OwG 2

1323 Words
Ayah Cecille, Hartono Tanudjaja, adalah menantu dari Liemanto. Sebelum jadi menantu, Hartono ini salah satu karyawan terbaik dan paling berdedikasi di Saliem grup. Setelah menjadi menantunya, Liemanto melibatkan Hartono untuk membantu mengelola perusahaan. Karena Liemanto semakin tua dan sakit-sakitan, untuk sementara ini, Hartonolah yang bertanggung  jawab atas keluarga Liemanto sampai Cecille siap menggantikan posisinya  sesuai kesepakatan sebelum dia menikah dulu Karena Clara adalah satu-satunya anak kandung mereka, kakek Liem minta supaya cucu pertamanya diberi nama keluarga Liemanto disertai harapan cucu pertamanya berjenis kelamin laki-laki supaya bisa meneruskan nama keluarga. Ketika ternyata yang lahir perempuan, itu tidak megurangi perasaan cintanya kepada cucunya. Kado untuk Cecille setelah meniup lilin ulang tahun pertama dari kakek dan neneknya adalah, dua persen saham Saliem grup. Kemudian Clara hamil lagi, seorang anak laki-laki. Hartono member nama anak keduanya Joseph Tanudjaja sesuai dengan nama keluarganya. Sejak Cecille tinggal dengan kakek neneknya, sampai neneknya meninggal. Saat itu umurnya baru sepuluh tahun. Ketika dia kembali ke rumah keluarganya, di sana sudah ada Joseph, dan Anye yang baru berumur sembilan tahun. Anak kecil kurus itu baru enam bulan tinggal di sana. Tante Cecille dari pihak ayahnya adalah ibun tunggal, suaminya pergi entah kemana. Anye tidak kenal ayahnya sejak kecil, kemudian ibunya meninggal. Satu-satunya kerabat yang dikenal Anye cuma pamannya, Hartono. Hidupnya yang menyedihkan membuat Clara menangis simpati, kemudian dia memperlakukan Anye lebih baik daripada putri kandungnya. Cecille ingat ibunya sering bilang begini kalau dia kesal karena cemburu. “Ce, Anye tuh sudah nggak punya orangtua. Kalau bukan mami, papi, kamu sama Jo, siapa yang mau sayang sama dia? Kamu masih punya keluarga lengkap, jadi stop cemburu sama Anye.” Cecille bosan mendengar kata-kata ini, jadi dia lebih suka pergi ke rumah kakeknya daripada tinggal di rumah orangtuanya sendiri. Clara mengakhiri panggilan teleponnya, menatap putrinya dan berkata tanpa daya,”Jo mau nyari Anye dulu, mungkin dia dateng agak telat. Tapi dia usahain sampai sini sebelum jam tujuh. Yaah, semoga saja Anye ketemu dan jalanan nggak macet jadi pemberkatan tetap bisa berjalan lancar.” “Mi, si Jo sama Anye mau datang, kek! nggak kek. Itu nggak pengaruh buatku, nggak mungkin kan aku batal nikah cuma karena mereka berdua nggak datang?!” Kelopak mata Clara mengerjap. Dia memiliki ilusi bahwa sikap Cecille kepada keluarganya cukup dingin, tetapi dengan segera dia mengabaikan hal itu. “Kamu ini kenapa sih? Mami ngomong baik-baik jawabnya malah begini?’ Clara mau marah lagi, tetapi kemudian dia menarik napas dalam-dalam sebelum kembali berkata, “Kamu lihat gimana sikap Anye ke mami? Coba  kamu patuh kayak dia, dan sedikiiiit saja perhatian ke papi sama mami kayak Anye. Mami pasti merasa lega.” Cecille mencibir, “Ya udah tinggal tukaran anak aja apa susahnya sih? Toh mami juga lebih mentingin keselamatan dia daripada aku kan?” Clara terdiam ketika putrinya berkata seeperti itu. Untuk sementara pikirannya kosong. Ketika dia tersadar, Cecille sudah menjauh lima langkah dari tempatnya. “Ce!” Clara memanggil, saat Cecille berhenti dia mempercepat langkahnya untuk menghampiri. “Ce, sudah lewat lima tahun setelah kejadian itu, tapi kamu…” Cecille menarik napas dalam-dalam dan berkata, “ Yaah, memang sudah lewat lima tahun, tapi aku nggak akan pernah lupa!.” Clara terdiam lama, bingung bagaimana harus menanggapi. Di tengah-tengah kecanggungan yang aneh antara ibu dan anak, tiba-tiba ponsel dalam genggamannya berbunyi. Cecille melihat nama di layar, lalu berkata ke ibunya setelah membaca pesan. “Unge sebentar lagi udah di dekat sini. Mami balik aja ke kamar, aku mau ke tempat spa dulu sama dia.” Tidak menunggu ibunya menjawab, Cecille menginjak sepatu hak tingginya lalu pergi. Baru dua kali melangkah, Clara kembali memanggil. “Ce. Lima tahun yang lalu, kami melakukan hal itu secara spontan. Mungkin… mungkin karena kami lebih terbiasa sama Anye daripada sama kamu.” “Aku tahu.” Sahut Cecille, lalu pergi tanpa menoleh ke belakang.  *** "Ce, nih ku beliin hadiah buat ntar malem."  Ketika menanggalkan gaun yang ia pakai, Unge  mengambil barang dari tas yang ia bawa, melemparnya dengan semena-mena ke tempat tidur sebelah. Berbaring tengkurap dengan handuk kecil menutupi sebagian pinggul dan pantatnya, Cecille menikmati perawatan kecantikan kelas satu. Kata-kata Clara yang sempat menganggu pikirannya, sudah ia buang jauh-jauh.  Hari ini seharusnyan dia bahagia, jadi buat mikir hal-hal yang nggak penting.  Jari-jari terampil terapis menggosok punggung putihnya yang telanjang dengan campuran lulur dan minyak esential. Aroma lembut dari lilin aromatherapy dan pijatan yang nyaman membuat pikirannya santai. Mata wanita muda itu sudah setengah terpejam, ketika tiba-tiba satu paket yang dilapisi bubble wrap mendarat di dahinya yang sudah ditempeli masker serbuk emas, yang konon katanya, bisa bikin kulit wajah lebih berkilau. Cindy memberinya senyum misterius saat temannya bertanya "apan, nih?" "Buka aja dulu." Cecille berguling kesamping, memberi isyarat ke terapis supaya memberikan handuk untuk menutupi tubuhnya yang telanjang. Menerima gunting, dia duduk bersila dengan paket seukuran satu bungkus mie instan di tangannya. "Padahal jauh-jauh hari aku udah ngomong lho, enggak usah ngasih kado, kamu masih aja ngeyel!" Saat merobek lakban dan plastik pelindung, Cecille setengah mengeluh kepada Unge, "padahal 'kan transfer lebih gampang, enggak sampai lima menit, daripada buka-buka kayak gini. Ribet!" Bibir Unge meringkuk mendengar ini dan menatap sahabatnya dengan alis rendah, "itu 'kan paket, Ce, bukan kado. Emang sengaja beliin buat persiapan." Melihat isi paket di tangannya, Cecille tercengang, "s***p!!! unge, buat apaan beli ini?!!!" Unge menaik-naikkan alisnya, ketawa m***m, "ya buat pengaman lah, dipakai, ya?" "Pakai nenekmu!" Omel Cecille, bibirnya mengerucut sebal. Dia meremas sampah bekas bungkusan, menjadikannya satu dengan kado dari Unge, tangannya sudah melayang ke udara. "Hei, jangan dibuang! Susah tuh belinya, limited edition." Cecille mengabaikan teriakan Cindy, melempar barang memalukan itu ke tempat sampah, "bodo!!" Karena lemparannya kurang kuat, isi dalam kotak itu semuanya berhamburan keluar. Itu ... k****m dengan varian rasa terbaru. Spicy Cimol, kopi s**u, dan Mie goreng. Terapis kecantikan yang berdiri disampingnya sama-sama mengarahkan mata mereka ke kotak itu. "Kak Unge  nih, pengantin baru kan masih dalam tahap meraba-raba ukuran, masa dikasih yang pedes kalau sosisnya kegedean terus keselek gimana? Kasihan, 'kan." Gara-gara celetukan konyol barusan, gadis-gadis muda yang pikirannya tidak sepolos tampangnya menutup mulutnya, mereka semua ketawa. "Iya juga, ya." Unge menoleh, memandangi Cecille yang cemberut, "Aku beliin yang lain aja ya, Beb? Mau rasa apa, strawbery, jeruk, durian atau mangga?" Cecille duduk kembali dan meluruskan rambutnya, semburat merah melapisi telinganya, "enggak usah, enggak butuh! Kami mau langsung gas. Tunanganku punya target, empat anak dalam lima tahun." Empat anak dalam lima tahun? Mulut Unge yang terbuka cukup untuk sebutir telur masuk. Dia memiliki wajah pahit saat memutar bola matanya ke atas. Please deh! Itu ngajak berumah tangga atau buka pabrik anak? Sebenarnya dia mau bilang begini ke Cecille, jangan b**o, deh! Masa lulusan universitas Ivy League cuma berakhir menjadi mesin yang menghasilkan beban baru bagi dunia. Namun, saat melihat keseriusan di mata Cecille, dia hanya bisa menelan semua protesnya. Di dunia ini, cuma dua yang susah dikasih tahu. Orang ndablek sama Bucin. Nah, Cecille ini, sudah ndablek bucin juga. 'Dah, selesai! Berperan sebagai dayang yang mengiringi ratu sehari, Unge juga melakukan perawatan tubuh yang sama dengan Cecille. Mulai dari pijit, lulur, maskeran, manicure pedicure, supaya glowing sewaktu difoto. Sudah lewat jam makan siang saat terapis melakukan sentuhan terakhir pada Cecille. Gadis itu duduk dengan tangan kanan terulur, seorang ahli sedang memasang bunga dari kristal pada kukunya yang bening dan memiliki ujung putih. Satu tangannya yang lain memegang segelas air mineral dingin yang dicampur dengan potongan jeruk dan strawberry segar. Melihatnya santai, Unge yang memiliki sedikit keluhan yang menggantung di hatinya, bertanya dengan nada ringan. "Eh, Ce, tentang gosip Evan sama Anye, yakin tuh nggak apa-apa?"  Ekspresi Cecille sedikit murung, tapi mendung itu segera hilang ketika dia berkata, "Cuma gosip, ngapain dipikirin?" "Habis enggak ada klarifikasi apa-apa 'kan dari kedua pihak. Harusnya kan Evan ngomong apa kek biar reda, tapi ini diaam aja kayak arca yang nungguin pintu. Anye juga, tiap ditanya jawabannya ambigu."  Cecille meremas gelas yang berembun dengan bibir melengkungkan senyum penuh percaya diri. "Pernikahan kami, bukannya itu sudah cukup untuk klarifikasi?" 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD