Debora tidak menyangka, justru Bram memilih mengejar Andini, yang notabene adalah kakak iparnya yang berubah status.
"Mas Bram! Anj!" umpat Debora menedang kursi yang ada di dekatnya. Sementara maid lain yang memandangi Debora hanya bisa berbisik. "Ngapain kalian hah?! Bubar!" bentak Debora dengan kasar.
Maid lain pun bubar, termasuk kepala maid tersebut. "Eh Bi Hanum, ya ampun kok mau sih Tuan Bram sama Mbak Debora, cantikan Nyonya Andini kemana-mana," bisik Tari yang ikut bubar bersama Bi Hanum.
"Iya tuh, mana galaknya kaya nenek lampir," timpal Sumi.
"Iya, jangan sampai deh gaji kita yang tangani Mbak Debora, bisa kacau. Salah sedikit langsung potong gaji separuh."
Sementara itu, Debora menatap foto pernikahan Andini dan Bram yang terpajang 24R di ruang keluarga.
"HEH!! KALIAN BERHENTI! BUANG FOTO PERNIKAHAN INI! CEPAT!" perintah Debora.
Namun, para maid memilih kabur ngacir ke kamar masing-masing karena tidak ingin menuruti perintah istri kedua dari Bram itu.
"Heh! Dasar b******n!" kesal Debora. Ia pun pergi ke kamarnya dengan segudang dendam dan amarah. Misinya belum berhasil hingga detik ini. "Lihat saja, mungkin hari ini kamu masih menang Andini, tapi nanti.... " ucap Debora yang merencanakan sesuatu.
Sementara itu, di kamar milik Andini dan Bram. Terlihat Bram yang memohon pada Andini saat ini.
"Sayang, aku minta maaf. Aku benar-benar khilaf. Saat kamu koma, aku kehilangan arah... " alasan si Bram yang makin mengada-ada.
"Dasar lelaki buaya darat, khilaf apaan emang dasarnya suka gatal ya gitu," batin Andini yang kesal.
Tapi, Andini berusaha tetap pura-pura bersedih di hadapan suaminya. Ia menepiskan genggaman tangan Bram.
"Lepasin aku Mas Bram, aku kecewa sama kamu. Aku benci sama kamu," ujar Andini mendayu seraya meneteskan air mata palsunya.
"Maafin aku sayang. Aku akan melakukan apapun untuk kamu. Apapun itu, asal kamu maafin aku."
Bram sudah jatuh hati pada istrinya. Ia memang tidak pernah konsisten dengan pilihannya sejak dulu.
Andini pun mengusap air matanya dengan slay. "Apapun itu?" tanya Andini memastikan.
Bram yang bertekuk lutut di hadapan istrinya, kian mengangguk mantap sebagai jawaban. "Iya Sayang, apapun itu."
"Aku bakalan maafin kamu Mas, tapi dengan beberapa syarat," ucap Andini. Ia memperbaiki posisinya menjadi lebih tegap dan tegar.
"Apapun itu, katakan saja sayang."
"Aku mau nafkah bulanan yang kamu kasih itu sebesar 3 miliar perbulannya. Dan satu lagi, aku mau kamu beliin aku Supercar, McLaren W1 aja. Simpel, kan?" tanya Andini dengan sedikit harap.
Mendengar syarat yang dilontarkan oleh istrinya, Bram langsung menelan salivanya susah. Rasanya aliran darahnya kini terhenti sejenak.
Bram tersenyum tipis ke arah Andini. "Sayang, aku mau kok kabulin permintaan kamu yang nafkah bulanan 2 miliar. Tapi soal Supercar..... " ucapnya menggantung.
Andini beranjak dari sofa itu meninggalkan Bram. "Ya sudah kalau kamu masih berat buat kabulin permintaan kamu. Aku mau kita cerai aja," ancam Andini.
Dan benar, psikologis Bram langsung kena. Ia tidak mungkin melepaskan berlian seperti Andini. "Iya iya oke! Aku beliin kamu Supercar tapi bulan depan ya?"
"Gak, aku gak mau pokoknya besok sudah harus ada di depan."
"Tapi Sayang... "
"Ya udah cerai aja."
"Iya iya, oke! Aku usahain ya. Tolong kamu maafin aku dulu, oke?"
Andini masih melirik tipis ke arah Bram. "Aku mau pembuktian dulu, baru dimaafin Mas."
**********
Keesokan harinya...
Jam baru menunjukkan pukul 06.15 WIB. Debora baru keluar kamarnya dengan mata yang sedikit tertutup dengan mulut yang menganga lebar.
"Hoooaaammm!!! Tenggorakanku serik banget ya?" gumamnya memegangi lehernya.
Debora melangkahkan kakinya ke dapur di lantai bawah. Tenggorokannya butuh sesuatu yang segar saat ini.
"Hey, buatin jus jeruk dingin, cepetan!" perintah Debora. Ia duduk di bar dapur itu seraya menunggu jus itu dibuat.
"Baik Mbak."
Debora mengernyitkan dahinya. Matanya tidak lepas tatkala memandang Tari yang memanggilnya dengan sebutan Mbak. "Mbak katamu?! Panggil saya Nyonya!"
"B-baik Nyonya."
"Ya udah cepetan buat, jangan cuma ngeliatin doang, t***l!" umpat Debora.
Tak lama dari situ, jus jeruk dingin tersaji di depannya. "Ini Nyonya jus jeruk dinginnya."
"Nah, gitu dong."
Debora meneguk sedikit jus jeruk itu. Namun, ekspresinya mendadak berubah. "JUS JERUK APAAN KAYA GINI HAH?!"
Tari pun menunduk. Ia berusaha menjelaskan dengan kata kata yang bisa ia ungkapkan. "Tapi Nyonya, itu... "
"Alah! Buahnya kurang segar! Gimana sih! Mau dipecat! Dasar gak becus!"
"Maafin saya Nyonya... " pinta Tari. Ia benar-benar takut jika pada akhirnya akan dipecat secara sepihak oleh Debora.
"ATAU MAU POTONG GAJI AJA! AKU POTONG GAJI KAMU 30%!"
Keributan yang dibuat oleh Debora memancing maid lain berkumpul. Mereka menyaksikan sendiri betapa jahatnya si Debora.
"Ada apa sebenarnya? Masih pagi sudah kaya pasar?" tanya Andini yang baru saja bangun. Ia menaiki lift ke lantai bawah.
Denting lift berhenti di lantai bawah menandakan Andini telah sampai di lantai paling dasar di mansion itu.
Langkah Andini tegap, elegan, dan mendominasi aura Debora.
"Ada apa ini?" tanya Andini seraya bersedekap d**a, matanya menyorot tajam ke arah Debora.
"Diam kamu! Maid bodoh dan miskin ini tidak becus membuatkan jus untukku! Dia berhak potong gaji 30%!"
Andini pun menyuruh Tari agak mundur sedikit. "Tenang saja Tari," bisik Andini.
Kali ini, Andini benar-benar melawan dengan badas.
"Apa maksudmu? Memotong gaji maid dengan alasan tidak logis? Memangnya siapa kamu disini hah?" tanya Andini.
"AKU ADALAH NYONYA DI SINI!" seru Debora.
Andini melangkah lebih dekat lagi menatap Debora. Ia menjumput pakaian Debora yang terlihat lusuh, tidak pantas menjadi Nyonya di sini.
"Kamu hanyalah gundik disini jadi diamlah! Semua soal maid, aku yang berhak menentukan. Dan sekali lagi kamu mengusik ketentraman maid disini, aku tidak akan segan untuk mengusirmu, w************n!" tekan Andini seraya melepaskan jumputan baju Debira yang ia pegang.
Lantas Andini membersihkan tangannya setelah menyentuh baju Debora. "Kurang ajar kamu, Andini!" seru Debora tidak terima.
Debora dengan tangan entengnya mencoba untuk melayangkan tangannya menampar si Andini. Tapi Andini dengan sigap langsung menahannya.
Greeppp!!
"SINGKIRKAN TANGAN KOTORMU ITU DARI MUKAKU, GUNDIK MURAHAN. DAN AKULAH NYONYA BESAR DI SINI, PAHAM?!" ucap Andini penuh dengan penekanan dan menghempaskan tangan Debora dengan kasar hingga Debora merasa kesakitan.
"Awwww!!"
"Ingat, akulah Nyonya Besar di mansion ini!" peringat Andini.
Di saat situasi sedang tegang, tiba-tiba satpam mansion itu, Pak Gogon menghadap ke Andini.
"Nyonya Besar, ada kiriman supercar untuk Anda dari Tuan Bram, silakan diperiksa, ada di depan halaman markas."
"Baik Pak, terimakasih." Andini langsung menuju ke teras depan mansion itu untuk melihat mobil barunya senilai 33 miliar!!!!
Mendengar hal itu, Debora langsung menganga lebar. "Hah? Supercar?"
***********
Gundik mah bisa apa? Nganga doang!