Pengakuan Bagas

1528 Words
“Sayang, kenapa kamu tidak bilang sama Mas soal ini?” “Mas, aku minta maaf. Tapi, Bagas memberikan hadiah itu kepada Aira saat mereka nonton bioskop kemarin. Aku bukannya tidak mau memberitahu, Mas. Tapi kan kemarin Mas sedang sibuk, apalagi Mas akan pulang, jadi aku berniat untuk memberitahu Mas, saat Mas sudah sampai di rumah.” Rain menatap liontin yang ada di tangannya. “Mas akan mengembalikan liontin ini kepada Bagas. Mas juga akan bicara padanya untuk tidak memberikan hadiah seperti ini lagi kepada Aira. Mas hanya tidak ingin sampai Bagas menaruh harapan kepada Aira, karena Mas ingin, Aira hanya fokus dengan sekolahnya.” Karin tersenyum, ia lalu menyandarkan kepalanya di bahu Rain. “Aku setuju saja.” Ia lalu membelai d**a bidang Rain. “Mas, aku kangen,” ucapnya manja. Rain tersenyum, ia lalu mengecup kening Karin. “Apalagi Mas, kangen banget.” Rain dan Karin lalu saling berciuman, mereka saling melepas rindu yang selama beberapa hari ini mereka pendam karena terhalang oleh jarak dan waktu. “Sayang, nanti Om yang akan mengantar dan menjemput kamu sekolah.” Rain lalu memasukkan satu suap makanan ke mulutnya. “Apa Om tidak berangkat kerja?” “Om mengambil cuti selama 3 hari, selama itu juga, Om yang akan mengantar jemput kamu ke sekolah.” Aira menganggukkan kepalanya. “Mas, nanti aku mau pergi bersama dengan Risa. Mungkin aku akan pulang malam. Mas tidak apa-apa kan di rumah sendirian?” Rain menganggukkan kepalanya. “Memangnya kamu sama Risa mau pergi kemana?” “Risa meminta aku untuk menemaninya membeli beberapa pakaian untuk butiknya.” Setelah selesai makan, Aira berpamitan kepada Karin untuk berangkat sekolah. “Aira berangkat sekolah dulu ya, Tan.” Ia lalu mencium punggung tangan Karin. “Hati-hati ya, sayang. Mas juga, bawa mobilnya tidak usah ngebut,” ucap Karin sambil menatap Rain. Rain mengecup kening Karin. “Iya, Sayang. Mas berangkat dulu.” Karin lalu mencium punggung tangan Rain. Rain dan Aira keluar dari rumah menuju mobil, mereka lalu masuk ke dalam mobil. Rain melajukan mobilnya keluar dari halaman rumahnya. “Om, maafkan Aira. Aira sudah menolak hadiah pemberian Bagas itu, tapi ....” Rain menghela nafas panjang. “Sayang, kamu pasti sudah tahu, apa maksud Bagas memberikan hadiah itu buat kamu?” “Tapi, kata Bagas, itu hanya hadiah pertemanan.” “Tidak ada cowok memberikan hadiah semahal itu, kalau hanya untuk hadiah pertemanan. Om tidak ingin merusak persahabatan kamu dengan Bagas. Om juga tidak melarang kalian untuk saling menyukai satu sama lain. Tapi, tidak untuk sekarang, kalian masih kecil untuk mengenal cinta.” “Maafkan Aira, Om. Aira juga hanya menganggap Bagas sebagai sahabat, tidak lebih.” Rain mengusap puncak kepala Aira. “Om, tahu itu,” ucapnya dengan senyuman di wajahnya. Sesampainya di sekolah, Rain ikut keluar dari mobil. Kebetulan saat itu, Bagas juga baru saja sampai di sekolah. Ia meminta Aira untuk masuk. Aira menganggukkan kepalanya, ia lalu mencium tangan Rain sebelum memasuki gerbang sekolahnya. Bagas mengernyitkan dahinya saat melihat Aira yang masuk ke gerbang sekolah tanpa menunggu dirinya. Ada apa dengannya, apa terjadi sesuatu? “Pagi, Om,” sapa Bagas lalu mencium tangan Rain. “Pagi. Ada yang ingin Om bicarakan sama kamu, sebentar.” Bagas menganggukkan kepalanya. Rain lalu mengajak Bagas untuk duduk di bangku pinggir jalan, ia lalu mengeluarkan kotak kecil yang ia pakai untuk menaruh liontin Bagas. “Om hanya ingin mengembalikan ini,” ucapnya sambil memberikan kotak kecil itu kepada Bagas. Bagas tidak langsung menerima kotak kecil itu. “Itu kan ....” “Ini hadiah yang kamu berikan kepada Aira kemarin. Bukannya Om ingin melarang kamu memberikan hadiah untuk Aira. Tapi, Om harap kamu bisa memberikan hadiah yang sewajarnya saja.” Rain lalu menengadahkan tangan telapak tangan Bagas dan meletakkan kotak itu di tangannya. “Sekarang Om mau bertanya sama kamu, apa kamu menyukai Aira lebih dari seorang teman?” Bagas membulatkan kedua matanya, ia bingung harus menjawab apa, namun akhirnya ia menganggukkan kepalanya. “Maaf, Om.” “Om tidak melarang kamu untuk menyukai Aira. Kamu adalah pemuda yang baik, hanya saja, kalian masih kecil. Yang harus kalian pikirkan sekarang adalah belajar, jangan membuat orang tua kamu kecewa.” Bagas menganggukkan kepalanya. “Baik, Om.” “Jika kamu sudah benar-benar merasa layak untuk Aira, maka perjuangan dia, tapi tidak untuk saat ini, mengerti.” Bagas menganggukkan kepalanya. “Sekarang masuklah, jangan sampai kamu terlambat masuk ke dalam kelas.” Bagas lalu beranjak dari duduknya. “Om, jangan bilang sama Aira kalau saya menyukainya. Saya hanya tidak ingin ada kecanggungan di antara kami nanti.” Rain menganggukkan kepalanya. “Kamu tenang saja, Om akan merahasiakan ini.” “Terima kasih, Om.” Bagas lalu melangkah masuk ke dalam gerbang sekolahnya. Rain menghela nafas panjang. “Sudah kuduga. Bagas memang menyukai gadis kecilku.” Bagas menaruh tas ke mejanya, setelah itu ia menghampiri Aira yang tengah mengobrol dengan Fani. “Ra, boleh bicara sebentar?” Aira menganggukkan kepalanya, ia sudah tahu, apa yang ingin Bagas bicarakan. “Kita bicara di luar saja.” Ia lalu beranjak dari duduknya. “Apa yang ingin kalian bicarakan tanpa aku?” tanya Fani penasaran. “Bukan apa-apa, kamu disini saja.” Bagas dan Aira lalu keluar dari kelas. Mereka pergi ke belakang sekolah. “Ra, aku minta maaf. Gara-gara aku, kamu ....” “Sudahlah, Gas. Sekarang kamu tahu bagaimana sifat Om Rain, jadi aku harap, kamu tidak usah memberikan hadiah apa-apa lagi sama aku, kecuali saat ulang tahun aku.” Bagas menganggukkan kepalanya. “Tapi, kamu jangan berpikiran buruk tentang aku ya, karena aku benar-benar tidak ada maksud apa-apa kok.” Aira tersenyum. “Iya-iya, memangnya apa yang aku pikirkan? Kitakan sahabat, iya kan?” “Hem, ya sudah, ayo kembali ke kelas, pelajaran sudah mau dimulai.” Aira menganggukkan kepalanya, mereka lalu kembali ke dalam kelas. Setelah pelajaran terakhir selesai, terdengar suara bel berbunyi tanda waktu pulang sekolah. Setelah selesai berdoa, semua siswa dan siswi berhambur keluar dari kelas. “Ra, apa aku boleh nebeng?” tanya Fani. “Boleh, tapi aku dijemput sama Om Rain, tidak apa-apakan?” Fani menganggukkan kepalanya. Bagas memakai tas gendongnya. “Aku duluan ya, hari ini aku ada janji mau menemani Mama pergi ke mall.” “Tumben kamu mau menemani mama kamu,” sindir Fani. “Ya tidak apa-apakan, sekali-kali membuat orang tua kita senang, iya kan, Ra?” Aira menganggukkan kepalanya. “Selagi kita masih bisa membahagiakan mereka, kenapa tidak. Jangan sampai menyesal seperti aku, karena aku sudah tidak bisa membalas kebaikan kedua orang tuaku lagi,” ucapnya sambil menepiskan senyumannya. “Fan, Aira jadi sedihkan. Semua ini gara-gara kamu.” Fani menyentuh lengan Aira. “Maaf ya, Ra. Aku tidak bermaksud untuk membuat kamu sedih.” “Tidak kok, lebih baik sekarang kita keluar. Aku tidak ingin sampai Om Rain menunggu lama.” Mereka lalu keluar dari kelas. Ternyata Rain sudah menunggu di depan pintu gerbang. Aira dan Fani lalu masuk ke dalam mobil. Sebelum mengantar Fani pulang, Rain mengajak mereka berdua untuk makan siang di restoran. Setelah dari restoran, Rain langsung mengantar Fani pulang. Sesampainya di rumah Fani, Fani mengucapkan terima kasih kepada rain dan Aira, setelah itu dia keluar dari mobil. Rain melajukan mobilnya pergi meninggalkan rumah Fani. “Sayang, habis ini mau kemana? Om akan mengantar kemanapun kamu ingin pergi.” “Om, Aira ingin pergi ke makam Ayah dan Ibu.” “Baiklah, Om akan mengantarmu ke makam kedua orang tua kamu.” Setelah dua jam perjalanan, mereka akhirnya sampai di pemakanan umum di tempat dulu Aira tinggal. Rain dan Aira keluar dari mobil, mereka lalu berjalan masuk ke pekarangan malam. Mereka menghentikan langkah mereka tepat di makam kedua orang tua Aira. Aira dan Rain duduk berjongkok di samping makam kedua orang tua Aira. “Ayah, Ibu. Maafkan Aira, karena Aira baru bisa datang untuk menjenguk Ayah dan Ibu. Ayah, Ibu, Aira ingin mengucapkan terima kasih, karena kalian telah membesarkan Aira selama ini. Aira minta maaf, karena Aira belum bisa membuat kalian bahagia. Aira belum bisa membalas kebaikan serta kasih sayang Ayah dan Ibu selama ini.” Rain merangkul bahu Aira, ia bisa merasakan tubuh Aira yang gemetar, karena menahan isak tangis. Kak ipar. Aku janji, aku akan menjaga Aira dengan baik. Aku tidak akan membiarkannya bersedih ataupun menderita, aku janji. “Sayang, ayo kita pulang. Kapan-kapan kita kesini lagi.” Aira menganggukkan kepalanya, tapi sebelum mereka beranjak dari duduknya, mereka terlebih dulu melantunkan doa untuk kedua orang tua Aira. Setelah itu, mereka baru keluar dari pekarangan makam. Rain membukakan pintu mobil untuk Aira, setelah itu Aira masuk ke dalam mobil, begitu juga dengan Rain. Rain lalu melajukan mobilnya meninggalkan pemakaman umum. “Sayang, jangan bersedih. Kan ada Om dan tante yang akan selalu menemani kamu.” Aira menghapus air matanya. “Iya, Om.” Rain mengusap puncak kepala Aira. “Aira tahu kan, kalau Om dan tante sangat menyayangi Aira?” “Aira tahu, Om. Terima kasih untuk semuanya. Berkat Om dan Tante, Aira tidak merasa kesepian lagi. Aira bisa merasakan kembali kasih sayang Ayah dan Ibu Aira,” ucap Aira dengan menepiskan senyumannya. “Itu baru Aira yang Om sayang,” ucap Rain dengan menatap Aira sekilas, lalu kembali fokus menatap ke depan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD