Sarah dan Dewi

1012 Words
Mala membersihkan ruangan kamarnya. Dia menatap dengan kosong ranjang tidurnya dengan Bian. Semenjak mereka menikah, tak pernah sekalipun mereka tertidur di ranjang yang sama, pasti ada salah satu dari mereka yang mengalah untuk tidur di sofa. "Padahal cuman tidur biasa," ucap Mala dengan sebalnya. Dia masih sangat ingat bagaimana pegalnya tubuh setelah tidur di sofa. Memang Bian sangat suka menyiksa diri sendiri. Wanita itu melipat selimutnya. Dia mencium aroma wangi suaminya yang melekat di selimut itu. Tanpa sadar, sebuah senyum muncul di wajahnya. Entah mengapa, dia sangat suka dengan aktivitas yang sering dilakukannya saat ini. Setelah menyelesaikan pekerjaannya untuk merapihkan tempat tidurnya, Mala melihat ke arah jam. Sebentar lagi siang akan datang, apakah dia harus membuatkan makan siang untuk suaminya itu? Ingin sekali Mala membuat makan siang dan mengantar ke perusahaan suaminya. Namun, dia ingat bagaimana Bian yang akan menolak dan bisa saja mengusirnya jika dia datang ke tempat tersebut. Mala tersenyum miris. Daripada hatinya yang sakit, lebih baik tak perlu ke sana. Ponslenya berdering sejenak, Mala pun meraih ponselnya yang berada di atas meja. Mendapatkan pesan dari Bian adalah sebuah kesenangan tersendiri baginya. Bian. Bersihkan kamar Ibu! Huh, hampir saja Mala melupakan perintah dari suaminya itu. Untung saja Bian mengingatkannya, jika tidak, maka dapat dipastikan dimarahi oleh suaminya itu. Mala keluar dari kamarnya. Melihat seorang pelayan yang sedang mengepel lantai. "Siapkanlah makan siang, aku sedang ada urusan siang ini," tutur Mala. Dia pun kembali melakukan perjalanannya. Tangannya mengambil sebuah kunci yang ada di dalam kantung celananya. Kunci tersebut digunakan olehnya untuk membuka pintu kamar tamu. Kamar yang masih bersih meski tak pernah ditinggali. Dia hanya perlu mengganti spray. Wanita itu membuka tirai jendela dengan lebar-lebar. Membiarkan cahaya masuk agar kamar ini jauh lebih terang daripada sebelumnya. Mala kembali melanjutkan pekerjaannya, hanya dalam waktu 10 menit dia sudah selesai. Memastikan kalau kamar ini sudah layak pakai untuk mertuanya, dia melihat-lihat kamar mandi dan juga walk in closet, semuanya tampak bersih, mungkin nanti dia akan membantu memasukkan barang-barang mertuanya ke dalam lemari. Mala menengok ke arah jendela. Melihat kalau sebentar lagi akan datang sebuah mobil yang sangat dikenali olehnya. "Ibu sudah sampai?" Mala menjadi cemas sendiri. Dia menengok, melihat ke arah cermin dan emngecek penampilannya di hari ini. Sangat rapih sekali. Dia memutari tubuhnya dan tak ada keganjalan, Mala hanya tak ingin menerima kritik pedas dari mertuanya yang galak itu. Setelah semuanya rapih, dia keluar dari kamar tersebut. Berlari dengan cukup kencang, menuju ke lantai bawah dan bersiap-siap akan memberikan sambutan untuk mertuanya itu. Pintu utama tersebut dan Mala pun menerbitkan senyum nya, seolah dia sangat bahagia sekali saat ibu mertuanya itu datang ke sini. Namun, senyum itu luntur saat dia melihat seseorang yang berada di samping ibunya. Mala meneguk slaiva dengan kasarnya, apa ini? "Mala!" panggil mertuanya yang memiliki nama Sarah itu dengan kuatnya. Kaki Mala melangkah, menuju ke tempat wanita paruh baya itu dan mencium tangan. Dengan susah payah, dia kembali menerbitkan senyumnya. "Ada apa, Bu?'' Suaranya yang lembut itu bertutur dengan sangat sopan kepada Sarah. "Bawakan koper yang ibu bawa sama dengan Dewi juga." Mala mengalihkan pandangannya, melihat wanita seksi itu yang kini sedang melihat-lihat rumah ini. Mala pun mengangguk dia mengambil kedua koper itu. "Ingat, jangan sampai lecet dan kau harus menggunakan tangga, tak boleh menggunakan lift," ucap Sarah. Wanita paruh baya itu menarik tangan Dewi dengan lembutnya. Mereka saling berbincang bagaikan seorang teman. Mala menatap iri kepada Dewi dan memonyongkan bibirnya. "Sangat menyebalkan," gumam dia. Kedua koper yang harus dibawanya itu memikiki beban sangat besar sekali. Bagaimana bisa dirinya harus memakai tangga untuk membawa kedua benda berat ini? Memang mertuanya sangat jahat sekali. Dia mendorong dengan susah payah, saat menaiki tangga, terpaksa dia harus mengantarkan satu koper dulu biar lebih mudah. "Mala!" teriak Sarah. Suaranya yang cempreng itu memasuki telinga Mala, membuat wanita itu meringis pelan. Mala membawa kedua koper itu dan berlari dengan kencangnya. Untung saja dia sudah ada di lantai dua, jadinya dia bisa menghampiri keberadaan Sarah. Mereka berada di dalam ruangan kamar tamu. Mala memasuki ruangan itu dan melihat kedua wanita yang tampak sedang asik bersantai. "Siapkan kamar untuk Dewi juga. Kau pikir hanya ibu saja yang datang?" tanya Sarah dengan ketusnya. "Bian hanya mengatakan--" "Banyak alasan, cepat bersihkan sana!" Mala mengangkat kepalanya dan dia mengangguk. Terlebih dahulu, kedua koper yang dibawa oleh nya itu, ditaruh dekat mereka dan pergi dari tempat itu. Mala menutup pintu kamar. Tangannya terangkat untuk mengelus dadanya dengan sabar. Huh, jantungnya saat ini sudah berdebar dengan kencang. Dia sangat takut dengan Sarah, memiliki raut wajah yang galak setiap melihatnya. Seperti sangat membencinya. Kali ini, dia harus membersihkan kamar yang lain. Satu-satunya kamar yang tersisa di tamu di lantai dua berada di samping kamarnya sendiri. Jadi, tempat tidur Dewi ada di samping kamarnya? Mala mendesah pelan. Sungguh, dia merasa snagat stress sekali saat ini, memikirkan berbagai macam keburukan yang ada. "Semoga saja tak ada kejadian buruk," harapnya. *** Dengan telaten, Mala membersihkan kamar itu. Sama seperti kamar sebelumnya yang masih rapih dan tak berdebu, begitu juga dengan kamar ini yang tampak rapih. Hanya dengan mengganti spray, maka pekerjannya sudah selesai. Pintu kamar itu terbuka dengan lebarnya. Dewi masuk dengan membawa kopernya. Dengan sengaja, wanita itu duduk di atas ranjang yang masih belum terpasang spray nya. Lalu, bagaimana Mala melakukan pekerjaannya jika wanita di depannya ini menghalanginya? Sungguh menyebalkan sekali. "Dewi, aku ingin mengganti kainnya." "Aku hanya ingin duduk saja, apa masalah mu?" "Kau bisa duduk di sofa," ucap Mala, berusaha untuk sabar menghadapi sikap Dewi yang begitu labil. "Aku ingin duduk di sini." "Tapi, 'kan aku mau---" "Mengapa kau begitu cerewet? Pantas saja Bian tak betah di samping mu." Dewi berucap dengan nada tingginya. Sedetik kemudian dia menyeringai dan melihat penampilan Mala dengan pandangan yang jijik kepada wanita itu. "Kau juga berpenampilan dengan sangat aneh, seperti wanita kuno saja. Kau lebih cocok menjadi seorang pembantu," ucap Dewi dengan mulut pedasnya. Ucapan itu tentu saja menusuk relung hati Maka. Hanya bisa diam dan tak melawan, Mala tak memiliki banyak kekuasaan yang bisa membuatnya bisa membantah ucapan Dewi. "Aku pastikan, kalau suami mu pasti sangat mencintai ku."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD