Dikta. Ia menghampiri Dikta setelah itu dan Dikta langsung memeluk Nadia sangat erat sembari menangis. Seketika dadaku terasa nyeri. Aku hanya bisa memantuk tanpa bertindak apapun. Ingin rasanya aku meninju pipi Dikta kembali seperti kejadian setahun yang lalu. Namun, apa daya aku tak bisa berbuat banyak selain aku diam dan memantung menperhatikan mereka berdua. Ya tuhan, apa ini yang namanya cemburu? *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD