★ Dera - 02 ☆

1137 Words
Delon mengendarai motornya dengan kecepatan sedang. setelah pulang dari makam, Delon bergegas mandi untuk segera menemui ketiga sahabatnya yang ada di Apartemen Raksa. Dan. untuk permintaan Xenon, Delon sudah membelikan batagor sesuai pesanan. bukan hanya Xenon, Raksa dan Amino juga dia belikan. Handphone yang dia letakkan pada saku motor bergetar tanda panggilan masuk. ya, hari ini Delon mengunjungi Apartemen Raksa menggunakan Scoopy merah yang dia dapat dari Angger karena berhasil menjadi juara lima waktu kelas 3 SMP. Delon mengabaikan panggilan masuk dari Xenon, jarak dari Apartemen Raksa sudah dekat dari jarak dia sekarang. tidak sampai sepuluh menit, Delon sudah tiba di Apartemen Raksa. setelah memarkirkan motornya pada private parkir. Delon masuk kedalam lift, menekan nomor 5 untuk sampai pada Apartemen Raksa yang ada di lantai lima. Ting! Delon keluar dari lift dengan bersenandung kecil, tangannya dengan gesit memasukkan password untuk masuk kedalam. Puk! "Setan!" Delon melotot begitu pintu terbuka. bukannya disambut dengan red karpet ala-ala model, ini malah terkena lemparan bantal sofa oleh Raksa. "Lama amat lo, mandi kembang tujuh rupa dulu?" desis Amino jengkel. "Pesenan gue mana?" Delon mendelik, namun tak ayal tangannya melempar kresek hitam kehadapan Xenon. "Tadi aja ngebacot, giliran dikasih makanan langsung kicep." sindir Delon. namun, Amino dan Raksa yang disindir hanya cuek. Raksa menyengir lebar setelah menghabiskan sebungkus batagor. "Besok ada sunmori, ikut nggak lo?" Delon yang sibuk mabar langsung menoleh. "Ikut, jam berapa?" "Jam kek biasa, nginep sini deh lo. biar gampang, nggak ngaret kek minggu lalu." Delon mengacungkan jempolnya kehadapan Raksa, tanda mengiyakan. "Dua minggu lagi pendaftaran dibuka, jadi masuk mana, De?" tanya Xenon dengan tangan yang sibuk membuka minuman kaleng. Delon langsung mematikan ponsel, tatapannya mengarah pada Xenon yang bertanya. bukan hanya Delon. Amino dan Raksa juga menatap kearah Xenon. "Stikes Yarsi." Stikes Yarsi merupakan sekolah menengah kesehatan yang diperuntukkan untuk siswa maupun siswi yang berminat dibidang kesehatan. mempelajari ilmu-ilmu dasar kedokteran sebelum masuk universitas. Jawaban Delon membuat Xenon melempar kaleng minuman kearah Amino. "Anjir, Xe!" Xenon mengabaikan u*****n Amino. kakinya melangkah untuk duduk di samping Delon. "Serius?" tanya Raksa yang duduk di depan Delon. Delon mengangguk mantap. "Lanjutin cita-cita abang gue, kalian kira gue rajin belajar karena ingin?" "No, gue belajar biar bisa masuk Yarsi. bang Angger punya cita-cita jadi dokter biar bisa bantu orang yang nggak mampu buat ke rumah sakit, gue pengen terusin cita-cita b-bang Angger." Delon menghapus air mata yang mulai menetes. Xenon menepuk pundak Delon memberi semangat. "Kita dukung apapun keputusan lo. pertanyaan gue, lo bisa masuk nggak ke Yarsi?" Delon mendesah berat. "Gue nggak yakin sih, tapi gue coba dulu." "Mantep bro, gue nggak sendiri." ucapan Amino membuat mereka menoleh kearahnya. Amino yang ditatap mulai bersuara. "Papi pengen gue jadi dokter," kata Amino. jika dibandingkan dengan kepintaran Delon, memang Amino jauh lebih pintar. namun karena malas, Delon bisa mengejar kepintaran Amino. "a***y, dua sahabat gue masuk sekolah elit." tutur Raksa. "Gue juga masuk Yarsi, lo juga 'kan, Sa?" Perkataan Xenon sukses membuat Delon yang terpejam langsung duduk dengan memandang Xenon kaget. "Kok?" "Makanannya enak-enak." "Gabut doang sih." Dua bantal sofa melayang tepat pada wajah Raksa dan Xenon. Amino maupun Delon langsung masuk kedalam kamar, enggan berkomentar banyak. lebih baik menenangkan diri di alam mimpi. *** Kara terbangun begitu merasakan sesuatu melilit tubuhnya, dengan perlahan kelopak matanya terbuka. selalu begini setiap hari, jika bukan salah satu dari abangnya siapa lagi? tangan Argon melilit perutnya yang tertutup piyama tidur. "Sudah bangun?" Argon langsung duduk begitu merasakan pergerakan dari Kara, kepekaannya terhadap gerakan kecil membuatnya selalu siaga. Kara mengangguk, dia bangkit dari kasur untuk mencuci muka serta menggosok gigi. hari sudah malam, Daddy dan ketiga abangnya tidak berada di mansion. hanya abang sulungnya saja yang ada di sini. Argon menyandar pada headboard. di tangannya ada ipad yang menyala, memperlihatkan beberapa potret pesawat serta pulau yang akan dia berikan kepada Kara besok. "Duduk!" Panggil Argon begitu melihat Kara keluar dari kamar mandi. Kara menurut. kakinya melangkah ke arah kasur, mengambil tempat di sebelah Argon. "Lihat, semua ini akan menjadi milikmu." Kara mendesah berat, selalu seperti ini. dia tidak menginginkan semua itu. "Aku tidak mau," kata Kara menolak. mungkin sudah saatnya dia mengutarakan keinginannya selama lima belas tahun ini. Argon mengernyit. "Lalu, apa yang kau inginkan? abang akan penuhi." Kara mengigit bibir bawahnya, mencoba memberanikan diri. "Aku mau sekolah di luar, seperti anak seusiaku. aku ingin mempunyai teman." Prang! Kara berjengkit kaget begitu mendengar suara ipad yang dilempar dengan keras oleh Argon. Kara menelan ludah gugup, air matanya merembes dengan deras. dia sudah membayangkan bagaimana selanjutnya. "KATAKAN! KATAKAN APA YANG KAU INGINKAN?!" Argon berteriak dengan mencekram dagu Kara dengan keras. "KATAKAN KARA! KATAKAN!" "A-aku mau sekolah di luar," lirih Kara pelan. Bugh! Tanpa ampun Argon membogem wajah Kara, dia sangat tidak suka mendengar keinginan Kara. dia bisa membelikan seratus pulau sekaligus, namun untuk kebebasan, jangan harap. Kara menangis histeris, kakinya berlari pada pojok kamar untuk menghindari pukulan Argon. Tangan Argon terkepal kuat, emosinya sudah tidak bisa ditahan. dengan sekali tarikan Kara sudah bersimpuh di bawahnya. dengan gesit tangan Argon membuka sabuk yang dia pakai, dia harus memberi pelajaran untuk Kara kali ini. "BUKA!" Kara bergeming. tidak bergerak sedikitpun, masih dalam posisi bersimpuh Kara menangis histeris. "BUKA, KARA!!" Tanpa menunggu Kara, Argon mengambil alih dengan mengangkat piyama yang dipakai Kara hingga terbuka. memperlihatkan punggung mulus Kara. Ctas! "ARGHHHH!!" Ctas! Ctas! Ctas! "BANGUN!!" Teriak Argon ketika Kara tengkurap setelah mendapat empat kali cambukan. "BANGUN, KARA!!" Ctas! "ARGHHHHHHHHH HI-HIKS.. UDAH BANG UDAH, A-AMPUN HIKS.. AMPUN." Kara berteriak kesakitan. dia sudah tidak tahan. sungguh, ini terlalu menyakitkan. Ctas! Argon seakan tuli, mengabaikan teriakan kesakitan Kara. "KATAKAN APA YANG KAU INGINKAN KARA, KATAKAN!!" Kara menggeleng brutal. " HIKS.. AMPUN BANG AMPUN," Masih dengan posisi tengkurap. Kara memegang kedua kaki Argon, meminta ampun dengan menangis histeris. Tangan Argon yang mencekram dagu Kara langsung terlepas begitu mendengar deringan handphone, kakinya melangkah untuk mengangkat panggilan menjauh dari Kara yang masih tengkurap dengan tangisan yang masih terdengar. Sekuat tenaga Kara bangun dengan rasa sakit yang luar biasa, tatapannya menatap sendu kearah pintu yang terkunci dari luar. Argon keluar tanpa mengatakan sepatah katapun. kara tahu, abangnya itu pasti sangat kecewa, kecewa padanya yang mulai menginginkan kebebasan. "Da---daddy, maafin aku." Tekadnya sudah bulat, dia harus segera mengakhiri ini semua. Kara berlari kencang menabrak kaca pembatas hingga pecah. kamarnya yang berada di lantai tiga tidak memiliki balkon, melainkan kaca pembatas yang sangat besar. tubuhnya terjatuh dari lantai tiga, terlempar ke dasar kolam. namun, sebelum jatuh ke dasar kolam. kepalanya lebih dulu menghantam pembatas kolam hingga air kolam berubah menjadi warna merah pekat akibat darah yang merembes deras dari kepalanya. Meski terkulai, Kara masih bisa mendengar dan melihat dengan samar apa yang dia lakukan. raga dan jiwanya seolah terpisah. dia bahkan kebas saat tertusuk kaca pembatas yang dirinya tabrak barusan, dengan perlahan pandangannya menggelap. tepat saat kepalanya membentur lantai kolam dengan keras, Kara kehilangan kemampuannya untuk bertahan. Ya Tuhan... "KARA!!" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD