Putra Perdana Menteri (2)

1146 Words
"Aku tidak butuh pelayan." Gavin menghela napas melihat punggung yang tampak kesepian itu semakin menjauh. Usia Helen baru lima belas tahun saat ini, tapi pundaknya sudah dipenuhi beban berat. Ya, ampun, bahkan pundaknya saja mirip seorang pria. Seberapa keras dia berlatih sampai semua penampilannya mirip pria? "Tu-tuan?" Gavin menoleh, melihat Darian yang perlahan bangkit. Dia tersenyum kecil, duduk kembali di tepi ranjang. "Jangan banyak bergerak. Lukamu belum sembuh sepenuhnya." Darian mengangguk lemah, tapi masih takut berbaring di ranjang empuk yang bahkan tidak pernah berani dia impikan. Memahami gerak Darian yang kikuk saat mengawasi kamar, Gavin berkata, "Jangan khawatir, ini kamarku. Tidak perlu sungkan. Oh iya, siapa namamu?" "Darian Rey." Darian menatap Gavin, lalu menyebutkan kembali namanya. "Darian Rey Caidan." "Sst!" Mata Gavin penuh peringatan. "Jangan pernah memberi tahu belakang namamu kepada siapa pun. Namamu hanya Darian Rey." Darian memerhatikan raut tegas Gavin, membuatnya sedikit ketakutan. Dia hanya bisa mengangguk. "Bagaimana kau tahu tentang belakang namamu, Darian?" Darian menunduk. "Dua minggu yang lalu sebelum ibu meninggal, aku diberi tahu." "Ibumu yang bilang?" Darian menggeleng. "Teman ibu, namanya Zalfa." "Ke mana sekarang teman ibumu?" "Aku tidak tahu. Setelah menjualku, dia pergi." Gavin bisa menebak kalau paman pertama tidak pernah tahu mengenai Darian. Lagipula, menurut laporan pengawal, ibu Darian hanya seorang pelayan yang tidur satu malam dengan paman pertama. Setelah itu ibu Darian menghilang dan tiba-tiba membawa seorang bayi ketika kembali ke wilayah ini. Tidak ada yang tahu asal-usul Darian, dan tidak ada juga yang berminat mengurusi urusan b***k rendahan seperti mereka. Jadi, wajar saja kalau Brian melewatkan detail ini lima tahun lalu. "Baiklah Darian, mulai sekarang, kau menjadi pelayan Yang Mulia, adik sang raja." Darian agak takjub, tapi juga takut. "Apakah tidak masalah menerima b***k rendahan sepertiku untuk melayani adik Yang Mulia Raja?" Gavin menyukai tatapan polos anak di depannya, lalu berkata lembut, "Tidak masalah selama Yang Mulia menerimamu. Kau harus membuat Yang Mulia menerimamu." Darian mengangguk walau sebenarnya sangat gugup. Dia tidak memiliki keahlian khsusus apa pun. Hanya tahu pekerjaan kasar seperti bersih-bersih, mencuci, dan berkebun. Tapi, ini mungkin kesempatannya untuk mengubah nasib. Daripada dia harus dikirim kembali ke rumah p********n, atau bahkan dipenggal sebagai putra pengkhianat, ini jauh lebih baik. Jika dia ditolak setelah berusaha, dia akan pikirkan cara untuk melarikan diri.   ***   Seminggu kemudian...     Helen sedang serius berlatih pedang dengan Rezvan di depan barak pasukan. Dia bahkan mengenakan zirah dan pelindung kepala, seolah-olah sedang di medan perang. Semua prajurit membuat jarak aman dari keduanya. Mereka tahu kalau Kapten mereka itu selalu bersikap serius di segala sesuatu, sekalipun hanya berlatih pedang. Darian dibawa oleh Gavin ke sana. Dia yang telah berpakaian rapi melihat gaya berpedang Helen yang memukau. Oh, tidak hanya Helen, gaya berpedang lawan Helen juga menakjubkan. Pria besar itu tidak sedikit pun terlihat lelah meski sudah banyak melakukan pergerakan. Rezvan mengakhiri latihan ketika berhasil menangkis pedang Helen dan membuat gadis itu terjatuh ke tanah. Sorakan senang para prajurit membahana kala melihat teknik-teknik brilian Rezvan dalam berpedang. Kalau dulu, Helen akan marah karena kalah dari pria ini, dan sempat menyebabkan sepuluh prajurit hampir kehilangan nyawa dalam amarahnya. Tapi sekarang, dia tahu kalau orang ini yang terkuat di kerajaan. Alih-alih kesal karena selalu kalah darinya, Helen merasa cukup beruntung bisa menjadi murid pribadi Rezvan. "Yang Mulia Heli sudah banyak berkembang," kata Rezvan yang membantu Helen bangkit. Helen yang masih memasang wajah dingin di balik topeng perak itu mengangguk pelan. Dia tidak repot-repot menyeka wajahnya yang berkeringat atau merapikan bajunya yang berantakan. Gadis itu hanya memasukkan kembali pedang ke sarung dan meninggalkan arena latihan. Rezvan geleng-geleng kepala melihat Helen. "Lebih dingin dari Yang Mulia Raja," gumamnya. Helen berjalan keluar tempat latihan, disambut senyuman hangat Gavin dan raut penuh antisipasi dari Darian. "Yang Mulia, saya membawa pelayan baru untukmu," kata Gavin. Helen bahkan tidak berhenti melangkah untuk sekadar melirik pelayan barunya. Gavin sudah memahami watak Helen, maka dia mengikuti gadis itu ke kamarnya dan masih menjelaskan tentang si pelayan baru. "Namanya Darian. Walau kelihatan kecil seperti anak usia delapan tahun, sebenarnya dia sudah berusia tiga belas tahun. Dia yatim piatu. Bisa memasak dan beres-beres kamar." Helen melepas pelindung kepala dan topeng perak, tampaklah wajah femininnya yang berkeringat dan ada sedikit noda tanah. Dia membasuh wajahnya secara asal dengan air dalam baskom yang telah tersedia di kamar.  Mengambil handuk, dia dengan sembarangan mengusap wajah dan leher yang berkeringat. Gerakannya sangat kasar, membuat Gavin khawatir wajah cantik itu akan tergores. Darian diam-diam menyaksikan calon tuan barunya ini, sambil menerka-nerka seperti apa wataknya. Saat mencuri pandang pada wajah bersih calon tuan barunya, dia sedikit tersipu. Tuan barunya terlihat cantik. Helen melirik Darian sekilas, lalu menatap tajam Gavin. "Aku sudah bilang, tidak butuh pelayan." Gavin tersenyum sangat manis. "Kita akan tinggal di istana setidaknya beberapa tahun ke depan sebelum berperang lagi. Ya, itu pun jika raja menginginkan perang. Jadi, selama di sini, Yang Mulia butuh pelayan." Helen mencengkeram bagian leher baju pria yang lebih tinggi darinya itu. "Apa kau ingin membuatku marah, Gavin?" Gavin tersenyum, mengangkat kedua tangannya ke udara sebagai tanda menyerah, tidak repot-repot meminta Helen melepas cengkeramannya. Dia berbisik tepat di telinga Helen, "Jangan takut, Yang Mulia, Darian tidak akan mati seperti pelayan lain." Ekspresi Helen sedikit berubah, lantas dia melepas cengkeramannya. Membalik badannya, gadis itu menatap Darian dari kepala sampai kaki. Jelas anak ini tampak lemah, bahkan mungkin tidak akan bisa lari jauh darinya menggunakan kaki kecil itu. Dari sisi mana Gavin sangat yakin kalau Darian tidak akan mati seperti pelayan lain? Menyadari tatapan menyelidik Helen, Darian segera membungkuk hormat. "Sa-saya Darian, Tuan, eum, Yang Mulia." Helen masih menatap Darian. "Aku tidak butuh pelayan." Darian segera berlutut, kepalanya membentur lantai keramik kamar sampai membuat suara menyakitkan. "Sa-saya mohon, Tuan, eum, Yang Mulia, terima saya sebagai pelayan Tuan, Yang Mulia. Saya akan bekerja dengan keras untuk melayani Tuan Yang Mulia. Saya mohon terima saya, Tuan Yang Mulia. Saya akan mati jika kembali ke tempat itu." Gavin menambahkan, "Bahkan kau tidak bisa kembali ke sana, karena akan mati di tangan saya jika tidak bisa menjadi pelayan Yang Mulia." Helen tahu maksud Gavin. Itu tidak lain karena Darian telah melihat wajah Helen. Setiap orang yang pernah melihat wajah Helen, akan mati di tangan Gavin. Tidak peduli apa statusnya. Bahkan tabib yang pernah menyelamatkan Helen pun dibantai oleh Gavin hanya karena tahu statusnya sebagai wanita. Darian semakin gemetar di seluruh tubuhnya kala mendengar ancaman serius Gavin meski nada yang digunakan pria itu terkesan main-main. Seminggu bersama Gavin sudah membuat Darian memahami wataknya. Ibunya pernah bilang, hal utama yang harus dipelajari seorang b***k bukanlah kemampuan menyenangkan majikan, melainkan memahami karakter majikan. Kalau tidak mampu memahami majikan, bagaimana bisa menyenangkannya? Darian membenturkan sekali lagi kepalanya ke lantai untuk menunjukkan betapa dia sangat memohon, lalu anak itu berteriak, "Saya mohon, terima saya, Tuan Yang Mulia!" Helen melirik tajam Gavin. Yang dilirik hanya tersenyum sok manis. Di mata Helen, senyum itu lebih menyeramkan daripada seringai Brian sebelum mengangkat pedang. "Kau akan mati di tanganku," kata Helen.   ***    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD