Tantrum? Jelas tidak. Andini justru tersenyum dan mendekat. "Sayang, ini gak seperti yang kamu lihat. Aku dan Debora... " ucap Bram menggantung. Ia benar-benar ketakutan tatkala melihat istrinya tengah memergoki hubungan gelapnya dengan Debora.
Andini melangkahkan kakinya dengan elegan, mendekat ke arah suami dan adik iparnya. Keningnya berkerut, salah satu alisnya pun terangkat.
"Ada apa Mas? Panik banget? Aku kesini cuma mau minta uang lagi kok, itu aja."
Agaknya Bram terlihat agak bernafas secara lega. Ia membenarkan dasi yang tengah berantakan.
"Minta berapa sih Sayang?" tanyanya mendekat lalu mencium pelipis Andini. Andini pun tersenyum, ia pun berbisik untuk menyebutkan nominalnya agar Debora makin kepanasan.
"300 juta lagi dong," ucap Andini dengan mendayu.
Sengaja banget, walaupun berbisik tetap saja terdengar oleh Debora. "Kak, kok minta lagi sih? Bukannya tadi udah diberi sama Mas Bram ya?" protesnya tipis-tipis.
Tatapan mata Andini yang cukup tajam, mampu menyayat Debora. "Aku minta pada suamiku, kenapa kamu yang protes hmmm?"
"Ya gak bisa gitu dong. Udah satu miliar lebih gak sih?"
"Kok kamu tahu?" tanya Andini. Menjebak Debora adalah senjata utamanya. Sementara itu, Bram memilih membungkam Debora dengan satu kodenya.
"Iya Sayang, aku transfer sekarang ya?"
Andini tersenyum manis. Ia pun memeluk suaminya layaknya seorang pelakor yang tengah memanasi istri sah. Padahal ini sebaliknya.
"Mampus kamu, Debora. Dasar wanita gak tahu diri, emang enak dipanas-panasin?" batin Andini tersenyum smirk.
Andini pun melepaskan pelukan dari suaminya itu. Matanya terpendar menatap Debora. "Debora, kenapa kamu kesini? Katanya kamu ada urusan dengan teman?"
"Iya Kak, tadi mampir kesini dulu."
"Oh gitu ya."
Klunting!
Tiba-tiba notifikasi saldo telah masuk. Andini segera cek saldonya saat ini. Memang benar bertambah 300 juta. "Ya ampun cepat sekali. Terimakasih ya Mas. Mas Bram baik banget, i love you Mas. Ya udah aku lanjut shopping dulu ya, byeeeee.. " ucap Andini melambaikan tangannya.
***********
Tatkala Andini telah pergi, Debora menatap tajam. "Giliran Andini dikasih 300 juta lagi. Sehari masa bisa sampai miliaran sih?"
"Sayang, kalau saja Andini tahu banyak hal tentang kita. Mampus lah kita."
"Mampus gimana? Bukannya harta semua ada di kamu sekarang?"
Bram pun menghela nafas panjang. Ia duduk di kursi kerjanya kembali seraya menyandar, meredam pikirannya.
"Masih ada yang menjadi miliknya. Lagian dia sekarang udah berubah menjadi lebih bening, cantik,... "
Makin panas telinga Debora mendengar pujian yang dilontarkan Bram pada Andini.
"Dulu aja kamu gak suka! Apa maksud kamu kaya gitu?"
"Ya gapapa, setidaknya gak rugi kan. Dia sekarang cantik."
"Emangnya aku gak cantik! Aku jauh lebih cantik, Mas! Pokoknya aku gak mau tahu, segera akui hubungan kita di depannya. Aku tidak mau terus terusan kaya gini! Gak adil"
Debora terus menerus protes sehingga Bram semakin malas padanya. "Kamu tuh maunya apa sih Sayang? Aku udah turutin kamu tinggal di mansion, sekarang justru ingin diakuin statusnya. Semua kamu mau?"
"Ya iya lah Mas."
Mereka cekcok tidak ada habisnya. Ruangan yang harusnya adem ayem, harus ternodai dengan sikap saling ego di antara mereka berdua.
Sampai pada akhirnya, Debora pun menenteng tasnya. "Oke! Kalau kamu gak mau akuin, aku yang ngaku sendiri. Pilih mana?!"
"Oke oke, Mas akan coba semua Andini tidak mengusirmu."
"Ya kamu yang punya kuasa, kamu dong yang cegah. Gimana sih! Au ah pergi aja aku. Jangan lupa uangku transfer juga!"
Debora pergi meninggalkan segudang amarah di ruangan kerja Bram tersebut.
"Aaaahhh susahnya punya istri dua, lagian ngapain juga aku mau sama si Debora dulu, kalau nyatanya Andini bisa sangat cantik."
Dasar lelaki buaya!
**********
Sore hari itu...
Debora baru saja pulang. Ia menenteng satu paperbag branded dengan bangganya. Sedangkan saat ini, Andini membaca majalah di kursi pijat yang baru saja dia beli tadi.
"Baru pulang kamu?" tanya Andini.
"Iya Kak," ucap Debora sinis.
"Beli apa kamu? Uang darimana?" tanya Andini mencoba memancing amarah Debora yang lagi kesal dengannya.
Debora hanya melirik tajam lalu pergi begitu saja. Andini pun menutup majalahnya dan menatap punggung Debora yang semakin menjauh.
"Jangan lupa kamu cuci piring sama ngepel. Itu tugas kamu," perintah Andini membuat Debora lantas membalikkan badannya seraya tidak percaya dengan apa yang ia dengar.
"Maksud Kakak apa?"
"Ya cuci piring, ngepel. Kurang jelas?" tanya Andini senyum penuh maknanya.
Debora memutar bola matanya malas. "Kak, aku disini tamu lho. Gak mungkin dong ngelakuin itu. Lagian udah banyak maid kok yang kerjain!"
Andini mendekat, ia memindai penampilan Debora dari atas ke bawah. "Tamu kok numpang hidup hmmm? Wajar dong kalau Kakakmu yang cantik jelita ini menyuruhmu sebagai timbal balik semua yang kamu dapatkan?"
Andini meraih pel yang dicekal oleh Bi Hanum. "Pelnya mana Bi, hari ini yang pel adalah Debora."
"Ini Nyonya."
"Nih, kerjain tanpa protes. Udah sana kamu mandi dulu atau apa," perintah Andini layaknya memerintah babu paga Debora.
Debora pergi dengan segudang kekesalan yang berlipat ganda. "Cckkk!!!" decaknya.
Debora ke kamarnya, dan Bi Hanum pun mengacungkan jempolnya. "Hebat Nyonya... "
Andini hanya mengangguk. "Siapapun yang ingin menindasku, akan ku tindas dahulu," batinnya.
Selang 30 menit berlalu. Debora langsung mengepel dan cuci piring walau hatinya dongkol setengah mati. "Awas aja kalau udah ada Mas Bram, aku akan mengungkap kebenaran ini biar si Andini syok dan sakit hati!" tekadnya dalam hati.
**********
Pukul 17.30 WIB
Andini menyambut suaminya pulang. Mobil hitam mewah telah terparkir di depan mansion utama. Andini dengan pakaian yang elegan tapi tetap menonjolkan kesan seksinya, menyambut Bram dengan senyuman manisnya.
"Sayang... " ucap Bram yang matanya terlihat segar memandang Andini yang cantik paripurna.
"Cantiknya istriku... " ucap Bram yang memeluk Andini, wangi lembut floral bercampur dengan hint manis membuat Bram tidak bisa melepaskan istrinya.
"Idih jijik banget dipeluk sama dia," batin Andini yang segera melepaskan pelukan itu.
"Mas, aduh malu dilihat Debora."
Bram melihat Debora dengan penampilan yang setengah lusuh karena habis cuci piring dan mengepel lantai yang super luas.
"Andini, Sayang, ada yang perlu aku bicarakan sama kamu."
"Apa itu Mas?" tanya Andini heran. Ia pun menenteng tas kantor milik suaminya yang durjana.
Debora sudah bersiap, bahkan ia menata rapi rambutnya saat ini. Tatapannya begitu arogan saat ini.
"Cepat Mas!" desak Debora.
"Ada apa ini?" tanya Andini penasaran.
"Maafkan aku sayang, maafkan aku. Aku harus jujur, sebenarnya Debora... "
"Cepat Mas," desak Debora sekali lagi.
Bram menghela nafas, butuh keberanian untuk mengungkapkan semua ini.
"Sebenarnya Debora dan aku sudah menikah siri. Maafkan aku sayang. Biarkan dia tinggal disini, aku mohon."
Apakah Andini akan marah besar? Oh tentu tidak. Ia tersenyum tipis.
"Oh ya?"
"Benar! Kita sudah menikah! Aku istri mudanya!"
Andini hampir tertawa mendengar Debora mengaku begitu bangga. "Bangga sekali kamu, dinikahi secara apa? Agama aja ya? Duh kasihannya," ucap Andini lantas tersenyum penuh makna dan pergi.
"Aku kecewa dengan kamu Mas," ucap Andini dengan raut wajah sedih yang ternyata hanya pura-pura untuk memancing dan memeras harta Bram lagi.
"Andini! Tunggu!"
"Mas, kamu kenapa sih ngejar dia!" bentak Debora.
"DIAM KAMU DEBORA! INI SEMUA GARA-GARA KAMU!" bentak balik Bram.