3. Menjadi Pelayannya

1240 Words
“... kau harus melawan orang-orang yang menindasmu. Jika kau terus diam, mereka hanya semakin membuatmu menderita, dan suatu hari mereka akan membuat tuanmu membencimu. Sampai akhirnya tuanmu membuangmu...” ─Layne─   ***   "Kau akan mati di tanganku," kata Helen. Dua lelaki dalam ruangan terdiam sejenak. Darian mengangkat kepalanya, tampak darah mengalir dari kening, tapi tatapannya masih lembut dan polos ketika berkata, "Suatu kehormatan bagi seorang pelayan jika bisa mati di tangan tuannya." Helen melihat ketulusan itu sejenak, lalu memutuskan kontak mata dengan Darian. Secara asal dia melemparkan handuk─yang tadi membasuh wajahnya─ke kasur sederhana, lalu mulai merapikan pakaian. Gavin dan Darian masih menunggu kata-kata persetujuan Helen, meskipun keduanya tahu kalau Helen sudah setuju. Melirik wajah dua lelaki itu, Helen lantas berkata, "Aku tidak suka pelayan yang menyentuh barang-barangku tanpa izin." Darian segera berdiri, senyumnya terbit. "Saya akan mendengarkan Tuan Yang Mulia dengan baik. Saya tidak akan menyentuh barang-barang Tuan Yang Mulia tanpa izin. Saya akan melaksanakan semua perintah Tuan Yang Mulia." Gavin tersenyum melihat antusias Darian. Helen melemparkan handuk ke wajah Darian yang masih dipenuhi senyum kebahagiaan. "Usap darahmu!" "Ya, Tuan Yang Mulia!" teriak Darian penuh semangat, lalu menyeka darah di keningnya. "Panggil saja Tuan," kata Helen. "Baik, Tuan Yang Mulia." "Tuan saja." "Baik, Tuan Yang Mulia." Helen mengehela napas. Terserahlah. Gavin tertawa kecil melihat pasangan anak-anak di depannya. "Darian, hari ini Yang Mulia akan pindah ke istana. Kau harus membantunya bersiap." Darian mengangguk. "Saya mengerti, Tuan." Dia membungkuk tiga kali di hadapan Gavin yang selama seminggu ini telah sangat baik merawatnya. "Terima kasih banyak atas perawatan Tuan selama ini." Gavin mendekat, mengusap kepala Darian. "Kita masih akan bertemu setelah ini. Saya pengawal pribadi Yang Mulia." Darian termenung di situ. Gavin tertawa. "Di kediaman Yang Mulia hanya akan ada kita bertiga. Pekerjaanmu akan sangat banyak mulai sekarang." Darian mengangguk. "Saya mengerti, Tuan. Saya akan melakukan yang terbaik untuk Tuan Yang Mulia." "Hahaha... Baiklah, baiklah."   ***   Gavin telah mengajak Darian mengelilingi istana untuk mengenali tempat-tempat yang boleh dan tidak boleh didatangi oleh seorang pelayan. Dia mengenalkan dapur istana dan tempat pencucian umum. Juga memberi tahu jadwal makan keluarga kerajaan, dan hanya pada jadwal makan itulah kepala koki akan mengeluarkan makanan dari dapur istana. Jadi, Darian tidak boleh terlambat ke dapur, atau dia tidak akan bisa mendapatkan makanan untuk Helen. Kini Darian melihat kediaman pribadi Helen yang terpisah dari bangunan utama istana. Anak lelaki itu ingin tahu kenapa hanya Helen yang tidak mendapatkan salah satu kamar dalam istana, tapi dia tidak berani bertanya. Kediaman Helen selebar beberapa petak tanah. Bangunannnya tidak terlalu mewah dan bergaya Perancis yang elegan. Di depan rumahnya ada taman cukup lebar, dengan kolam kecil di dalamnya. Di barisan sepanjang taman ada beberapa pohon kecil dan besar, tapi sebatang pohon Tabebuya merah muda yang menarik perhatian Darian. Di bawah pohon  tersebut, terdapat kursi panjang yang menjorok langsung ke kolam. Darian sedang memerhatikan bunga-bunga dari pohon Tabebuya merah muda. Itu mirip Bunga Sakura dari Jepang. Pada awal pertengahan musim dingin ini, bunga-bunganya tinggal sedikit, tapi dia bisa membayangkan betapa indahnya itu ketika berbunga lebat. Pandangan Darian kemudian jatuh pada sosok Helen tanpa topeng perak yang berdiri tepat di bawah pohon Tabebuya, tengah menegadah menatap langit, entah memikirkan apa. Darian tertegun melihat tuannya yang cantik. Dia terpukau saat bunga dari pohon Tabebuya berguguran dan seolah menari bersama salju, bersama-sama turun perlahan dan menjadi latar tempat tuannya yang cantik berdiri. Waktu pun seolah berhenti, dan membuat tuannya seperti sebuah lukisan indah. “Cantik,” gumam Darian. Gavin pikir Darian yang bergumam itu sedang berkomentar tentang pohon yang mereka lihat, makanya dia berkata, “Namanya Tabebuya.” Darian menoleh, “Hah?” “Nama pohon itu Tabebuya.” Darian tersenyum kecil, mengulang, “Tabebuya. Kalau saya sudah punya rumah sendiri, saya akan menanam banyak pohon Tabebuya.” Gavin tertawa. “Kau sangat menyukai pohon itu?” Darian mengangguk. “Yah, itu memang cantik.” Darian menatap Helen yang berdiri di depan pohon Tabebuya, dan senyumnya semakin terkembang. “Sangat cantik.” Masuk ke rumah, Darian dikejutkan dengan keputusan Gavin, bahwa kamarnya tepat di sebelah kamar Helen. Kata Gavin, untuk mempermudah Darian kalau sewaktu-waktu dipanggil Helen. Setelah membersihkan kamarnya yang hampir menyamai kemewahan kamar Gavin, Darian menyapu halaman. Helen sedang istirahat di kamarnya, sedangkan Gavin melihat-lihat pekarangan rumah. Setelah membersihkan halaman, Darian bertugas mencuci pakaian Helen di pencucian umum yang masih dalam wilayah istana. Dia agak tersesat ketika mencapai tempat tersebut. Ketika sampai, dia sudah sedikit lelah. Tempat pencucian cukup luas. Ada kolam besar dengan air mengalir di bawahnya. Di setiap pinggiran kolam terdapat batu-batu besar atau sedang untuk pencucian. Sudah banyak wanita pelayan menempati batu-batu itu. Ada yang memakai kayu untuk memukul-mukul pakaian, ada pula yang memakai sikat. Semua tampak sibuk. Darian menunduk ketika membawa keranjangnya yang berisi pakaian Helen. Dia malu karena hanya dia yang seorang lelaki di sini. Seorang wanita yang juga baru datang dengan ember besarnya mendekati Darian. Wanita itu menyeringai, netranya penuh niat jahat. "Kau pelayan baru?" tanya wanita itu dengan wajah sok iba. Namanya Fuma. Darian mengangguk. "Dari kediaman mana?" "Tuan Yang Mulia," jawab Darian, yang tidak ingat nama Tuannya. Fuma tidak bertanya lagi, karena bukan itu tujuannya. "Kau tahu, di istana ini ada peraturan yang diterapkan khusus untuk sesama pelayan." Bisikan-bisikan dari pelayan lain mulai terdengar, kurang lebih mengatakan, "Fuma mulai lagi..." "Kasihan pelayan baru itu..." "Dia kelihatannya masih anak-anak..." "Dia sangat kurus dan tingginya mungkin cuma 145 cm..." "Aku tidak tega melihatnya dikerjai oleh Fuma..." "Tapi kita tidak bisa membantu... Fuma itu pengelola tempat pencucian, juga pelayan cuci dari kediaman Yang Mulia Raja...." Darian agak terganggu dengan wanita di depannya, tapi dia masih baru, dan itu tidak sopan untuk mengabaikannya, kan? "Maaf, Nyonya, saya tidak tahu aturan yang Nyonya maksud." Fuma menyeringai. "Kau harus mencuci pakaian para pelayan selama seminggu penuh." Darian terkejut, menelan ludah ketika melirik ember-ember besar para pelayan. "A-apa harus begitu?" "Tentu saja. Semua pelayan di sini pernah melakukannya." Jika Fuma tahu Darian merupakan pelayan Helen, masih kah dia berani memerintahnya seperti itu? Sayangnya, semua orang tahu kalau Helen tidak pernah punya pelayan sejak empat tahun lalu. Semua pakaian Helen akan diserahkan kepada Gavin dan nanti pelayan dari kediaman Gavin yang akan mencucinya. Selalu begitu yang semua orang tahu selama ini. Si polos Darian yang merasa rendah diri, tapi harus menolak Fuma, dengan gugup berkata, "Kalau saya mencuci semuanya, nanti akan memakan waktu yang lama. Saya satu-satunya pelayan di kediaman Tuan Yang Mulia. Bagaimana kalau Tuan Yang Mulia butuh sesuatu dan saya tidak ada di dekatnya?" Fuma menyipitkan mata. Dia tahu kalau pelayan juga punya kelas dan tugasnya masing-masing. Tentu saja tugas pelayan cuci hanya untuk mencuci, sementara jika tuan mereka butuh sesuatu, akan ada pelayan lain yang bisa disuruh. Pelayan cuci bahkan bisa saja tidak pernah melihat tuannya karena pelayan pribadi atau pelayan rumah yang akan menyerahkan pakaian kotor tuannya kepada pelayan cuci seperti mereka. Menurut Fuma, anak lelaki kecil di depannya ini hanya berkelit dari perintahnya. Tapi, berani sekali dia mengatakan kebohongan sebesar itu! Tidak ada satu tuan pun di istana ini yang hanya memiliki satu pelayan! Siapa yang coba dia bodohi? Fuma berdiri di atas batu cuci Darian, lalu menendang anak itu sampai jatuh ke kolam. Air di kolam tidaklah dalam, itu hanya setinggi lutut orang dewasa, makanya Fuma tidak khawatir anak kecil ini akan tenggelam. Darian tersentak kaget, lalu terbatuk-batuk karena air yang masuk ke kerongkongannya. Masih berada di kolam, rambutnya kemudian dijambak oleh Fuma, dan dia dipaksa mendongak untuk menatap Fuma yang menyeringai memamerkan gigi-giginya yang busuk.   ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD