Debora tidak menyangka bahwa Andini benar-benar dibelikan supercar dengan harga yang cukup fantastis. Berbeda jauh dengan mobilnya yang tidak ada apa-apanya dibanding miliknya.
"Mampus!" batin Andini berseru riang. Ia pun melangkahkan kakinya dengan anggun dan elegan menuju teras mansion yang luas.
"Waww... " ucap Andini kagum dengan muka yang sumringah, menatap sekilas ke arah Debora yang menganga.
"Bagus sekali mobilnya, eh supercar McLaren W1 ini," ucap Andini.
Wajah gundik kurang ajar bernama Debora itu sudah merah padam. Ia makin mendekat tatkala Andini menyentuh supercar yang dihadiahkan Bram padanya.
"Bagaimana bisa wanita kampungan itu merayu Mas Bran?" gumam Debora menatap sengit.
Andini tersenyum, "Lihatlah, suamiku ini sangat pengertian," ujar Andini yang mulai menaiki supercar dengan warna frosted silver.
Tatkala Andini menaiki mobil tersebut, bajunya bergesekan dengan kulit kursi hitam karbon yang elegan dan pintu alhendralnya yang terbuka ke atas seperti sayap.
"Gimana Sayang?" tanya Bram dari arah dalam mansion itu.
Andini lantas keluar lagi dari mobil mewahnya itu dan bergelayut manja pada Bram. "Aduh suami yang tampan, terimakasih atas apa yang kamu berikan. Aku suka banget," ucap Andini seraya menatap ke arah Debora.
Bram mengukir senyum tipis, "Hmmm iya sayang, apapun asal kamu bahagia."
"Ya sudah, aku mau coba test drive dulu ya Mas?" izin Andini.
"Iya Sayang." Andini kembali mengendarai mobilnya dengan menggunakan kacamata hitamnya.
Sedangkan Debora sedari tadi bersedekap d**a seraya memberengutkan bibirnya.
"HEY GUNDIK! IKUT GAK?" seru Andini dengan nada yang meremahkan.
"Ayo, kamu gak punya mobil sebagus ini, kan?"
Debora hanya terdiam kesal hingga pada akhirnya Andini menyalakan mesin tersebut dan melajukan mobil mewahnya itu dengan arogan.
"Ya sudah kalau tidak mau, byeeee gundik miskin!" seru Andini yang mencoba test drive di sekitar mansion dan lingkungan sekitar saja.
Sementara itu, Bram ikut bahagia jika Andini bisa dibujuk kembali seperti sedia kala. Namun, di samping itu ada kekesalan yang mendalam di hati Debora.
"Kamu apa apaan sih Mas?! Kasih dia mobil!!"
"Dia minta cerai, Sayang. Aku harus kabulin dong."
"Ya udah kalau cerai, cerai aja. Kenapa sih!"
Bram menghela nafas panjang. "Dengarkan aku, jika saja aku resmi bercerai, artinya aku akan diusir dari mansion ini, Sayang. Tolong bersabarlah sebentar lagi," bujuk Bram dengan mencium punggung tangan Debora.
Debora melepaskannya dengan kasar. "POKOKNYA AKU MAU SEPERTI YANG ANDINI PUNYA! POKOKNYA HARUS MCLAREN JUGA SERI YANG SAMA! GAK MAU TAHU!"
Seketika itu, Bram pun mengerutkan dahinya heran. "Kok kamu kasar banget ke aku? Andini aja minta apa-apa pasti lembut."
Debora mulai terkekeh pelan, padahal hatinya mulai miris. "Oh sekarang mulai bandingin ya?"
"Ya iyalah."
Debora tidak terima dengan pernyataan Bram, suaminya kala itu. Ia pun menampar Bram dengan kasar.
Plakkk!!!
Bram menyentuh pipinya. "Kamu nampar aku? Sejak kapan sih kamu kasar, Sayang?"
"Ya sejak kamu berpihak pada Andini!" bentak Debora.
Bram merasa harga dirinya jatuh disaat Debora berlaku seolah dialah sang maskulin itu. "Dahlah, malas berdebat denganmu, dan satu lagi. Aku gak bakalan beliin kamu mobil yang sama dengan Andini."
Bram pergi ke dalam dengan kekesalan yang mendalam. "Mas Bram! Tunggu Mas!"
**********
Hingga beberapa menit kemudian...
McLaren M1 warna frosted silver kembali mendarat di teras mansion yang megah dan luas.
Andini turun dari mobil tersebut dengan senyuman penuh kemenangan. "Perlahan aku akan menghancurkan kalian berdua," batin Andini.
Lantas, Andini memilih untuk masuk ke dalamnya. "Suami saya mana Bi?" tanya Andini pada maid yang sedang bebersih.
"Oh ada di kamar, Nyonya. Sepertinya beliau marah besar dengan Mbak Debora."
"Oh iya, terimakasih ya."
Tatkala Andini hendak melangkah ke arah tangga melingkar, ia kembali dihadang oleh Debora.
"Gak usah sok menang!" teriak Debora begitu norak.
Andini tersenyum, "Sok menang? Memang menang, kan? Benar, kan?" tanya Andini.
"Jangan kamu pikir, jika Mas Bram membelikan kamu mobil artinya kamu menang. Itu cuma manipulasinya saja!"
Andini sudah tahu itu. Hanya saja ia terus meladeni kemarahan Debora.
"Oh manipulasi ya? Astaga, jahatnya... " ucap Andini sok sedih.
"Tapi kamu iri ya? Pengen mobil yang sama ya?" tanya Andini lagi.
Debora pun hendak menjambak rambut Andini, namun perbuatannya dicegah dengan cepat oleh Andini.
"Beraninya tangan kotormu menyentuh mahkotaku, gundik murahan?" tanya Andini dengan penuh penekanan. Sorot matanya menukik tajam ke arah Debora.
Sebelum melepaskan tangan tersenyum, Andini memperingati gundik itu.
"Jika kamu macam-macam kembali, aku tidak akan segan untuk menghancurkanmu," peringatnya.
Namun, Debora tersenyum menyeringai. "Silakan kalau kamu bisa, wanita kampungan bisa apa hah?" tanyanya justru menantang.
"Oh nantang?" Andini langsung memelintir tangannya hingga Debora menjerit kesakitan.
"Aawww bangst! b******n! Lepasin!" seru Debora. Namun, Andini enggan melepaskan.
"Mulutmu saja kotor seperti pemukiman kumuh!" tegas Andini yang makin memperparah pelintiran itu.
Sedangkan maid lain yang melihat hal tersebut, ikut greget. "Nah, hajar habis, hajar habis. Mantep Nyonya Andini, mantep," ujar Tari, Hanum, dan lainnya.
Sampai akhirnya Andini mendorong Debora hingga terjatuh. Tak lupa tangannya ditepuk untuk membersihkan bekasnya menyentuh Debora.
"Najis sekali," ucap Andini menaiki tangga dengan elegan.
"Aawwww sialan! Awas aja kamu, Andini!"
Andini tidak peduli, ia langsung menuju ke kamarnya menemui Bram. "Mas Bram," ucapnya dengan lemah lembut dengan nada sedikit mendayu.
"Ini kenapa pipi kamu, Mas? Kok merah?" tanya Andini yang pura-pura perhatian dengan menangkup wajah suaminya.
"Sayang, aku ditampar oleh Debora. Aku kesal dengannya. Dia kasar sekali, aku menyesal!"
Tiba-tiba saja Bram memeluk Andini layaknya anak memeluk ibunya. Andini seperti agak kegelian, jijik dengan tingkah suaminya.
"Idih najis banget!" serunya dalam hati.
Tapi, Andini tidak bodoh. Ia tidak impulsif. Ia justru mengelus lembut rambut suaminya.
"Aduh kasihannya suamiku."
"Sayang, ayo kita pergi golf saja. Aku butuh hiburan nih."
"Boleh Mas. Aku ganti dulu ya."
*********
Setelah 30 menit bersiap-siap. Tibalah Andini dan Bram yang sudah siap berangkat mengenakan pakaian sebagai mana semestinya olahraga golf itu.
"Mas! Mau kemana? Ngapain ngajak dia!" kesal Debora yang kembali panas.
"Main golf. Kenapa? Pusing aku lihat kamu, Debora. Sudah, jangan banyak tanya, aku mau hiburan sama Andini."
"Gak bisa gitu! Aku ikut! Bentar aja! Aku ikut!" seru Debora.
Andini menatap remeh ke arah Debora. "Yang gak diajak gak usah sok deh. Ayo Mas, kita berangkat!" Dengan bodohhya, Bram masuk dalam perangkap Andini. Ia pun menuruti apa kata Andini kali ini.
"Ayo Sayang."
"Mas Bram!!!" seru Debora yang melihat suaminya bersama dengan Andini menaiki mobil mewah barunya.
"MAS!!! AKU SUSULIN KAMU!" seru Debora.
**********
Di dalam kamar, Debora langsung bergegas untuk berganti baju. "Ya ampun aku gak punya pakaian golf selain ini. Gapapa deh, yang penting aku harus ikutin mereka!" seru Debora yang nekad.
Sampai akhirnya ia mengikuti Andini dan Bram hingga ke lokasi permainan golf itu.
"Mas Bram! Tunggu!" seru Debora dengan pakaian yang lumayan kuno menurut Andini dan Bram.
Debora sok bergelayut manja di lengan Bram layaknya melakukan gerakan yang persis dengan apa yang Andini lakukan.
Sementara itu, Andini yang tengah bersiap mempersiapkan alatnya pun hanya memandang dengan tatapan yang jijik.
"Pakaian edisi tahun berapa? Jelek sekali," ejek Andini. Debora pun tidak menggubris dan tetap menggatal pada Bram.
"Lepaskan aku, Debora! Jangan sok manja deh. Lihatlah penampilanmu, sungguh kuno. Jelek, aku begitu malu, punya istri sepertimu," ucap menohok dari Bram.
*******
Mampus!!