Chapter 5 - I Want You...

1730 Words
Nadia Rasanya pagi ini benar-benar aku merasa mual. Entah, semua isi perutku seperti tak di terima oleh tubuhku. Aku terus memuntahkan semua isi perutku pagi ini. Rasanya melelahkan aku ingin menangis karena tenggorokanku terasa tercekik saat ini. “Kamu nggak apa-apa, Sayang?” teriak Revan dari luar kamar mandi. “Fine!” “Mau ke dokter?” tawar Revan. “NGGAK!” bentakku kesal. Aku terduduk diatas kloset pagi ini. Lemas benar-benar lemas. Entah apa yang aku makan kemari malam. Apa aku keracunan makanan? Atau... tidak tidak itu tidak mungkin aku kan masih minum pil KB pencegah kehamilan. Pikiranku mulai gelisah tiba-tiba. Apa aku hamil?tapi.. aku kan sedang menjalani program KB? Kurogoh laci yang berada di wastafel kamar mandi, dan aku menemukan sebuah kotak yang bertuliskan alat tes kehamilan. Haruskan aku menggunakanan ini? Tapi aku.... Setelah membaca sejenak petunjuk penggunaan test kehamilan itu. garis satu itu negative dan garis dua itu positive. Seumur hidupku aku baru mencoba beberapa kali selama aku menikah dengan Revan dan bodohnya aku sering melakukan sebuah kesalahan lalu hasilnya sering tidak keluar. aku mengambil urinku dan meletakkannya di wadah yang di sediakan. Setelah beberapa lama hasil testpack pun keluar dan menunjukan garis merah satu. ###### Revan Aku hanya dapat menunggu Nadia di atas tempat tidur dengan perasaan gelisah. Apa dia sakit? Apa dia keracunan makanan? Di dalam pikiranku terus berkecamuk perasaan gelisah tak karuan saat ini. Aku tak ingin wajah cantiknya merasakan sakit dan kesedihan yang berlanjut. “Mas,” panggil Nadia setelah sekian lama dia berada di dalam toilet. “Kamu nggak apa-apa kan? Apa yang sakit?” tanyaku sembari menghampirinya. “Nggak.” “Kamu keracunan?” cecarku. “Astaga! Nggak, Sayang. aku nggak apa-apa sumpah deh.” Nadia mengangat tangan kanannya. “Apa kata kamu tadi, sayang?” godoaku. Nadia terlihat salah tingkah. “A-A-Anu anu.” “Begini dong, panggil aku sayang jangan panggil aku Dokter Gila.” Aku mendekap tubuh mungil Nadia dengan erat. “Hu... seneng deh kamu!” gerutu Nadia. “Ya seneng dong! Akhirnya, setelah sekian lama aku nungguin kamu manggil aku sayang.” Keheningan mengampiri kami berdua. Aku terus mengelus punggung Nadia sembari mendekapnya erat. Desah nafasnya begitu terasa di lenganku, mengelitikku untuk melakukan sesuatu hal yang lebih dari ini. “Kamu nggak ke rumah sakit, Mas?” Tanya Nadia tiba-tiba. “Aku mulai praktik sore hari ini.” sahutku. “Aku mau ke rumah sakit sekarang!” Ia melepaskan dekapanku. Aku memandangi wajahnya sangat lama. terlihat jelas wajahnya sangat pucat bahkan rona merah muda yang menghiasi pipinya pagi ini menghilang bagaikan di telan bumi. Kenapa dia? apa dia sakit? “Kamu mau ke rumah sakit dengan wajah sepucat pasi bak mayat ini?” tanyaku heran “Lalu, kalo kamu lagi praktik di IGD terus pingsan gimana? Hm?” “Pasien membutuhkanku.” ia bersih kukuh. “Kamu izin aja hari ini,” elakku. “Tapi, Mas--.” tiba-tiba Nadia berlari kembali ke dalam toliet. Aku pun mencoba masuk dan melihat keadaan di dalam seperti apa. Nadia masih terus muntah-muntah bahkan aku tak tega melihatnya. Wajah cantiknya nampak menahan kesakitan yang luar biasa. “Kamu kenapa si?” “Dibilang aku nggak apa-apa! bawel ah kamu!” teriak Nadia kesal. “Kita ke dokter ya?” “NGGAK! Aku nggak mau pokoknya!” tolak Nadia. “Apa, kamu-.” “Hasilnya masih negatif, Mas.” potong Nadia Aku menghampiri Nadia yang masih berdiri di atas wastafel. Ia benar-benar menyedihkan pagi ini. Masa iya hasilnya negatif tapi dia muntah-mutah terus? Ini termaksud gejala hamil bukan? Muntah di pagi hari. Bahkan beberapa hari ini Nadia sering terlihat pucat. “Mana testpack-nya?” Nadia langsung memberikan testpack yang tergeletak di atas wastafel. Aku memperhatikanya secara saksama. Kalau garis dua berati positif dan garis satu negatif. Tapi apa yang aku lihat sekarang? Garis satu. “Maaf,” ujar Nadia. “Mungkin, memang tuhan mengatakan kita belum saatnya punya anak.” tambahku. “Kamu marah sama aku?” “Nggak kok. ngapain aku marah? Kalau sudah saatnya pasti kita akan punya anak kok.” Nadia langsung memelukku. “Kita harus usaha lebih keras lagi.” “Ya, benar!” tuasku, “Kita harus semakin berusaha.” -- Nadia Revan sudah berangkat ke rumah sakit pagi ini padahal dia bilang dia pergi siang hari. setelah insiden pagi ini aku mual hebat, dia menelfon dokter Satya dan meminta izin agar aku tidak ke rumah sakit pagi ini dan mengajukan diri untuk mengantikanku berjaga di IGD pagi ini. Dokter Satya langsung setujuh dengan penawarnya ini -_-. Ini menyebalkan, kenapa aku harus mual seperti ini si?. Sedari Revan berangkat aku hanya mengurung diriku di kamar. Beberapa kali Elena membujukku untuk keluar sekedar mengobrol tapi aku menolaknya. Saat sarapan mami Revan mulai gencar menanyakan apa yang terjadi denganku Revan langsung menyelak dan mengatakan aku hanya keracunan makanan bukan hamil. Sial menyebalkan -_- padahal aku tak yakin aku keracunan makanan hari ini. Tapi.. kenapa aku bisa semua ini? Selama aku mengurung diriku di dalam kamar, pikiranku mulai tak karauan dan penyebabnya tak lain dan tak bukan adalah Dikta. Semenjak dua bulan yang lalu aku bertemu dengan Dikta ia mencoba menghubungi aku kembali aku terus mengabaikannya. Tapi, dia benar-benar-benar cocok di julukin pria gila. Padahal, ia pernah mendapat bogem mentah dari Revan dan masih saja ia tak menyerah. Ponselku berdering keras. Sebuah pesan masuk kedalam inbox-ku dan itu dari Dikta. Aku hanya bisa mengeram kesal karena sikapnya ini. Sudah cukupkah kehadirannya lagi membuatku merasa bimbang untuk memilih Revan? Dari: Dikta Kamu sibuk hari ini? Untuk: Dikta Buat apa kamu nekat hubungin aku lagi? Dari: Dikta Ibuku mau ketemu kamu. Untuk: Dikta Loh? Emang ada urusan apa? kenapa mau ketemu aku segala? Dari: Dikta Ibuku sakit... dan dia mau ketemu kamu. Sekarang. Aku terdiam. sakit? Sakit apa? apakah serius?. Dan pikiranku mulai melayang kepada kejadian enam tahun lalu, dimana saat-saat menyakitkan di dalam hidupku saat detik-detik terakhir aku menemui Papaku. Tanpa pikir panjang aku mulai mengacak-ngacak isi lemariku dan bersiap untuk berangkat ke rumah sakit sekarang juga. Aku tak ingin menyesal seperti aku gagal menyelamatkan papa... lima tahun yang lalu. #### Dikta “Kamu, udah telfon Nadia?” tanya Ibu dengan suara lemah. Aku mengangguk lemah. “Udah kok.” Entah apa yang ada di pikiran ibuku kenapa dia memohon denganku supaya aku menghubungi Nadia? Ya memang aku masih mencintainya, ya memang aku masih mengharapkanya. Tapi, sekarang dia sudah menjadi milik orang lain. apakah aku tega merebut Nadia dari Revan? Walau aku membenci Revan karena dia merebut Nadia dariku tapi aku tidak ingin merusak kebahagiaan mereka berdua. Suara pintu terbuka membuyarkan lamunanku. Terlihat sosok mungil Nadia berjalan mendekat kearahku. Ia melemparkan senyuman khasnya kepadaku dan ibuku. Aku bangkit dari sofa yang aku duduki dan menghampirinya “Nadia...” Ia menoleh kearahku lalu ia mulai berbisik denganku. “Aku datang kesini, demi Ibu kamu bukan kamu.” Dan ia beralih dariku menuju arah ibuku. Aku hanya dapat mengawasinya dari jauh saat ini. Entahlah, sejak tiga hari kemarin keadaan ibuku tiba-tiba menurun. Padahal, ia sering memeriksakan kondisinya ke dokter. Ah aku benci dengan kata itu. Puncaknya tadi pagi, secara mendadak keadaan ibuku menurun dan harus di alihkan dari ruang perawatan biasa ke ruang perawatan HCU. Perasaan takut kehilangan mulai menghampiriku, aku benar-benar tidak siap jika aku harus hidup dengan ibu... saat ini. Aku memang salah, aku selalu salah mungkin selama ini. Aku bodoh karena aku baru mengetahui tentang penyakit ibuku sendiri setahun belakangan ini. Ibuku memang perokok berat, pecandu alkhol dan pengila s*x bebas, dan aku baru tahu ia mengidam kanker serviks stadium akhir. Persisi dengan penyakit papa Nadia enam tahun lalu dan membuat Nadia harus kehilangan papanya. Memang kanker itu menyeramkan bak monster. “Tante apa kabar?” tanya Nadia kepada ibuku. “Baik, Sayang.” “Cepet sembuh ya, Tan. Banyak istirahat banyak makan juga dan minum obat yang teratur,” ujar Nadia. Ibuku tersenyum seolah-olah ia sedang menyembunyikan rasa sakitnya. “Iya...  bu dokter.” Nadia tertawa. Benar-benar tak ada yang berubah darinya sejak sebelas tahun aku mengenalnya. Dia tetap terlihat manis saat ia tertawa atau tersenyum seperti pertama kali aku melihatnya, eyes smiling-nya seolah-olah menambah daya tarik untuknya. “Aku bukan dokter, Tan, jika aku tidak menggunakan jas putihku,” sahut Nadia. “Kamu bukan lagi praktek biasanya di rumah sakit ini?” tanya ibuku nampak heran. “Hari ini aku cuti.” “Kenapa?” “Mual hebat Tan, karena aku keracunan makanan,” jelas Nadia. Tangan kanan ibuku mengelus pipi  Nadia. “Kasihan malaikat yang satu ini, cepet sembuh, Sayang.” “Tante juga. Pokoknya, tante harus sembuh ya?” Ibuku mengangguk lemah “Iya.” Hatiku seperti tercabik-cabik saat melihat tatapan kedua mata ibuku kepada Nadia seolah-olah ia sedang mengharapkan sesuatu dengan Nadia. Ya tuhan andai waktu bisa ku ulangi kembali aku ingin memberi sebuah kebahagiaan untuk ibuku dengan aku bersama Nadia. “Dikta,” panggil ibuku. Aku langsung menghampiri ibuku yang terbaring lemah. Aku berdiri di sisi kanan ibuku, dan Nadia di sisi kiri ibuku. Aku hanya dapat memandangi Nadia saat ini, tak mampu berbicara denganya karena aku tahu dia membenciku saat ini. “Nadia,” “Ya, Tante?” sahut Nadia. “Boleh, Tante minta tolong?” tanya ibuku. “Apa Tan? Insyaallah, kalau Nadia bisa. Nadia bantu, Tan.” “Tolong jaga Dikta ya,” ujar ibuku. Aku membeku seketika. Nadia nampak specheels dengan ucapaan ibuku tadi. Menjagaku? Memangnya aku anak kecil? Dan kenapa harus Nadia? “Tante...” “Bisa kan, Nadia?” Ibuku menatap Nadia dengan tatapan penuh harap. “Insyallah.” #### Raina Perasaan bosan menghampiriku. Benar-benar hari yang membosankan. Kenapa aku harus terjebak di kantor dengan tumpukan dokumen-dokumen sialan ini. Aku ingin keluar sejenak saja dari runtinitasku ini. Pergi belanja atau nongkrong di Coffee Shop sambil menyantap Latte kesukaanku. Ku lirik ponselku yang tergeletak di atas tumpukan dokumenku. Secepat kilat aku menyetuh layar ponselku dan mengetik sebuah pesan untuk seseorang. Untuk: Revan Kamu sibuk nggak? Kita ngopi yuk? Dari: Revan Sangat sibuk. Untuk: Revan Nggak mau minum kopi bareng ni ceritanya? Dari: Revan Nggak makasih. Aku lebih baik mengurusi pasien saja di rumah sakit. Kalau aku minum kopi denganmu yang ada aku bisa membuat istriku cemburu. Aku tak ingin membuat istriku cemburu. Aku terbelanga membaca pesan yang terakhir masuk kedalam inboxku. Sejak kapan dia takut membuat seseorang cemburu? Bukankah dia senang jika membuat cemburu seorang wanita? Cih secantik apa si istrinya sehingga Revan sangat takut membuatnya cemburu? *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD