Satria merasakan jantungnya berdegup lebih kencang dari sebelumnya. Entah kenapa bisa begitu, akan tetapi beberapa saat kemudian dia dikejutkan dengan kedatangan wanita berambut panjang sebahu dan kini tengah menatap dirinya dengan tatapan dingin penuh rasa ketidaksukaan pada dirinya.
Ketika melihat Sakila ada di depan matanya, tentu membuat Satria senang. Namun dia mendapati Sakila menatapnya demikian, dalam sekejab Satria menyembunyikan perasaannya dan balas menatap Sakila dengan kening berkerut heran.
"Ada apa?" ucap Satria.
Sakila melihat tangan didada, tatapannya masih menatap Satria dengan tidak suka. "Ada juga aku yang tanya ada apa? Kenapa? Buat apa? Alasan apa yang buat kamu ada di perusahaan ini?"
Satria menyipitkan mata. Ekspresinya tidak berubah, tetap tenang dan tidak terpengaruh.
"Jawab!" desak Sakila tidak sabar. Matanya melotot menuntut jawaban.
Satria melonggarkan dasi dan bersikap santai, duduk di atas meja lalu memasukan tangan ke dalam ke dua saku celananya. "Alasan aku berada di perusahaan ini hanya untuk menunggumu kembali dan memberimu pelajaran," tukas Satria, lalu ia menunduk menatap cangkir kopi di sebelahnya.
"Apa?" Sakila menatap Satria dengan mata terbelakak lebar-lebar. "Memberi pelajaran?"
Satria balas menatapnya dan tersenyum tipis, namun Sakila dapat melihat ekspresi puas di wajah laki-laki itu. "Karena kamu mengabaikan aku."
Pengakuan Satria amat sangat mengejutkannya. Sakila mengepalkan tinju hingga nampak kukunya yang memutih. "Kamu..."
Satria memutar tubuh, mengacuhkan Sakila dan memandang ke arah luar jendela. Pandangan matanya begitu hampa, lalu dia berkata, "Sebentar lagi aku ada meeting, silahkan kamu temui Kevin, dia akan memberitahukan padamu apa pekerjaan kamu di tempat ini."
Kata-kata Satria seketika meresap, memikirkan kata-kata pria itu benar-benar sangat gila, ini perusahaan keluarganya, Sakila hampir bisa dikatakan sebagai pewaris, tapi... Kenapa Satria yang malah berkuasa di sini.
Dengan perasaan kesal, Sakila membalikkan tubuh dan berjalan keluar dari ruangan Satria tanpa menyadari saat ia berjalan keluar Satria menoleh, menatapnya dengan tatapan rumit.
Disaat yang bersamaan, ponselnya berdering nyaring memperlihatkan nama yang seharusnya tidak menelpon dirinya disituasi saat ini.
"Iya."
"Sakila, dasar wanita sialan, abwa semua barang-barang kamu dari rumahku sebelum aku melemparkan semuanya ke jalanan."
"Buang aja, aku juga nggak butuh," Sahut Sakila dengan cepat. Ia berniat menutup telepon itu, akan tetapi sebelum ia melakukannya, Hanifa kembali berkata.
"Temui Bagas dan segeralah kamu bercerai darinya," ucap Hanifa penuh penekanan.
Sakila tertawa, mengejutkan Hanifa dan sukses membuatnya sangat jengkel pada Sakila. "Dasar orang sinting, bukannya mikir malah tertawa."
Senyum Sakila seketika lenyap. Ia memandang luruh ke arah depan, namun sorot matanya seketika dipenuhi oleh kemarahn yang menakutkan. "Tanpa Mama suruh, aku juga akan menceraikan dia, karena buatku kalian semua sampah, sampah yang sangat menjijikan."
Usai mengatakan itu semua Sakila menutup teleponnya. Pandangannya masih menatap lurus ke arah lorong di depan sana.
"Sakila, mari saya antar ke ruang kerja anda."
Suara seorang pria muda berkacamata mengejutkannya. Sakila terperanjat bangun dari lamunannya dan berbalik menatap Kevin yang merupakan salah satu staf Satria dan juga teman satu circlenya.
Sakila tidak menentangnya, tidak juga memberontak dan memprotes kenapa dia malah di tempatkan menjadi seorang karyawan audit biasa.
Bergelar MBA ternyata tidak ada bedanya dengan lulusan S1 biasa. Sakila memutar kedua bola mata malas. Ia bahkan mengabaikan tatapan beberapa karyawan lain yang memandang aneh dirinya.
Sepanjang hari ini Sakila memilih untung merunut semua yang terjadi dan bagaimana bisa Satria menjadi CEO di perusahaan ayahnya dan dia malah menjadi karyawan biasa di sini.
Sebelum jam pulang tiba. Tiba-tiba saja telepon kantor di ruangannya berdering. Seseorang memanggil namanya dan membuat Sakila segera bangkit berdiri. "Iya ada apa?"
"Sakila, kamu dipanggil naik ke ruang rapat di lantai 12, bawa semua laporan yang sudah kamu susun tadi, dan laporkan semuanya."
"Baik."
Sakila tidak berpikir banyak, memang seperti inilah pekerjaanya. Setelah seharian berkutat membereskan semua laporannya, Sakila pun segera bergegas naik ke lantai 12 tempat yang ditunjukan tadi.
Sakila tidak negitu mengingat tower perusahaan ayahnya, karena sudah lama juga dia tidak ke kantor ini. Dan kalau dia tidak salah mengingat, kantor ini adalah ruang meeting.
Benar, ketika pintu lift terbuka Sakila langsung dapat melihat ruang meetingnya yang seperti akuarim, semuanya terlihat transparan karena ruangan itu sepenuhnya memakai kaca tebal.
Dari luar Sakila dapat melihat dua orang pria sudah terlebih dahulu berada di ruangan itu, salah satunya pria bertubuh tinggi tegap yang sedang melihat ke arah luar gedung sudah dapat Sakila pastikan bahwa itu adalah Satria.
Sakila menarik nafas panjang, menyiapkan mentalnya untuk berdebat lagi dengan pria itu.
"Permisi," ucap Sakila dengan sedikit malas.
Kevin menyambutnya dengan antusias. "Sakila, silahkan masuk."
Setelah melirik sejenak ke arah Satria, Sakila kembali mengayunkan langkahnya menghampiri Kevin lalu duduk di sampingnya.
"Sory udah bikin kamu repot bawa tumpukan berkas ini ke lantai 12," ucap Kevin dengan nada ramah.
Sakila mengangguk dan berkata, "It's oke, nggak papa." Lalu ia kembali melirik Satria lewat ekor matanya.
Disaat yang bersamaan Satria berbalik dan pandangannya langsung jatuh pada sosok Sakila yang duduk sambil menunduk menatap tumpukan berkas yang ada di hadapannya.
"Apa yang sudah kamu temukan dari berkas-berkas itu?" suara berat nan serak Satria yang bertanya padanya sukses membuat Sakila mendadak di serang rasa gugup.
"Saya menemukan beberapa keanehan dari berkas-berkas ini, saya rasa ini harus segera di pelajari," ucapnya tanpa berabi menatap Satria secara langsung.
Satria mengeluarkan salah satu tangannya yang sebelumnya ia masukan ke dalam saku celananya. Lalu duduk sambil menyilangkan kaki di depan Sakila. "Tentang apa?"
"Aliran dana dari perusahaan ini ke Hans Market," jawab Sakila yang masih enggan beradu muka dengan Satria.
Satria tidak begitu memperdulikan sikap Sakila, ia hanya menatap wanita itu dengan tenang namun terlihat hal-hal tak terbaca dari tatapannya.
"Kita pelajari semua berkas ini, aku sudah mencurigainya sejak lama," sahut Satria, tanpa basa basi dia langsung menarik beberapa berkas yang ada di atas meja, Kevin pun mendekat membuat Sakila mengerutkan dahi bingung.
"Sebenarnya apa yang terjadi?" ucapnya dengan polos.
Seketika Sakila langsung mendapatkan tatapan tajam dari kedua pria yang sebelumnya sudah mulai sibuk dengan berkas itu.
"Oh, jadi kayak gini lulusan Harvard University bergelar MBA sewaktu lagi kerja?" ucap Satria sarkas.
Sakila langsung memelotinya tidak terima. "Maksud kamu apa?"
Namun Satria malah bersikap sebaliknya, tetap tenang dan kembali menatap berkas-berkas itu. "Setelah kita pelajari dan bereskan semuanya kamu akan tahu siapa dalang pembuat onar di perusahaan ini, dan aku harap sebelum waktu itu tiba, banyak-banykalah latihan kardio, supaya kinerja jantungmu tetap baik."
Sakila tidak bisa berkata-kata, ia tercenung sekaligus bingung dengan perkataan Satria tadi.
Dan kata-kata Satria berikutnya membuat Sakila kian tidak mengerti.
"Berapa uang bulanan yang diberikan Bagas untukmu? Apa selama menikah dia pernah mengajak kamu jalan-jalan ke luar negeri?"
"Ngapain kamu kepo sama rumah tangga aku?" sahut Sakila dengan nada ketus.
Bukannya menjawab, Satria malah menggeleng-geleng dan mendecakkan lidah lalu kembali melanjutkan mempelajari berkas-berkas itu.
Membuat Sakila hanya dapat menghembuskan nafas kesal. Pasrah kalau harus bekerja sama dengan Satria, awal-awal dia canggung jika harus memanggil Satria dengan panggilan Pak, akan tetapi setelah beberapa saat berlalu dan diskusi mereka mulai intens, Sakila mulai merasa nyaman saat bekerja dengan Satria.
Sakila memandangi beberapa berkas di tangannya, ia tatapan lekat-lekat tanda tangan serta nama yang tercantum di sana. Keningnya berkerut tajam, dia tampak berpikir keras dan ketika sudah merasa buntu Sakila pun mengeluarkan suaranya.
"Pak Satria, Dimitri Bagaskara itu..."
Sakila perlahan menatap Satria yang ternyata juga tengah menatap dirinya.
Sakila diam tak berkata-kata, sorot matanya memperlihatkan tuntutan sebuah jawaban akan pertanyaan yang ia tanyakan tadi pada Satria.
Dan pria itu menarik nafas dalam-dalam, raut wajahnya kembali terlihat sangat serius, dan semakin serius ketika ia berkata. "Dia sudah lama bekerja di sini, jabatannya pun tidak main-main, salarynya diatas dua digit."