Bab 6

1298 Words
Sakila menghela nafas panjang ketika pada akhirnya setelah lima tahun dia meninggalkan rumah keluarganya, kini dia kembali lagi dengan membawa kegagalan yang jelas nantinya akan ditertawakan oleh kedua orang tuanya. Sesekali Sakila mengusap dan memijat pelipisnya, berharap dia bisa berpikir jernih dan memiliki keberanian untuk keluar dari dalam mobil lalu berjalan masuk ke dalam rumah megah itu. "Kalau belum berani pulang, pintu rumah aku terbuka lebar buat kamu singgahi bahkan kamu tinggali." Satria tersenyum genit sambil mengangkat kedua alis mata naik turun ketika kata-katanya berhasil membuat Sakila menoleh padanya, meski dengan tatapan yang jauh dari kata ramah. "Nggak usah mimpi," ketus Sakila. Kemudian ia membuka pintu mobil lalu keluar tanpa memperdulikan bagaiman Satria terus menatap dirinya. Senyum Satria seketika menghilang saat Sakila menutup pintu mobilnya rapat-rapat. Dan kembali lagi, Satria hanya dapat menggeleng sambil menghembuskan nafas pasrah. Oh Tuhan, entah sampai kapan wanita itu akan terus salah paham serta membenci dirinya. Satria menarik nafas panjang, lalu menyugar rambut hingga membuatnya agak berantakkan, kemudian menyalakan mesin mobilnya dan pergi dari kediaman keluarga besar Sakila. Entah mengapa Sakila masih merasa ragu untuk memasuki rumah keluarganya. Lima tahun lalu dia mati-matian berusaha untuk bisa keluar dari rumah ini hanya untuk menikah dengan Bagas, kini setelah lima tahun berlalu dia tidak tahu harus menaruh mukanya dimana ketika bertemu kembali dengan kedua orang tuanya. Malu, jelas itu yang kini tengah dirasakan oleh Sakila. Akankah kedua orang tuanya dapat menerimanya kembali ataukah lebih baik Sakila mundur saja. Sialnya, pintu yang berwarna putih dengan engsel pintunya yang berwarna emas itu seakan-akan tengah mengejek dirinya dengan falsafah yang menyedihkan tentang bagaimana keras kepala dirinya. Sakila tetap berdiri mematung, berpikir sambil terus menatapi pintu itu dengan tatapan kosong, kemudian dia memutuskan untuk berbalik dan berpikir sebaiknya dia tidak usah kembali ke rumah ini. "Tak ada gunanya," gumam Sakila lesu. "Kata siapa?" Suara lembut itu membuat Sakila terperajat dari lesunya hati, jantungnya mendadak berdegup karena gugup. Di sisi lain dia merasa lega sekaligus bahagia, namun di sisi lain rasa malu itu kembali memperingatinya. "Sakila," ucap Mawar yang tak lain adalah ibunya. Wanita paruh baya dengan rambut panjang terurai dan poni tipis yang menutupi dahinya tersenyum lega karena sang putri kesayangannya kini memilih untuk kembali ke rumah ini. "Kamu nggak kangen sama Mama, ya?" Seketika pertahanan Sakila runtuh, hancur berkeping-keping ketika Mawar bertanya demikian. Sejak kecil Sakila selalu bersama dengan ibunya yang selalu memanjakannya, selalu ada untuknya dan yang selalu mengerti dirinya. Lima tahun bukan waktu yang singkat menahan rindu pada ibunya, Sakila bukannya hanya tersiksa batin oleh pernikahannya namun juga tersiksa batin karena merindukan ibunya. Dengan bola mata yang sudah tergenang oleh air mata, Sakila membalikkan badan. Dan ia menemukan Ibunya kini sudah berdiri tepat di depannya, tersenyum dan membuka tangan untuk dirinya. Air mata Sakila jatuh tak tertahankan. Wajahnya sudah begitu memerah karena menahan tangis. Begitu pun dengan kerinduannya pada sang Mama tercinta. Rasa malu serta gugup yang tadi melanda dirinya, kini ia abaikan begitu saja. Sakila berjalan mendekat, menerjang sang Mama untuk memeluknya erat. Meluapkan segala kesedihannya, tangis Sakila pun pecah. Rasa nyeri dan sesak itu kini seolah lepas begitu saja. Pelukan serta usapan lembut Mama ternyata sama sekali tidak berubah, tetap nyaman, hangat dan begitu tulus. "Mah, maafin Kila ya, Ma..." lirih Sakila dalam tangis dan dalam pelukan Mamanya. Meski tak terucap oleh putrinya, akan tetapi Mawar tahu persis apa yang tengah dialami dan dirasakan oleh Sakila. Baginya, Sakila tetaplah seorang anak, sebesar apapun kesalahannya, dia tetaplah seorang anak dan saat dia kembali ke rumah orang tuanya maka pintu maaf serta pemulihan sangat terbuka untuknya. Mawar mengusap wajah putrinya yang sudah basah karena air mata, di tatapnya wajah Sakila dengan penuh kelembutan lalu tersenyum dan berkata, "Kita masuk ya." Sakila hanya tersenyum saat menjawab ajakan ibunya. Meski Mawar sudah menerimanya kembali belum tentu dengan ayahnya. Samuel Diharjo, meski pun usianya sudah tidak muda lagi, akan tetapi ketampannya sama sekali tidak memudar, sama persis seperti Mawar, umur hanyalah angka bagi keduanya. Samuel menatap Sakila dari lantai dua, tatapannya tajam namun terlihat begitu rumit dan membingunkan. Membuat Sakila tidak memiliki keberanian untuk balas menatap dirinya. "Anak gadismu pulang, jadi jangan bersikap seperti itu," ucap Mawar yang jengah melihat suaminya hanya diam mematung di lantai. Samuel memalingkan wajah ke arah lain sambil menghela nafas panjang. "Dia udah bukan anak gadis lagi," sahut Samuel yang kemudian mulai berjalan menuruni anak tangga. Mawar bergumam kesal ketika mendengar perkataan suaminya yang selalu tidak seiya sekata dengan dirinya. "Setidaknya kamu bersikap layaknya seorang ayah yang penuh kasih sayang pada putrinya," tegas Mawar. Dalam beberapa saat kini Samuel sudah berdiri di hadapannya. Pria itu menatap Mawar dan Sakila secara bergantian. "Memangnya keluarga suami kamu nggak akan ..." "Kila sedang mempersiapkan percerain dengan Bagas," ucap Sakila dengan cepat. Perkataan Sakila tidak terlalu mengejutkan keduanya, karena keduanya sudah memiliki firasat bahwa pernikahan Sakila tidak akan bertahan lama. Samuel menanggapi perkataan Sakila dengan tenang. Dia melirik istrinya yang berdiri tepat di samping istrinya lalu kembali menatap Sakila. "Urus perceraian kamu secepatnya, tapi jangan buat gaduh, Papa tidak mau mendengar mereka menggonggong tidak jelas." "Hm, iya Pah." Sakila sudah membulatkan tekad untuk bercerai dari Bagas, dia menyakinkan dirinya untuk tegar dan tidak akan terpengaruh oleh apa pun juga. Melihat ketegaran Sakila dan bagaimana ia menahan rasa kelu, Samuel hanya dapat melihatnya saja tanpa banyak berkomentar. "Kalau sudah merasa tenang, kembalilah ke perusahaan, kamu harus belajar lagi dari nol untuk memimpin perusahaan," imbuh Samuel. Tanpa berkata-kata lagi Samuel berlalu begitu saja meninggalkan Sakila yang tengah mengeratkan kepalan di tangannya. Tubuhnya bergetar hebat menahan tangis. "Kila ke kamar dulu, Mah." Sakila mengabaikan tatapan Mawar yang terlihat begitu bersedih padanya. Sesampainya di kamar Sakila menatap ke sekeliling kamarnya, dia melihat semua tidak ada yang berubah meski sudah lima tahun lamanya dia tinggalkan. Boneka-boneka miliknya masih tertata rapi seperti saat terakhir dia tinggalkan dulu, foto-foto bersama dengan keluarga dan temannya pun masih terpajang dengan sangat baik. Melihat pemandangan di kamarnya yang tidak berubah mengingatkan Sakila akan masa sulitnya saat hidup bersama Bagas, saat tinggal seatap dengan mertua serta adik ipar, serta saat mereka semua menghina dan merendahkan dirinya. Sakila merasa menyesali keputusan besarnya keluar dari rumah ini. Dalam sekejab ia merasakan kembali rasa sesak didada, tubuhnya bergetar hebat, tangisnya pun pecah tanpa mampu dia kendalikan. Selama tiga minggu lamanya Sakila memilih untuk berdiam diri di dalam rumah, tidak banyak melakukan aktifitas. Hanya membaca dan merawat tamanan saja. Dan selama tiga minggu ini, hatinya sudah mulai tenang, kerapuhannya sudah mulai membaik. Ketika Samuel bertanya apakah dia sudah siap untuk ke kantor, Sakila dengan ragu berkata iya. Langkahnya tidak begitu yakin, namun ia berusaha untuk menyembunyikan semua itu dari orang-orang yang menatap dirinya penuh kekaguman. Sakila yang saat masih menjadi istri Bagas terlihat tidak segar, tidak pernah bermake up, baju daster yang begitu sangat sederhana, nyaris tidak terurus. Namun kini ia tampil begitu sangat berbeda. Dia sendiri pun tidak mempercayai bahwa ternyata dirinya begitu cantik dan penuh pesona ketika ia kembali menjadi Sakila yang seperti ini. Sungguh sangat kejam perlakuan Bagas padanya. Pria itu sukses membuat Sakila terlihat seperti pembantu. "Pagi Mbak Sakila," sapa salah seorang staff pada dirinya. "Pagi, ini sama Mbak Heni kan, ya?" sahut Sakila dengan ramah. "Iya Mbak, saya Heni." "Senang bisa bertemu lagi dengan Mbak Heni..." ucap Sakila, lalu ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling tempat ini. "Oh iya, ruangan saya ada di sebelah mana ya, Mbak?" "Oh iya, sebelum Mbak ke ruangan Mbak sendiri, Mbak Sakila udah di tunggu sama pimpinan perusahaan ini." Seketika kening Sakila berkerut bingung. "Pimpinan? CEO maksudnya?" "Iya betul, Mbak." "Papa maksudnya?" ucap Sakila memastikan. Namun Heni malah menggeleng mematahkan tebakannya. "Maaf, Bapak udah nggak berkantor lagi di sini Mbak, beliau sekarang lebih fokus ke anak perusahaan lain, dan untuk penggantinya beliau sudah menunjuk Pak Wiguna untuk menjadi pimpinan di perusahaan ini." "Wiguna?" Nama itu serasa tidak asing untuknya, sangat tidak asing. "Wiguna....? Satria?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD