Debora tidak menyangka dia akan ditolak mentah-mentah oleh suaminya sendiri, Bram.
"Mas!" rayunya lagi. Andini terlihta sinis memandang Debora.
"Sudahlah, jangan terlalu berharap," bisiknya. Andini lantas menuju ke lapangan golf dengan peralatan yang sudah ia bawa. Tongkat golf dengan harga ratusan juta sudah ada di tangannya.
Berbeda dengan Debora. Dia hanya bisa menyewa, itu pun tongkat golf yang sudah seri lama dan tidak terlalu enak untuk bermain.
"Mas, ayo deketan sama aku," ucap Andini membuat Debora tidak mau kalah.
"Aku yang dekat sama Mas Bram!" kesal Debora.
Ada segelintir orang yang memperhatikan tingkah mereka, termasuk Bram, Andini, dan Debora.
"Jadi itu istri keduanya Pak Bram? Astaga, seleranya buruk sekali."
"Benar! Jauh berbeda dari istri pertama, Nyonya Andini."
Sementara itu, Debora yang sudah tidak tahan atas kemesraan dan sikap dingin Bram padanya, ia menggantikan posisi Andini yang berada di samping Bram.
"Minggir, biar aku saja yang di dekat Mas Bram!" bentak Debora yang menyita perhatian sekeliling orang yang bermain di lapangan.
Sementara itu, Bram menatap tajam ke arah Debora. "Apa yang kamu lakukan, malu... " bisiknya penuh penekanan.
"Mas, aku yang harus di dekat kamu. Bukan dia, si wanita kampungan."
Sedangkan Andini pun menyingkir, ia pura-pura mengalah demi mempermalukan Debora.
"Mas, gapapa kok. Aku nanti aja, aku emang cuma wanita kampuangan. Coba ajarin dong cara main golf yang benar seperti apa sih, Deb," tantang Andini.
Debora menelan salivanya susah. Ia seumur-umur belum pernah bermain golf.
"Mati gue, gimana dong?" batinnya dalam hati. Walaupun wajahnya sok tegar, padahal degub jantungnya sudah tidak karuan.
"Ayo main, coba deh aku pengen ngerti. Tapi hati hati ya, biasanya tongkat sewaan itu mudah rapuh, seperti niatmu," ucap Andini santai.
Lapangan tersebut dipenuhi oleh ketegangan atmosfer antara Andini dan Debora.
"Aku dulu ya," ucap Bram yang memulai memainkan golf itu. Bram menaruh atensi penuh kepada bola yang yang ada di depannya itu. Ia meredam keriuhan di sekitarnya.
Bram menunduk dengan memposisikan bola golf tersebut di atas tee. Lalu menggengam tongkat dengan mantap.
"Ayo Mas Bram!" seru Andini menyemangati. Sedangkan Debora menatap tajam.
"Diam!" tegur Debora sok banget.
Dengan gerakan yang pelan, Bram melaikan pratice swing dan pada ayunan ketiga.
PRAKKK!!!
Bola pun melesat tinggi ke udara hingga mengenai sasaran, di lapangan hijau. "Tepat sasaran!"
Bram tersenyum bangga, biasa dia akan sok narsistik menunjukkan dia memang bisa segalanya. Andini berpura-pura bertepuk tangan dan memujinya.
"Hebat Mas! Sekarang giliran kamu, Debora. Ayo cepat."
Debora pun melangkah lebih maju menghadap ke arah bola golf yang sudah disediakan. "Gue harus bisa," batinnya.
Andini tersenyum remeh, "Orang miskin murahan kok disuruh main golf, lihat saja dia nanti," batin Andini.
"Jeng Andini... " sapa teman sosialitanya
"Halo Jeng Liem. Sama suami?"
"Sendirian aja ini." Nyonya Liem memperhatikan cara Debora memegang tongkat dan caranya practice swing agak aneh.
"Oh dia ternyata? Masih kalah jauh sama Jeng Andini," ucap Nyonya Liem memandang jijik ke arah Debora.
"Ya begitulah... "
Beralih ke Debora yang meniru gaya tenang dari Bram barusan. "Pegangnya kebalik tuh!" ejek Andini seraya tertawa.
Bram pub memejamkan matanya. "Iya, kebalik. Jangan bikin malu deh kamu," bisiknya.
Debora tersenyum miris, "Iya Mas, tenang aja. Aku bisa kok."
Ia mulai mengayunkan tongkat golf untuk mengenai bolanya. Namun, ayunan demi ayunan tidak ada satu pun yang berhasil.
"Hahahah bisa gak?" ejek Andini, dibarengi suara gelak tawa dari orang sekitar yang masih mengenal keluarga Bram.
"Gimana sih kamu? Biar Andini saja," ujar Bram. Lantas Andini pun maju menyenggol Debora sekaligus menyingkirkan Debora yang tidak becus tersebut.
"Perhatikan wahai gundik murahan," ucap Andini yang mulai mempersiapkan diri untuk mengayun dan seperti apa yang Bram lakukan, ia telah memukul bola golf dengan tongkatnya.
PRAKKK!!!
"Tepat sasaran!" seru orang yang mengamatinya.
Andini pun tersenyum lebar. "Gitu caranya, gak pernah main ya? Tongkat aja masih sewa, duh kasihannya," ujar Andini membuat Debora kesal.
Debora membanting tongkat sewa itu lantas pergi. "Dasar gak punya adab," gumam Andini.
"Hebat banget kamu, Sayang. Jadi gak malu-maluin," puji suaminya, Bram.
Andini tersenyum manis. "Iya dong, aku adalah istri sah yang tidak pernah tertandingi oleh siapapun Mas."
**********
Setelah beberapa jam setelah golf...
Jam menunjukkan pukul 1 siang, Andini dan Bram baru saja pulang setelah ngobrol panjang lebar dengan rekan bisnis, membangun koneksi di tempat golf tersebut.
"Kamu dari mana aja sih Mas? Jam segini baru pulang," omel Debora dengan tangan yang sudah bersedekap d**a.
"Diam kamu, ayo Andini kita ke atas dulu. Aku capek banget," ajak Bram.
"Ayo Mas."
Andini pun menatap sekaligus meledek Debora yang tidak mendapatkan perhatian lebih dari suaminya.
"Rasain gundik murahan," batinnya.
Debora ditinggal begitu saja oleh keduanya. "Arghhh sial banget sih! Aku harus cari cara agar bisa menyita perhatian Mas Bram."
*********
Malam hari itu...
Special, Debora mengenakan pakaian yang terbuka, agak seksi berbeda dari biasanya. "Oke, sekarang giliran aku yang merayu Mas Bram!" ucapnya penuh tekad.
Debora melangkah ke ruang makan tersebut dengan anggunnya, meniru gaya Andini saat itu. Terlihat Andini dan Bram yang sudah ada di meja makan terlebih dahulu.
"Selamat malam Mas Bram... " ucap Debora dengan mendayu, ia meraba d**a suaminya dari belakang.
Andini melihat sinis ke Arab Debora. "Penampilannya seperti p*****r saja," batin Andini duduk tegap.
"Cantik sekali malam ini," ucap Bram. Ia memang paling tidak bisa melihat wanita cantik sedikit pun. Pasti tatapannya langsung goyah.
Padahal baru saja siang dia membenci Debora. Begitu Debora berpakaian seperti itu rasanya mata Bram seperti terkena hipnotis.
"Iya dong."
Debora menatap Andini seperti mengisyaratkan jika dialah pemenangnya. Andini justru santai, "Terimakasih Bi," ucap Andini yang berterimakasih pada maid yang menjadikan makan malam di meja makan itu.
"Heh! Andini, cepat bantu maid bawa makanan kesini!" perintah dari Debora. Andini pun mengangguk patuh. Bukan semata-mata karena patuh, tapi ia punya rencana.
Andini dengan elegannya berangjak tanpa terpancing emosi dan melangkahkan kakinya menuju dapur.
"Bi, biar saya saja yang bawa," ucap Andini yang mengambil alih sop ayam menggiurkan yang dipegang oleh maid bernama Bi Midah.
"Aduh jangan atuh Nyonya Besar," cegah Midah. Namun, Andini bersikeras untuk membawanya, "Gapapa santai saja. Saya yang mau kok."
Andini langsung membawa soup ayam itu ke meja makan melewati tempat duduk Debora yang lagi flirting pada Bram.
Hingga akhirnya...
Suuuurrrrr!!!!
Soup ayam itu berhasil tertumpah di paha Debora. Dan kondisinya begitu panas membara. "Arghhh panas!"
"Andini apa-apaan kamu!" bentak Bram.
Andini justru tersenyum tipis dan pura-pura kaget.
"Ups! Sengaja.... "