Map Biru

1007 Words
Mungkin, ucapan pedas dari Dewi tak akan pernah berhenti jika Mala terus membalas nya. Oleh karena itu, Mala hanya bisa menunduk, menunggu wanita itu selesai mengoceh dan berusaha memberikan perisai dalam hatinya agar tak merasakan sakit saat mendengar ucapan dari wanita itu. "Lakukan pekerjaan mu, kamu memang benar-benar seperti pembantu." Dewi beranjak dari tempatnya. Dia bersandar di tembok dan melihat kegiatan yang tengah dilakukan oleh Mala. Tatapannya yang menyorot itu, telah berhasil membuat Mala bertambah gelisah. Entah mengapa, dia merasa sangat takut sekali jika terus memikirkan Dewi. 'Wanita itu adalah ancaman.' "Selesaikan pekerjaan mu, aku ingin mengantarkan makanan untuk Bian," papar Dewi. Wanita itu melepaskan jaketnya, sehingga hanya tanktop hitam saja yang dikenakan pada bagian atas tubuhnya. Jaket itu diganti dengan cardigan putih dan memiliki motif bunga. Penampilannya kini, jauh lebih seksi dan cantik. Tanpa sadar, Mala melihat wanita itu dengan lekatnya sedari tadi. Memikirkan penampilan Dewi yang terbuka dan sangat bahaya untuk bertemu dengan suaminya Bagaimana jika Bian tergoda? Langsung saja wanita itu menggeleng-geleng dengan kuat, tak mungkin. "Apa yang kau lihat? Tubuhku memang lebih bagus daripada tubuhmu, ingatlah itu!" Dia pergi dari kamar nya. Membawa sebuah tas yang menggantung di bahunya, wanita itu berjalan dengan sangat elegan, bak seorang anggota istana saja. "Tubuhnya memang bagus, tetapi attitude nya nol." Mala berucap dengan kesalnya. Dia kembali melakukan pekerjaannya seraya berceloteh. Mala hanya bisa mengatakan mereka dari belakang saja. Mala tentu tak berani mengejek atau bahkan berucap dengan tak sopan kepada mereka, karena Mala takut. Namun, Mala juga manusia yang tak bisa menahan sabar. Mungkin, dengan mengumpat seperti ini, hatinya jauh terasa lebih tenang. "Dia hanya membanggakan tubunya saja dan terus mengejek tubuh ku." Napas Mala tersengal-sengal. Lelah juga dia mengumpat dan berbicara jelek seperti tadi, tetapi tak apa, yang terpenting saat ini adalah emosinya yang terasa lebih baik. Mala keluar dari kamarnya. Teleponnya berdering di dalam kantung celana dan dia langsung meraih teleponnya itu. Sebuah pesan masuk di sana. Pesan dari grup yang berisikan sahabat-sahabatnya. Mala tersenyum kecil saat dia membaca pembicaraan mereka yang baginya sangat menyenangkan sekali. Putri Malam ini ada sebuah acara penting di rumah ku, kalian datang, 'kan? Senyum Mala pudar begitu saja saat dia membaca pesan tersebut. Acara penting? Mala mendesah pelan, sangat tak mungkin dia mendatangi acara tersebut karena kesibukannya akhir-akhir ini, ditambah dengan adanya Sarah dan Dewi yang bisa saja mengecam dirinya. Terpaksa, Mala harus menolak ajakan itu. Tangannya bermain di atas keyboard ponselnya dan mengetikkan beberapa kalimat penolakan dengan beberapa alasan yang dibuatnya. Mala. Maaf, aku tak bisa. Putri. Kau memang selalu tak bisa. Kita sudah lama tak berjumpa dan aku ingin kita berkumpul. Bagaimana ini? Putri sudah memarahinya pesan seperti itu dan artinya Mala harus datang. Hanya satu jalan agar dia bisa pergi dan berkumpul, yaitu berbicara langsung dengan Bian, berharap kalau pria itu akan memberikannya izin. Mala. Aku akan meminta izin pada Bian. Mala langsung menutup ponselnya. "Apa yang kau lakukan?" Suara itu, sangat Mala kenali, suara Sarah yang begitu datar dan tegas. Mala berbalik, melihat ibunya dengan wajah yang menegang. "Aku hanya bermain ponsel saja," ucap Mala, memberikan alasannya. Sarah melirik ke tangan Mala yang sedang memegang ponsel dan dia mengangguk pelan. "Bodoh, jika kau ingin bermain ponsel jangan di sini." Sarah melangkah, dia menabrak bahu Mala dengan kuatnya, hingga Mala mengalani perpindahan. Mala menatap punggung Sarah dan dia pun berbalik, memasuki kamarnya dan menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang. Sungguh, dia sangat stress sekali memikirkan berbagai macam masalah yang tengah dialaminya saat ini. Sarah dan Dewi datang, membuat hidupnya tak akan pernah tenang di dalam rumah ini. Belum juga ajakan Putri yang harus diikuti olehnya. Mala harus datang ke perusahaan Bian. Namun, di sana ada Dewi. Mala hanya takut, kalau kedatangannya nanti akan membuat Dewi marah dan kesal, karena telah mengganggu waktu mereka. Mala mengambil ponselnya, melihat sebuah nama yang tertulis di sana, ada yang menelponnya saat ini dan pelakunya adalah Bian. Ada apa pria itu menelponnya? Sangat tak biasa sekali. Apalagi saat jam kerja seperti ini. Pasti ada sesuatu yang Bian butuhkan saat ini. Langsung saja Mala menjawab telepon tersebut, mendekatkan ponsel nya ke telinga dan mendengar suara serak dan berat dari seberang sana. "Ada apa?" tanya Mala. Wanita itu membangunkan tubuhnya, mengambil bantal sebagai pangkuannya. "Datang ke perusahaan ku saat ini dan bawa dokumen dengan map biru di atas meja." Sambungan telepon langsung terputus setelah Bian mengucapkan keinginannya. Mala berseru gembira, tanpa dirinya perlu berpikir tentang alasan yang harus untuk datang ke perushaan Bian, pria itu sudah lebih dulu menyuruhnya untuk datang. Tak peduli jika ada Dewi di tempat itu dan kemungkinan besar mereka dalam keadaan yang romantis, Mala berusaha untuk membiasakan diri akan hal itu. Dia menuju ke ruang kerja Bian dan mengambil dokumen yang dibutuhkan oleh Bian, berada di atas meja. "Oke, aku akan mengatakan yang sebenarnya kepada Bian," ucapnya dengan penuh semangat. *** Penampilan Mala sudah sangat rapih saat ini. Tangannya memegang dokumen tersebut. Dia turun menggunakan lift, hanya perlu menunggu beberapa detik saja, dia sudah ada di lantai satu. Di sana, Mala bertemu dengan Sarah. Mengapa wanita itu ada di mana-mana? Sungguh Mala mulai geram sendiri. "Mau ke mana?" tanya Sarah. Mala melangkah, dia berdiri tempat di depan Sarah, kedua tangannya saling bertautan dan mulai berkata, "Pergi ke perusahaan Bian?" "Untuk apa?" "Dia yang menyuruhku untuk datang." Sarah mengangguk mengerti. "Sudah pergi sana. Jangan mampir ke tempat lain, setelah selesai melakukan pekerjaan langsung pulang," tutur Sarah. "Seorang wanita yang sudah bersuami itu harus tetap di rumah," sambungnya. Mala hanya bisa mengangguk saja. Banyak sanggahan yang ingin diberikan olehnya untuk Sarah, 'bagaimana bisa wanita itu mengatakan kalau seorang wanita bersuami tetap di rumah sedangkan Sarah sendiri wanita bersuami yang pergi ke luar negeri?' Jika saja Mala melayangkan pertanyaan itu, dapat dipastikan kalau dirinya pasti menerima berbagai macam hinaan lagi. "Aku pergi," ucapnya. Mala bisa bernapas dengan lega. Harus berapa lama dia terjebak dalam rasa gundah ini? Mala tak akan kuat berada dalam satu atap yang sama dengan Sarah. Wanita paruh baya itu akan terus membatasi kegiatannya. "Semoga saja Ibu cepat-cepat pergi dari rumah."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD