Chapter 1

1758 Words
"Kamu itu seperti jeruk. Kalau manis, ya manis banget. Kalau asam, ya asam banget.” ©©© 2019 Seorang gadis dengan mata bulat berwarna hazel, berbibir tipis, dan memiliki kulit putih dengan badan yang tidak terlalu tinggi memasuki lingkungan sekolah dengan senyum mengembang di sudut bibirnya. Matanya menelisik melihat sekeliling. Cukup ramai, padahal waktu baru menunjukkan pukul 06.20 WIB. Ia melangkah cukup pelan menikmati pemandangan pagi di sekitarnya. Ada yang sudah bermain basket, ada juga yang sudah berlarian ke sana ke mari seperti anak kecil, dan ada juga yang telah bergosip ria di pinggir lapangan. Senyum tipis terlukis di sudut bibirnya saat menemukan Renan, dia menjadi salah satu siswa yang bermain basket di sana. Mata mereka bertemu pandang, senyum lebar dan lambaian tangan Renan berikan kepadanya. Alicia melihat Renan seperti berbisik sesuatu kepada salah satu temannya. Entah apa yang dia bicara, yang jelas beberapa saat kemudian laki-laki itu mendekati Alicia. “Pagi, Alic, baru berangkat?” sapa Renan kepada kekasihnya. “Enggak. Udah dari tadi, sih.” Alicia tersenyum memperlihatkan giginya yang rapi. “Oh ... jadi, udah dari tadi?” Renan menganggukkan kepalanya berkali-kali. “Jadi, dari tadi nonton aku basket, dong?” Alicia mencebikkan bibirnya, menatap Renan dengan wajah dibuat semalas mungkin saat mengetahui Renan yang begitu percaya diri. Ya, walaupun benar, sih, dia tadi sedang melihat laki-laki di depannya ini. “Pede banget. Aku lihat yang itu, tuh!” elaknya sambil menunjuk laki-laki jakung dengan rambut hitam acak-acakan yang sedang menggiring bola. “Dasar gak mau ngaku! Eh, kamu gak capek apa berdiri terus di sini?” Renan mengacak-acak rambut Alicia. Alicia tampak seperti berpikir. “Ah, gak akan, seru kok lihat kakak kelas main basket!” Alicia sengaja berniat menggoda Renan. Renan yang tahu maksud Alicia langsung memberengut malas. “Iyain,” kata Renan acuh. Kriingg kriingg. “Bel masuk udah bunyi tuh, masuk kelas yuk?” ajak Renan yang diangguki oleh Alicia. Mereka berjalan berdampingan menuju kelas XI IPA 3. ©©© Kantin adalah salah satu tempat terfavorit bagi para siswa maupun guru di SMA Bakti Bangsa 2 atau bahkan seluruh dunia? Tempat yang penuh berbagai macam makanan dan minuman ini akan ramai pada saat-saat seperti ini, jam istirahat pertama. Masing-masing stand tampak ramai, baik laki-laki maupun perempuan mengantre membentuk kereta panjang. “Mang, nasi goreng!” “Mang, es teh manis sama bakso!” “Mak, lotek sama es jeruk!” “Mak- woy! Jangan dorong-dorong!” “Gue duluan!” “Air panas, minggir-minggir!” Alicia dan Jessi hanya mampu menggeleng-gelengkan kepala saat melihat para manusia yang sibuk berebut makan dan berdebat. Keduanya memilih berdiri di pinggir pintu masuk kantin sambil menunggu antrean sepi. “Penuh banget, jadi beli gak, nih?” tanya Jessica yang tidak yakin bahwa keramaian ini akan segera sirna. Alicia menatap jam di pergelangan tangannya. “Kayanya enggak, deh, ini aja udah sepuluh menit kita berdiri di sini,” katanya, padahal cacing-cacing di perutnya sudah minta diberi makan. “Gila! Cacing di perut gue udah minta jatah tauk!” Alicia mendesah pelan, matanya menatap penjuru kantin dengan sendu. “Penuh banget, Jess. Kalau kita beli mau makan di mana coba?” “Bareng gue.” Bukan Jessica yang menjawab, melainkan suara berat milik laki-laki di sebelahnya. Laki-laki dengan rambut hitam kecokelatan dan baju yang acak-acakan serta tangan yang menyodorkan plastik putih berisi minuman dan sebungkus makanan. “Maksudnya?” Jessica melirik lapar ke arah bungkusan di tangan laki-laki itu. “Buat Alicia, bukan buat lo!” Alicia yang tidak suka langsung melotot tajam menatap laki-laki di sampingnya. “Just, gak boleh galak-galak jadi cowok!” Bukannya marah, lelaki itu justru menarik tangan Alicia cepat dan Alicia juga refleks menarik tangan Jessica. Mereka mengikuti Justin yang berjalan menuju pojok belakang kantin. Di sana sudah tersedia empat kursi kosong yang sepertinya khusus tersedia bagi mereka. “Duduk! Mau gak mau lo harus duduk!” titah Justin galak, dia mendudukkan Alicia paksa dan akhirnya Jessica juga ikut terduduk. Tanpa berkata lagi Justin membuka plastik dan mengeluarkan sebungkus makanan juga minumannya. Dengan cekatan dia membuka bungkusannya. Semua kegiatan Justin tidak lepas dari penglihatan Alicia dan Jessica. Keduanya sampai heran dengan sikap Justin yang setiap harinya berbeda. “Dimakan. Gue pesanin buat temen lo ini sama gue, oke, Putri?” Mendengar pertanyaan dari Justin, Alicia langsung mengangguk cepat. Daripada Jessica kelaparan, ‘kan? Beberapa menit kemudian Justin datang dengan nampan berisi dua piring makanan dan dua buah gelas es teh manis. “Nih, buat kita berdua,” ujar Justin memberikan sepiring lontong sayur kepada Jessica dan juga segelas es teh. “Asem, giliran Alicia lo kasih nasi padang, pas gue? Lontong sayur!” seru Jessica heboh menatap Justin yang telah memakan nasi gorengnya dengan tenang. Dari sisi lain kantin masuklah Renan dan juga teman-temannya. Laki-laki itu berjalan membelah kerumunan dengan bersusah payah hanya demi membeli sepiring nasi untuk mengisi perut. “Lo mau beli apa?” tanya Max, laki-laki bertubuh tinggi dan putih dengan rambut pirang alami. “Samain aja daripada lama,” jawab laki-laki hitam manis bernama Sam. Renan tersenyum mengangguk setuju, sedangkan satu temannya lagi berwajah tidak terima. “Gue gak mau sama. Minumnya gue es jeruk!” “Yud, kalau minum beda kagak apa, tapi kalau makan sama aja, ya?” “Aduh, Max, iya-iya!” Max tersenyum singkat menatap mereka bergantian. “Cari meja selagi gue pesen.” Setelah itu, Max menghilang diikuti Sam yang pastinya akan membantu Max membawa nampan. Renan dan Yudha langsung berbalik mencari meja tersepi yang dapat menampung mereka berempat. Yudha dan Renan melangkah dengan sedikit berdesakan demi mencari sebuah meja, tapi sialnya Yudha terpaksa berhenti demi menatap sesosok gadis yang sedang tertawa riang bersama kedua temannya. “Eh, Yud, ayo!” Ajakan Renan tidak mendapat respons dari Yudha. Renan mendengus dan ikut menatap fokus Yudha yang benar-benar berhasil membuatnya mendidih seketika. Di sana Alicia-nya tertawa dengan Jessica dan Justin. Ah, tawa lepas itu membuatnya geram karena ekspresi Justin yang tidak bisa biasa saja menatap gadisnya. “Nan!” teriakan Yudha dia abaikan dan terus berjalan mendekati Alicia yang sedang duduk bersama Jessica dan Justin. Dengan terpaksa Yudha pun harus mengikuti Renan karena dia tahu apa yang akan terjadi jika Renan sampai di sana. Brak. Suara meja dipukul mengalihkan perhatian semua orang yang ada di kantin sekolah. Mereka semua langsung menatap meja pojok yang sedang di tempati Alicia dan yang lainnya karena dari sanalah asal keributan itu. “Ikut aku!” perintah Renan yang tidak mampu ditolak oleh siapa pun. Tangan laki-laki itu telah menarik paksa pergelangan tangan Alicia dan membuat gadis itu berdiri. “Tapi Ren-” “Gak usah kebanyakan tapi! Ikut aku atau di sini?” Akhirnya, Alicia mengalah dan berdiri mengikuti Renan yang berjalan dengan begitu cepat. Dia tidak memikirkan Alicia yang berjalan terseok mengimbangi langkahnya. Padahal baru tadi pagi mereka tertawa bersama dan baik-baik saja, tapi kenapa Renan bisa terlihat semarah ini? “Ngapain dekat-dekat sama Justin?” tanya Renan saat mereka baru saja tiba di taman belakang sekolah. Laki-laki itu bertanya tanpa berbalik menghadap Alicia meski tangan mereka masih saling bertautan. “Tatap aku, Ren,” pinta Alicia lembut kepada Renan. Dia tidak ingin masalah ini berlarut hanya karena kesalahpahaman. Ya, ini bukan sekali dua kali mereka berdebat dan saling marah hanya karena kata cemburu. Empat tahun dengan Renan membuatnya begitu hapal dengan pacarnya ini. Akhirnya, Renan menatap Alicia, meski dengan wajah datar dan raut wajah tidak enak. Namun, itu tetap membuat Alicia tersenyum simpul. “Aku cuma duduk, ada Jessica juga kok.” “Terus ketawa-ketawa gitu biar apa? Justin gak bisa biasa aja lihat kamunya!” Alicia lagi-lagi tersenyum meski nada Renan meninggi saat berbicara dengannya. Dia harus tenang dan menjadi air saat Renan sedang menjadi api seperti sekarang. “Masa, sih? Tapi dia, ‘kan, sahabat ak-” “Sahabat antara cewek sama cowok itu gak mungkin murni!” potong Renan cepat dengan wajah semakin mengeras. Alicia kembali menghembuskan napasnya pelan. Gadis itu mencoba tersenyum dan meraih bahu Renan, tapi lagi-lagi dia harus sabar karena Renan menghempaskan tangannya dengan kasar. “Gak usah sentuh-sentuh aku! Kamu sama Justin aja, gih!” “Ren,” panggil Alicia lembut dengan senyum lebar mencoba baik-baik saja. “Aku sayang kamu, Justin cuma sahabat, gak lebih.” Renan memicingkan mata menatap Alicia. Laki-laki itu maju mendekat membuat Alicia harus mundur untuk menjauh. Renan yang penuh amarah adalah Renan yang berbeda dari biasanya. “Kamu ngomong apa?” tanya Renan dingin. “Aku sama dia cuma sahabatan.” Renan tersenyum, senyum dingin yang membuat siapa pun yang melihat akan takut dan segera menjauh. “Jauhi Justin atau kamu yang jauh dari aku?” tanya Renan kepada Alicia yang kini berwajah cemas. Dia tidak suka situasi seperti sekarang. Memilih? Dia tidak mungkin memilih karena keduanya punya arti berbeda dalam hidup Alicia. Justin adalah sahabatnya, sahabat yang paling baik yang dia punya. Bahkan Justin adalah sahabat Alicia sejak enam tahun lalu. “Ren....” “Apa? Gak bisa memilih, gitu?” Alicia harus menunduk dalam memastikan hatinya baik-baik saja. Ini bukan pertama kalinya Renan seperti ini, jadi, dia harus kuat bukan? Dengan menggigit bibir bawahnya pelan, Alicia mendongak menatap Renan. Wajahnya yang manis kini menjadi sendu dengan mata berkaca, karena ... kali ini tidak mungkin dia tidak memilih di antara mereka. Jelas, Renan pasti akan marah jika dia tidak mengambil keputusan. “Iya, aku bakalan jaga jarak sama Justin.” Renan mendengus menatap Alicia yang kini telah meneteskan air matanya. Meski hari itu setuju akan menjauhi Justin, Renan tetap saja merasa tidak suka. Dia tidak suka Alicia menangis, dia benci saat Alicia menangis karena dirinya, rasanya dia seperti ingin memaki dirinya sendiri karena telah membuat gadisnya meneteskan air mata. “Berhenti nangis, Alic,” gumam Renan sambil menatap pipi Alicia yang justru semakin basah. “Alic, berhenti menangis,” pinta Renan sedikit lebih keras. Namun, air mata Alicia tetap menetes dengan mulut yang juga bungkam. Hal itu jelas membuat Renan marah dan juga kesal. “Gue bilang berhenti nangis!” Sang gadis justru menggeleng dengan aliran air yang semakin menetes deras. Alicia tidak bisa berhenti jika seperti ini, Renan berlaku lembut saja Alicia menangis. Apalagi, kalau Renan membentaknya, air mata itu jelas semakin deras menetes. “Berhenti, Alic!” tekan Renan berjalan mendekati sang kekasih yang telah sesegukan. Sekali Renan melangkah maju, sekali pula Alicia melangkah mundur, hingga akhirnya Alicia harus terpeleset karena menginjak batu licin. Bugh. “Alicia!” Bruk. Alicia jatuh dengan badan setengah tidur. Posisi badannya menyamping ke kanan dengan telapak tangan yang digunakan untuk menyangga tubuh kecilnya. Namun, bertopang pada satu tangan adalah hal yang paling tidak mungkin. Nyatanya, gadis itu kini telah terbaring dengan siku kanan sedikit mengeluarkan darah. Renan cukup terkejut melihat Alicia yang hanya meringis ngilu. Laki-laki itu segera tersadar dan membantu Alicia berdiri. “Sakit, ya?” Renan meringis merasa bersalah. Ini pasti karena dia yang membentak Alicia. Memangnya dia tampak menakutkan, ya? Alicia tersenyum kecil disela-sela dia meringis sakit. Entah kenapa, wajah khawatir milik Renan berhasil menetralisir rasa takutnya kepada laki-laki itu. “Gak papa kok, Ren,” jawab Alicia dengan senyum lembut. ©©©
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD