Orang itu terkaget dengan suara Aldi yang sekarang berjalan cepat ke arahnya. Aldi sedikit berlari dan bermaksud ingin melumpuhkan orang itu dengan pukulannya. Tapi, ia kalah cepat. Orang itu mengambil asbak kaca di atas meja Mr Graham dan memukulkannya ke dahi Aldi. Badan Aldi oleng ke tanah.
Belum sempat ia berdiri, orang itu lari secepat kilat ke arah pintu keluar namun sial bajunya tersangkut gagang pintu. Ia menarik paksa hingga bajunya terkoyak dan kainnya yang terkoyak tertinggal di sana. Aldi berdiri dan berlari dengan segera. Ia melihat kain itu dan menyimpannya cepat ke dalam saku lalu berlari mengejar orang itu.
Aldi segera mengambil motornya yang terparkir di dekat pintu belakang dan mengejar orang itu yang ternyata sudah kabur dengan sebuah motor lebih dulu.
Aldi membuntuti motor si penyusup seperti orang kesetanan. Begitupun si penyusup yang lebih dahulu melakukan maneuver-manuver di jalan seperti orang yang dikejar setan. Di tengah perempatan, si penyusup membelokkan motornya ke arah kanan. Aldi mengejarnya tanpa mempedulikan lampu merah yang sudah menyala.
Aldi mencari si penyusup namun sial! Sepertinya ia kehilangan jejak. Penyusup itu terlalu cepat. Ia mencoba menyusuri ruas jalan yang ada hingga ujung. Tapi, lagi-lagi nihil! Tidak ada tanda-tanda motor si penyusup di sana. Ia memutar kembali motornya dan berjalan ke arah rumah kontrakannya.
Ia menghentikan motornya di pinggir jalan lalu mengeluarkan potongan kain itu dari saku celananya. Ia mengamati kain hitam itu dan merabanya. Ia membolak-balik potongan kain itu untuk mencari sesuatu yang bisa ia kenali. Matanya menyipit ketika melihat bordiran beberapa huruf “ND” di sana.
Aldi merasa potongan kain ini sama persis dengan kain vest seragamnya. Di bagian d**a kanan vest seragamnya memang memiliki bordiran nama setiap waiter agar seragam mereka tidak tertukar. Warna bordiran itu sama persis dengan yang ada di seragam The Grand Dining. Aldi yakin bahwa penyusup itu pasti karyawan The Grand Dining dan namanya memiliki akhiran ND. Mata Aldi terbelalak dan ia menyadari bahwa ia mengenal orang itu. Ia menunggu saat yang tepat untuk membongkarnya.
***
Tok tok tok
Pintu kokoh di sebuah rumah mewah di Kawasan Surabaya Barat itu diketuk oleh seseorang. Tak berapa lama, si pemilik rumah melongokkan kepalanya dan keluar menemui orang yang mengetuk pintunya.
“Bagaimana paketnya? Sudah kau antar?” tanya pria pemilik rumah. Tamu itu mengangguk.
“Tapi, aku hampir saja dikenali oleh Aldi.”
“DASAR BODOH! Bagaimana kau bisa ceroboh seperti itu? Mengapa tidak melakukan aksimu saat dia sudah pulang, BODOH?” Pemilik rumah itu berkacak pinggang dan memasang tampang marahnya.
“Apa yang sudah ia dapat darimu?”
Tamu itu menunjukkan seragamnya yang koyak.
“Tunggu di sini!” Pemilik rumah itu masuk kembali ke dalam rumahnya sebentar lalu segera keluar dengan sebuah vest hitam yang baru. “Aku masih memiliki cadangannya. Kau tidak boleh bekerja dengan yang sudah terkoyak. Bisa-bisa dia mencuriagimu. Pakai ini dan buang vest’mu itu. Tidak… tidak! Lebih baik bakar saja agar tidak ada yang bisa mengenalimu.”
Tamu itu mengangguk lalu mengambil vest hitam barunya dari tangan si pemilik rumah.
“Kali ini kau kuampuni. Lain kali, kau tidak akan mendapatkan upahmu, paham?” Pemilik rumah itu mengeluarkan sebuah amplop coklat yang terlihat cukup tebal dan memberikannya pada sang tamu. Lalu, tamu itu segera pergi mengendarai motornya dan menghilang dari kediaman pria itu.
Sepeninggal tamu itu, si pemilik rumah menggeram kesal. Ia mengepalkan telapak tangannya erat-erat hingga kukunya menancap di kulit telapak tangannya.
“Aldi… Aldi… lihat saja kau jika berani mengacaukan rencanaku!”
***
Hari sudah terang dan orang-orang sudah mulai kembali beraktivitas, tak terkecuali para karyawan The Grand Dining. Mereka sudah siap di area dapur untuk mengikuti briefing pagi. Mereka sudah siap dengan seragam kebesaran mereka masing-masing, menunggu instruksi dan arahan yang diberikan oleh Mr Graham.
Tawa canda para staff itu pun berhenti seketika saat Mr Graham berdeham.
“Selamat pagi… Mengingat semua pekerjaan kita kemarin, saya rasa kita perlu mengingat kembali prinsip utama dalaam restoran kita… Kita harus…” kata-katanya terhenti ketika ada seorang staff yang datang terlambat.
“Roland! Mengapa datang terlambat?” tanya Mr Graham pada pria yang sekarang menunduk.
“Maafkan aku, Sir! Aku terlambat bangun,” jawab pria jangkung berkacamata itu diikuti dengan gelengan kepala dari Mr Graham.
“Selepas briefing ini, kau menghadap ke ruanganku,” lanjut Mr Graham. Pria itu kemudian melepas jaketnya dan segera berdiri di samping Aldi sambil tersenyum menyapanya. Aldi balas tersenyum pada pria ini lalu berbalik menatap Mr Graham yang sedang berbicara.
Ia masih ingat satu-satunya orang di ruangan ini yang memiliki nama berakhiran ND hanyalah dia seorang. Aldi mulai mencurigainya, tapi ia tidak bisa asal menuduh. Jika memang Roland yang menyusup tadi malam, seharusnya vestnya mengalami koyak di bagian namanya. Aldi mengarahkan pandangannya ke vest Roland tapi ia melihat vest Roland dalam kondisi utuh bahkan terbilang rapi. Aldi masih bertanya-tanya, apakah Roland pelakunya?
***
Brandon menunggu Celline pulang dari kampusnya sore itu. Ia tadi sempat melihat Celline masuk ke ruangan dosen dengan membawa setumpuk makalah yang sudah terjilid rapi. Ia yakin Celline di sana. Dengan sabar ia menanti di selasar Gedung kuliah Celline. Hingga akhirnya, batang hidung gadis itu muncul. Ia bersorak gembira karena melihat calon istrinya sudah keluar dari ruang dosen. Celline berjingkat kaget ketika Brandon tiba-tiba menepuk pundaknya dari belakang.
“Astaga, Brandon! Mengapa kau selalu mengikutiku? Ini sudah kesekian kalinya kau mengikutiku seperti ini?” kata Celline yang geram. Brandon seperti ikan remora yang selalu menempel pada ikan hiu padanya. Ia risih, Benar-benar risih. Celline berjalan cepat dan meninggalkan Brandon yang masih menunjukkan cengiran kudanya.
“Celline, tunggu! Mami bilang kita harus makin dekat. Ingat, kau kan calon istriku!” rengek Brandon yang membuat Celline makin jengah padanya. Celline memutar bola matanya. Ia sungguh malas berhadapan dengan pria manja ini. Celline menoleh dengan memaksakan sebuah senyuman.
Oh, Tuhan! Bisakah aku lepas dari pria ini?
“Lalu kau mau apa sekarang?” tanya Celline malas. Mendapat jawaban dari Celline, Brandon segera berlari ke arahnya sambil menunjukkan gigi behelnya.
“Ayo, kita makan es krim!” Jawabnya sambil menarik tangan Celline.
Sepanjang perjalanan menuju mobil, Brandon menggandeng Celline layaknya sepasang kekasih. Semua mata tertuju padanya dan memandang heran pada mereka. Selama ini tidak ada satu orangpun yang menyukai kehadiran Brandon yang anak mami dan tidak ada orang yang memperhatikan Celline, si gadis pendiam. Dan sekarang mereka bersama. Sungguh pemandangan yang aneh bin ajaib di kampus itu.
Awalnya Brandon mengajak Celline untuk menikmati es krim di sebuah café kuno di tengah kota. Setelah itu Brandon mengajak Celline ke mall terbesar yang letaknya juga di tengah kota. Ia mengajak Celline berkeliling dari toko ke toko, berusaha membelikan Celline sesuatu yang ia suka, namun Celline selalu menolak dan mengembalikan barang yang hendak dibeli Brandon ke raknya. Ia tidak mau menerima apapun dari Brandon. Hingga jam operasional mall sudah berakhir, mereka baru kembali.
Kaki Celline sudah sangat pegal ketika mereka sudah duduk di mobil. Brandon yang ada di sampingnya tersenyum senang sambil terus memandanginya. Dan, sekali lagi Celline risih. Benar-benar ia muak dengan Brandon dan semua perilakunya.
Celline diantar pulang oleh Brandon dan tentu saja dengan sopirnya. Di dalam mobil, Brandon masih berusaha untuk menunjukkan sikap agresifnya pada Celline. Ia berupaya untuk menggandengnya tapi Celline lagi-lagi menarik tangannya. Brandon mencoba untuk merangkul Pundak Celline tapi buru-buru Celline menepis tangan Brandon. Ia memikirkan cara agar bisa lari dari Brandon segera sebelum pria itu makin nekad padanya mengingat perjalanan pulang mereka akan memakan waktu kurang lebih 1 jam karena rumah Celline di pinggir Surabaya. Ia tidak mau berlama-lama di sisi Brandon yang makin lama makin menjadi.
Otaknya berpikir keras hingga ia teringat pada trik lamanya. Ya, hanya Fabby yang bisa menyelamatkannya dari Brandon.
“Eng… Brand, aku mau menghubungi temanku sebentar. Aku baru ingat kalau aku sudah berjanji untuk menginap di rumahnya hari ini karena ia kesepian sementara orangtuanya sedang tidak di rumah,” bohong Celline.
“Oh… baiklah,” jawab Brandon sambil menarik tangannya kembali ke pangkuannya. Celline langsung mengambil ponselnya dan mencari nama Fabby di sana. Ia menelepon Fabby dan telepon itu diangkat pada dering yang ke-5. Ia menghela nafas panjang.
“Hai, Fabby… Aku mau ke rumahmu sebentar lagi.”
Suara di seberang mengatakan, “Maafkan aku Celline, tapi kau tahu sendiri kalau sekarang aku bersama keluargaku di Malang karena sepupuku menikah.”
Celline langsung memutar otaknya, bagaimanapun ia harus berhasil keluar dari mobil ini. Ia tidak mau dirinya mengalami pelecehan dari Brandon yang entah mengapa hari ini sukses membuatnya merasa risih 100 kali lipat. Ia menyahut ucapan Fabby itu dengan jawaban yang membuat Fabby mengernyitkan dahi.
“Oh… kau sudah menungguku? Oke, ini aku sekarang ke sana. Aku diantar Brandon…”
“Tunggu, Celline. Aku sudah katakan aku tidak di rumah. Apa kau sudah gila?”
“Tidak. Tidak perlu, aku akan jalan dari minimarket saja. Oke, aku paham. Tunggu aku ya!” Celline segera mengakhiri panggilannya tanpa menyadari suara di seberang sana yang makin bingung dengan jawaban Celline. Namun, sandiwara Celline sepertinya berhasil mengelabui Brandon.
“Brand, boleh tolong antar aku ke daerah Mangrove? Nanti aku turun di depan minimarket sana. Fabby akan menjemputku,” kata Celline pada Brandon sambil tersenyum memohon.
“Hah? Kau yakin, Ratuku? Ini sudah malam dan aku akan menemanimu ya. Kalau perlu, aku juga akan ikut menginap di rumah Fabby. Aku tidak ingin calon-,” sahut Brandon yang tidak bersedia kehilangan waktu bersama Celline.
“E… tidak apa, kau pulang saja. Bukannya Mamimu sudah mencarimu?” potong Celline cepat sebelum Brandon melanjutkan kata-katanya yang entah mengapa makin membuatnya mual. Brandon mengerucutkan bibirnya sejenak lalu meminta sopirnya mengantar Celline ke tempat tujuannya.
Mobil sedan hitam itu kini sudah berhenti di depan sebuah minimarket. Celline berpamitan pada Brandon kemudian segera turun dari mobil. Ia masuk ke dalam minimarket bermaksud untuk membeli minuman lalu memesan taksi online dan pulang ke rumahnya. Memang jaraknya agak jauh dari rumah Fabby yang baru di kawasan ini. Tapi, itu lebih baik daripada semobil dengan Brandon dalam jangka waktu yang lama.
Celline menyusuri lorong demi lorong yang ada di dalam minimarket dan mencari minuman yang ia inginkan. Namun, Celline tidak menyadari bahwa sedari tadi ada empat pasang mata yang mengawasinya dari luar minimarket yang sepi itu.
Celline membawa minuman yang dipesannya itu ke kasir dan membayarnya. Setelah itu, ia keluar dari minimarket dan mengambil ponselnya untuk memesan taksi online. Sial! Ia kehabisan daya. Ia lupa membawa powerbank ataupun charger hari itu. Tiba-tiba tasnya ditarik pria memakai jaket kulit hitam dengan helm full face warna hitam yang ia tidak kenal. Ia panik lalu berteriak kencang, “COPEETTTTT….COPPEETTT… TOLONG!!!!”
Copet itu lari dengan motornya dan Celline yang panik berusaha mengejarnya. Jalanan begitu sepi dan ia tidak melihat ada orang yang bisa membantunya. Ia terus berteriak sambil berlari hingga akhirnya ia tidak bisa mengejar motor itu dan kakinya tersandung batu.
Badan Celline oleng ke kiri dan membentur kawat duri yang dipasang di sana dan membuat beberapa duri menggores punggung, lengan dan merobek sebagian lengan bajunya. Kakinya terluka karena jalan berbatu dan sialnya lagi terkilir. Ia terduduk karena ia tidak mampu berdiri. Ia merintih kesakitan dan menangis.
“SIAL… SIAL!!! MENGAPA HIDUPMU BEGITU SIAL CELLINE??? Oh, Tuhan tolong aku!” Ia menangis dan tiba-tiba ada sepeda motor yang berhenti di depannya.
“Celline?? Oh astaga! Apa yang terjadi?” Pengendara motor itu segera turun dari motornya. Celline mengenal suaranya walau ia mengenakan helm full face.