Chapter 2

964 Words
Ding… Ding… Dinggg.. Bel istirahat bergema dipenjuru lingkungan sekolah. Murid – murid mulai berhamburan keluar dari ruang kelas yang bagi mereka terasa memuakkan, apalagi bagi para siswa tahun terakhir. “Baik anak – anak, kalian bisa mengerjakan soal pada halaman 326 dibuku sebagai tugas yang harus kalian kumpulkan minggu depan. dan untuk Stephanie, bantu saya mengumpulkan lembar – lembar tugas temanmu lalu bawakan keruangan saya setelah ini. Sekian untuk hari ini dan sampai jumpa dipelajaran saya minggu depan.” dengan itu sosok pria berusia 40-an yang menjabat sebagai guru salah satu mata pelajaran disekolah itu mengundurkan diri, membuat para siswa kelas 3 sekolah menengah atas yang ada dikelas itu dapat menghela nafas lega. Pelajaran matematika memang yang terburuk menurut mereka. Dengan malas para siswa dikelas itu mengumpulkan selembaran kertas berisi tugas yang telah mereka kerjakan pada sosok siswa yang dianggap teladan dikelas itu, Stephanie. Gadis itu memiliki citra baik, pandai dibidang matematika, ramah, cukup cantik dan begitu kalem membuatnya disenangi para guru. Setelah selesai mengumpulkan lembaran tugas milik semua teman sekelasnya, gadis itu menghitung jumlah lembaran tugas kemudian keluar kelas untuk menuju ruangan tempat guru matematika-nya berada. Disepanjang jalan, gadis itu sesekali tersenyum dan menyapa para guru yang berpapasan dengannya seperti biasa, hingga sampailah ia tepat didepan ruangan yang menjadi tujuannya. Tokk.. tok… tokkk… “Masuk..” saut sebuah suara dari dalam ruangan tersebut, membuat Stephanie membuka pintu ruangan yang ada didepannya tersebut perlahan. Cklekk… Senyum yang sejak tadi ditampilkan gadis itu untuk menyapa para guru maupun penghuni sekolah lainnya itu seketika luntur, berubah menjadi sisi lain dari gadis itu yang terlihat. Matanya memicing sinis, bibirnya tak lagi tersenyum dan berubah datar membalas tatapan seseorang didepannya yang terlihat menatapnya dengan menggoda atau bisa disebut terlihat genit. “Sayang, kenapa lama sekali hm? Aku menungguimu disini kau tau?” ucap seseorang tersebut dengan senyum genitnya, beranjak dari duduknya untuk menghampiri Stephanie yang masih diam berdiri mematung didekat pintu. Pria itu berjalan makin mendekati Stephanie, lalu mengungkung gadis itu sembari mengunci pintu ruangannya. Tubuh cukup tambunnya menempel pada Stephanie, merabai dengan tak sopan, mengabaikan ekspresi gadis yang ada didepannya itu yang masih nampak begitu datar. “Kenapa hm? Masih marah padaku?” Stephanie hanya mendengus, gadis itu memicingkan matanya, namun sama sekali tak terganggu dengan tingkah sosok pria dihadapannya yang kian meraja lela merabai tubuhnya. Pria yang tak lain merupakan guru matematika yang mengajar dikelasnya tadi meraih dagu Stephanie, hampir mendaratkan sebuah ciuman dibibir gadis itu sebelum gadis itu akhirnya memilih untuk memalingkan wajahnya. “Ada apa? Kenapa menolak ciumanku?” tanya pria tua itu menuntut jawaban Stephanie, membuat Stephanie dengan kesal menghempaskan tangan yang meliliti tubuhnya. “Jangan menyentuhku jika kau tak bisa kendalikan istrimu itu!” maki Stephanie dengan wajah kesalnya, namun pria dihadapannya itu tak mau peduli akan kemarahannya. Pria itu justru kembali meraih dagu Stephanie dan merengkuh gadis itu kedalam tubuh tambunnya. “Sayang, kau tak perlu marah lagi padaku. Kemarin aku sudah memukulinya dan memberinya pelajaran karena membentakmu. Jalang itu pasti tak akan berani menemuimu lagi, jadi jangan marah padaku lagi okay?” bujuk pria itu yang membuat Stephanie meliriknya, nampaknya emosi gadis itu sedikit mereda. Tanpa kata, pria tua itu menubrukkan bibirnya pada bibir Stephanie dengan penuh nafsu. Saling berpagutan didalam ruangan  itu, mengabaikan bahwa hubungan keduanya jelas terlarang dan menyakiti pihak lain. Mereka sama sekali tak perduli, asalkan nafsu terpenuhi dan Stephanie yang menginginkan nilai terbaik dapat dicapainya dengan jalan ini. Cumbuan keduanya berlangsung cukup lama, hingga bel masuk berdentang. Terdengar diseluruh penjuru sekolah itu, hingga kedalam ruangan laknat tempat mereka berdua berada. “Aku harus masuk kelas.” Ucap Stephanie pada pria dihadapannya yang dibalas anggukan. “Ya, sepulang sekolah kau ikut denganku. Ada masalah yang harus kau selesaikan denganku.” Tanpa kata lagi Stephanie berbalik, membuka kunci pintu didepannya, lalu keluar dari ruangan. Gadis itu kembali tersenyum ramah tiap berpapasan dengan beberapa penghuni sekolah, mengabaikan fakta gelap terselubung yang baru saja dilakukannya. Gadis itu berjalan cepat melewati lorong yang cukup panjang untuk mencapai toilet terdekat, kembali tersenyum ketika secara tiba – tiba bertemu dengan dua orang siswi yang baru saja keluar dari toilet. Setelah melirik – lirik dan melihat situasi, gadis itu dapat menyimpulkan bahwa sekarang dirinya sendirian di toilet itu. Aman, batinnya. Tanpa membuang waktu, Stephanie membasuh wajahnya. Berusaha menghapus sisa – sisa cumbuan dari pria yang menjabat sebagai guru matematikanya tadi agar tak menimbulkan kecurigaan orang lain melihat keadaannya. Setelah selesai, gadis itu merapikan baju seragam serta roknya yang terlihat sedikit kusut. Gadis itu menatap pantulan dirinya sendiri dicermin, namun tiba – tiba semuanya menjadi gelap seketika. Lampu ditoilet itu mati. Begitupun dengan lampu lorong depan toilet. Stephanie mendecak kesal. “Sialan, kenapa mati lampu juga?!” makinya kesal. Gadis itu membasuh tangannya untuk terakhir kalinya, dan lampu ditoilet itu berkedip – kedip cepat, antara nyala dan mati. Stephanie melirik – lirik sekitarnya gelisah ketika dalam diam ia dapat mendengar sebuah suara deritan besi. Terdengar seperti sebuah besi yang diseret diatas lantai, lirih namun memekakkan telinga. “S-siapa?!” seru Stephanie tak jelas, gadis itu berputar kelain arah untuk memastikan siapa orang yang  sekilas terlihat berdiri dikegelapan. Namun hal mengerikan justru terjadi padanya. “Arghhh!!!” jerit gadis itu sebelum… Zrakkk! Sebuah pisau besar dan panjang seukuran lengan manusia dewasa menyerangnya. Tepat mengenai mulutnya yang terbuka lebar karena berteriak. Gadis itu memelototkan matanya sebelum akhirnya ambruk begitu saja, kehilangan nyawa dalam sekian detik. “Mulutmu begitu rendah, seperti sampah.” Lampu toilet serta lorong itu kembali nyala tepat setelah sosok dalam kegelapan tadi pergi. Menyisakan seonggok mayat dengan keadaan mati mengenaskan. Pisau besar tadi ditinggalkan menancap memasuki rongga mulut gadis itu. Darah bercucuran dimana – mana. Anyir, menyerbak dengan begitu cepat. “Aaaa!!!” teriak 3 orang gadis yang akan memasuki toilet itu melihat mayat yang tergeletak disana. Salah satu dari siswi itu berlari untuk melapor tentang apa yang baru saja mereka lihat ditoilet, hingga tak lama kemudian toilet itu dikerumuni banyak manusia. Baik murid maupun para guru. Seseorang pria disana diam – diam bergetar. Matanya berpendar ketakutan. Tangannya berubah menjadi dingin. Benar – benar terkejut melihat keadaan mengenaskan gadis yang beberapa menit lalu baru selesai ia cumbui “Kau yang selanjutnya.” To be continued~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD