2. Putra Perdana Menteri

1271 Words
"Aku tidak butuh pelayan." ─Helen─   *** Sesaat setelah sadar, Darian mengernyitkan kening karena merasa sakit di seluruh tubuhnya. Memerhatikan sekitar, dia terkejut. Bukan saja dia tidak dikirim ke tempat p********n seperti sebelumnya, atau dikirim ke penjara yang akan menjadi tempat tujuannya, tapi malah berada di kasur empuk dengan dekorasi ruangan yang megah. Dia belum bangkit sepenuhnya saat mendengar perbincangan dari dua orang di sisi kanan ranjang. Tidak berapa lama, dia pingsan lagi. Ada seorang pria dengan jubah merah yang menjuntai sampai ke lantai. Hanya orang bodoh atau buta yang tidak tahu kalau jubah merah dengan lambang naga memegang pedang itu hanya bisa dipakai oleh satu-satunya penguasa Kerajaan Griffin. Brian duduk bersandar di kursi kayu dalam kamar Gavin. Sang raja memerhatikan teman dekat di depannya yang menatapnya penuh permohonan. Gavin bilang, "Ini demi Yang Mulia Helen." Brian menatap tajam Gavin, nadanya agak membentak ketika berkata, "Siapa yang kau panggil Helen?" Gavin berdeham canggung. "Maksud saya Yang Mulia Heli. Percayalah, Yang Mulia, saya bukannya ingin lepas tanggung jawab. Saya akan tetap mengawasi Yang Mulia Heli dengan ketat seperti biasa. b***k itu juga akan dalam pengawasan saya." "Dia putra pengkhianat," ujar Brian dengan setiap penekanan kata. "Dia harusnya mati. Kenapa aku harus mengirimnya kepada Heli? Itu hanya mengundang amarah adikku." "Sudah saya katakan sebelumnya, Yang Mulia, amarah Yang Mulia Heli menghilang karena b***k ini. Seandainya saya salah menyimpulkan, nyawa b***k ini juga akan melayang ketika berada di dekat Yang Mulia Heli. Kita hanya memilih rute lain untuk kematiannya. Kalau ternyata kesimpulan saya benar, kita bisa menyembuhkan Yang Mulia Heli. Apapun pilihannya, tidak akan merugikan Yang Mulia atau Yang Mulia Heli." Brian tampak memikirkannya dengan serius. Gavin si ahli bicara dan merayu, semakin melancarkan aksi. "Ini bukan pertaruhan yang sulit, Yang Mulia. Percayalah kepada saya. Menurut Yang Mulia, sudah berapa lama saya menjadi pengawal Yang Mulia Heli?" Brian mendengkus. "Pantas saja pemimpin pasukan selalu mengirimmu sebagai perwakilan untuk negoisasi dengan kerajaan musuh." Gavin melihat senyum kecil di sudut bibir Brian, dan akhirnya bernapas lega. Dia menyingkap ke atas rambut cokelat gelapnya dengan penuh kebanggan, lalu berkata, "Kalau soal negosiasi, itu karena saya yang tertampan. Musuh akan takut melukai saya jika telah melihat pahatan Tuhan ini." Dia berkata sambil menunjuk wajahnya sendiri, yang memang sangat tampan. Apalagi mata hijaunya yang memesona itu. Brian tahu kalau ketampanan Gavin memang sangat terkenal, bahkan kabarnya, ada beberapa wanita yang sampai bunuh diri karena ditolak olehnya. Semua mengatakan Gavin kejam karena menolaknya, tapi, bagaimana Gavin tidak menolak kalau wanita yang bahkan tidak pernah dilihatnya akan mengajukan pernikahan dengan alasan sangat mencintainya dan mengatakan kalau mereka pasangan yang ditakdirkan? Gavin mungkin masih mempertimbangkan gadis bangsawan itu seandainya dia berkata apa adanya, bahwa pernikahan itu untuk urusan politik, sebagaimana kebanyakan pernikahan di kerajaan ini. Meski begitu logis dan masuk akalnya Gavin, Brian tetap membenci kesombongan temannya itu. Mungkin, karena terkait dengan gadis yang pernah Brian sukai dulu sewaktu di akademi kerajaan. Pada akhirnya gadis yang dia sukai malah menyukai Gavin, dan Gavin menolak gadis itu tanpa berpikir dua kali. "Sayang sekali, pria tertampan nomor satu di kerajaan masih sendiri di usianya yang sudah kepala tiga," kata Brian, menusuk tempat paling sensitif bagi Gavin. Seketika Gavin cemberut. "Yang Mulia sudah seperti ayah saya." "Aku bisa menjadi ayahmu kalau dibutuhkan." "Katakan kepada saya, Yang Mulia, apakah Yang Mulia masih dendam kepada saya karena Fifin?" Fifin, nama cinta pertama Brian. Gadis yang bunuh diri karena ditolak oleh Gavin, atau begitulah menurut kabar yang beredar. Tidak ada yang tahu kebenarannya, karena sampai saat ini mayat Fifin belum ditemukan. Brian meletakkan telunjuknya di atas cangkir, lalu telunjuk itu berputar mengelilingi pinggiran cangkir teh porselen di meja. Netra hijau Brian begitu fokus memerhatikan setiap sudut cangkir teh seolah menyelidik. Ini tindakan alaminya ketika dia sedang kesal. Setelah memikirkan dengan hati-hati tentang kelemahan Gavin, Brian berkata, "Aku tidak akan menyerahkan Heli pada tua bangka sepertimu." Gavin menghela napas. "Saya menyerah, Yang Mulia. Saya salah. Tolong pertimbangkan saya menjadi pendamping Yang Mulia Heli." Brian, sang raja berhati dingin yang kata orang-orang tidak pernah tersenyum apalagi tertawa, kini tersenyum setelah menang melawan Gavin dalam perang kata. Lagipula, kelemahan Gavin ini sudah diketahui banyak orang. Kalau bukan karena Helen, kenapa lagi Gavin yang tampan ini selalu menolak wanita yang dijodohkan dengannya? Alasan ini pula yang membuat Gavin mendapat gelar gay. Brian bangkit, sedikit menyibak jubah kebesarannya, lalu menepuk pundak Gavin. Dia berkata, "Reputasimu sebagai gay telah meningkat tajam dari bulan lalu. Kalau kau tidak segera menikah, adikku bisa jadi bahan perbincangan orang-orang." Gavin menghela napas panjang. "Justru adik Yang Mulia yang membuat saya menjadi gay di mata orang-orang." Brian mengangkat kedua alisnya, ada kerlipan jahil di netra hijaunya. "Kalau begitu, kau harus segera menikah, agar tidak dibicarakan sebagai gay dengan adikku." Gavin menatap lesu Brian, merengek, "Yang Mulia..." Brian tertawa pelan. Khawatir Brian akan mengeluarkan dekrit pernikahan untuknya dengan gadis bangsawan lain, Gavin mengalihkan pembicaraan. "Saya akan mengirim b***k ini kepada Yang Mulia Heli setelah dia sadar." "Heli akan datang ke sini setelah siuman. Dia mencari b***k ini. Jadi, jaga baik-baik putra pengkhianat itu kalau kau masih mau bereksperimen tentang penyembuhan penyakit Heli." "Bagaimana Yang Mulia tahu kalau Yang Mulia Heli akan langsung datang ke sini?" "Kami memiliki satu persamaan; mencabut rumput sampai ke akarnya." Tidak berapa lama setelah Brian dan para pengawalnya meninggalkan kamar Gavin, Helen benar-benar muncul di sana. Gavin sedang melihat kondisi Darian yang perlahan siuman ketika suara pedang beradu terdengar dari luar. "Yang Mulia...?" sapa Gavin dengan ekspresi terkejut. Di ambang pintu, sosok berpakaian zirah dengan topeng perak di wajah, tengah menatap Gavin dengan netra hijaunya yang tajam. Helen belum dalam mode 'sakit' tapi auranya mirip dalam mode itu; dingin dan mendominasi. Meski biasanya Helen memang begini, tapi tingkat kebekuannya saat ini turun beberapa derajat, dan membuat Gavin bergidik. "Aku harus membunuhnya," kata Helen. Gavin menelan ludah melihat pedang berdarah di tangan Helen. Jelas, gadis itu telah membantai pengawal yang berjaga di depan kamar Gavin. Dia harus mencari penjaga baru lagi hari ini. Terkadang Gavin lupa kalau Helen seorang wanita. Dengan penampilan Helen yang menyeramkan begitu, siapa yang akan memikirkan dia sebagai wanita? Sia-sia wajah feminin Helen ketika disandingkan dengan lengan berotot yang memegang pedang, tinggi badan 172 cm yang menyamai pria, perut sixpack, suara berat, dan netra tajam seolah akan membunuh siapa saja dalam garis pandangnya. Bahkan dadanya yang harusnya mulai tumbuh itu tidak menonjol karena selalu ditekan oleh lapisan kain putih. Bukan salah orang-orang jika menganggap Helen sebagai pria karena penampilan maskulinnya. Ditambah lagi, tidak ada yang tahu wajah feminin di balik topeng peraknya. Bahkan musuh-musuh di medan perang bergidik ngeri kala membayangkan bringasnya wajah Helen di balik topeng perak itu. Maka, sempurnalah sosoknya sebagai pria di mata orang-orang. "Oh, wajah feminin yang malang..." keluh Gavin dalam hatinya. "Kenapa Yang Mulia ingin membunuhnya?" tanya Gavin. "Dia putra pengkhianat." "Dia bukan putra paman pertama, Yang Mulia," kata Gavin. Wajah Gavin masih saja tampan ketika menipu orang lain. Selain ayahnya, tidak ada seorang pun yang tahu kapan dia berkata jujur atau bohong. Bahkan Brian yang telah bersamanya lebih dari dua puluh tahun masih akan tertipu sekali-kali. Helen menyipitkan matanya ke arah Gavin. Gavin tersenyum meyakinkan. "Itu benar, Yang Mulia. Pengawal salah paham. Anak ini hanya seorang b***k di rumah lelang yang diambil untuk menjadi pelayan di istana." Helen masih memerhatikan gerak-gerik Gavin. Dia ragu. Gavin berdiri, memamerkan tangannya yang diperban. "Apa Yang Mulia Heli meragukan kemampuan Yang Mulia Raja? Yang Mulia Raja sudah membantai semua orang yang berhubungan dengan paman pertamanya." Helen melirik Darian yang setengah sadar di ranjang, lalu menatap Gavin lama. "Saya telah meminta b***k ini untuk menjadi pelayan Anda, Yang Mulia." Memasukkan pedang ke sarungnya, Helen balik badan, berkata, "Aku tidak butuh pelayan."   ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD