Chapter 5

1281 Words
    Hari masih sore dan Rivaldi masih enggan pulang ke rumah. Ia melangkahkan kakinya menuju tempat favoritnya di universitas itu saat kuliah dulu, balkon atas. Rivaldi terengah ketika sampai di puncak Gedung itu dan memilih untuk duduk di salah satu sisi Gedung. Ia meneguk air mineral botol yang tadi diberikan Dave dan memandang langit. Hingga seorang gadis muncul dengan sesenggukan. Matanya sembap dan wajahnya tertunduk dan ia tidak memperhatikan Rivaldi yang duduk di sisi berseberangan dari tempat berdirinya gadis itu.      Gadis itu berjalan dengan cepat bahkan mungkin terlihat berlari ke salah satu sudut balkon, membuang tasnya di lantai dan naik ke atas tembok pembatas. Gadis itu merentangkan kedua tangannya dan terdiam di sana beberapa saat,      “ASTAGA! Dia mau bunuh diri? What a stupid girl!”      Rivaldi segera bangkit dan berlari menuju arah gadis itu sebelum ia melakukan aksinya, Ia segera naik ke atas tembok pembatas itu juga dan mengikuti apa yang gadis itu lakukan dengan harapan gadis itu merasa terpergok dan tidak jadi terjun bebas ke bawah gedung. Gadis itu terkejut dengan kehadiran Aldi. Ia menoleh ke arahnya.      “Apa yang kau lakukan di sini, Gadis manis? Hidupmu terlalu berharga untuk mati konyol seperti ini,” kata pria itu pada Celline sambil tersenyum. Ia mengulurkan tangan untuk membantu Celline turun.       “Pergi! Ini bukan urusanmu!“ jawab Celline ketus dan ia tidak menghiraukan uluran tangan pria itu.    Rivaldi menurunkan tangannya dan memandang lurus ke depan.      “Tapi, kalau kau mau memang mau mati konyol, ya aku tidak akan menghalangimu. Aku hanya akan merasa kasihan pada mereka yang menganggap hidupmu berharga karena ternyata anggapan mereka terlalu tinggi untuk seseorang yang hanya mau mati konyol seperti ini,” katanya datar.     Rivaldi kemudian berbalik badan dan duduk membelakangi Celline di atas tembok pembatas itu. Celline menurunkan tangannya dan berteriak kencang dari atas sana.      “AKUUU BENCIIII HIDUPKUUUUU! AAAARRRGGHHHHHHHH!!!!!”      Ia melepaskan emosinya dan ia merasakan kelegaan luar biasa dalam hatinya. Ia kemudian menangis dan ikut duduk di sebelah Aldi. Aldi bingung dan merasa ini situasi yang kikuk baginya. Ia merasa iba pada gadis itu. Mungkin ia memiliki masalah yang tidak bisa ia selesaikan hingga yang di pikirannya hanyalah mati.       Dengan ragu, Rivaldi mengulurkan tangannya dan menepuk-nepuk pundak Celline. Celline menangis sejadi-jadinya hingga ia benar-benar lega. Tangisnya mereda. Nafasnya yang tersengal-sengal mulai beritme lebih teratur. Ia mulai tenang. Celline menghapus air matanya dan bertanya pada Rivaldi yang sedari tadi menemaninya di sana.      “Mengapa kau menghentikanku untuk terjun ke bawah? Kenapa tidak membiarkan aku mati saja? A-aku sudah lelah dengan hidupku. Aku sudah merasa hidupku tidak berharga. Bahkan Ibuku pun tidak berpikir aku berharga... Hiks…”      Celline menangis kembali. Rivaldi turun dari duduknya dan ia berdiri di hadapan gadis itu lalu mengambil tangannya dan membuat tangan itu saling mengaitkan jarinya. Celline mendongak ke arah Rivaldi     “A-apa yang kau lakukan?”     “Kurasa, yang kau butuhkan adalah Tuhan. Berdoalah dan Tuhan akan selalu mendengarkan dan memberikan kelegaan.Tuhan itu selalu dekat pada mereka yang patah hati dan Ia pasti mau mendengarkanmu.”     “Jika Tuhan memang ada, mengapa hanya aku… HANYA AKU di dunia ini yang memiliki hidup yang menyedihkan seperti ini? Mengapa?” Celline kembali terisak. Rivaldi terdiam sejenak.     “Karena kau berharga bagiNya.”     “Berharga? Mengapa jika aku berharga, aku malah diberikan cobaan seperti ini?”      Rivaldi menarik nafasnya lalu kembali menjelaskan pada Celline.      “Pernahkah kau tahu mengapa rajawali bisa terbang tinggi dan menjadi burung yang berumur panjang hingga 70 tahun?” Celline menggeleng.     “Seekor rajawali mengalami suatu krisis besar dalam hidupnya di saat usianya menginjak 40 tahun. Di saat itu sayapnya mulai penuh dengan bulu dan membuatnya sulit terbang, paruhnya yang tajam sudah mulai retak dan rusak. Ia tidak bisa lagi terbang tinggi dan menerkam mangsanya dalam kondisi itu. Di saat itu ia hanya punya dua pilihan, mati karena fisiknya menua atau rela menderita untuk proses peremajaannya. Ia memilih untuk mengalami semua proses peremajaan itu walau sakit. Ia harus naik ke gunung selama 6 bulan dan membuat sarang di sana. Ia akan mematahkan paruhnya hingga tumbuh kembali. Setelah paruhnya tumbuh, ia harus mencabut semua bulu-bulu yang membuat sayapnya berat itu. Sungguh proses yang menyakitkan. Tapi, setelah itu ia mampu terbang tinggi lagi di angkasa.” Celline terdiam.     “Sama seperti rajawali, hidup kita pun diizinkan Tuhan untuk mengalami situasi yang berat. Bukan karena Ia tidak menyayangimu, tapi karena kau begitu berharga maka kau mengalami hal berat itu. Ia mau membuatmu terbang layaknya rajawali. Ia tidak meninggalkanmu sendirian, Ia ada di sana dan selalu siap memberimu kekuatan untuk menjalaninya. Datanglah dalam doa maka Ia akan mendengarkan doamu.” Entah mengapa Celline merasa terharu dengan semua yang dikatakan pria ini. Ia terisak. Rivaldi mengelus Pundak Celline hingga gadis itu mampu mengatur nafasnya     “Aku tidak habis pikir mengapa kau ingin terjun dari sini? Apakah hidupmu seberat itu?” Rivaldi bertanya kembali.      Celline memandangi wajah pria di hadapannya itu. Rambutnya hitam dengan potongan gaya Korea, garis wajahnya begitu tegas, sorot matanya tajam dan dalam, senyumannya begitu manis dan lesung pipi yang tercetak di wajahnya membuat pria ini makin terlihat menarik. Ia tersadar dari lamunannya ketika pria itu menoleh ke arahnya.      “Untuk apa kau ingin tahu tentang hidupku? Aku saja bahkan tidak mengenalmu,” jawab Celline ketus. Rivaldi terkekeh mendengar jawaban ketus Celline. Rivaldi balik memandang lurus ke depan.      “Bagiku, bunuh diri itu bukanlah cara untuk mengakhiri semua masalahnya. Itu hanyalah cara kita mengingkari masalah yang sebenarnya,” kata Rivaldi dan mampu membuat Celline menoleh ke arahnya.      “Mengingkari masalah sebenarnya?” Aldi mengangguk sambil tetap menatap lurus ke depan.      “Masalah sebenarnya adalah diri kita sendiri. Mengingkari bahwa diri kita tidak bisa menerima kenyataan hidup, diri kita yang tidak sanggup membawa beban hidup, diri kita yang tidak bisa berdamai dengan masa lalu, diri kita yang selalu merasa tersakiti dan diri kita yang tidak bisa bersyukur untuk hidup yang kita jalani. Dan, itulah yang membuat kita merasa bahwa hidup kita berharga.”     Celline terpaku mendengar ceramah dari Rivaldi. Ia benar-benar merasa tertampar sekaligus merasa bahwa dirinya seperti seorang pengecut karena apa yang dikatakan Rivaldi.      “Mungkin yang kau butuhkan saat ini hanyalah belajar mencintai. Belajar mencintai dirimu, mencintai jalan hidupmu dan belajarlah mencintai orang lain,” sambung Rivaldi dengan nada yang begitu serius. Celline tetap terdiam.      “Bagaimana caranya mencintai jika aku sendiri tidak memiliki seseorang yang aku benar-benar cintai?” kata Celline lirih sambil memainkan kakinya tapi ternyata ucapannya mampu didengar Rivaldi.      Rivaldi tertawa, “Mulailah dengan membuka dirimu sendiri pada dunia. So, mari mulai dari sini… Kenalkan aku Ri… ah Aldi Satriawan, panggil aku Aldi saja dan kau?”  Rivaldi mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. Ia mengurungkan niatnya untuk menyebutkan nama aslinya. Ia tidak ingin misi yang ia emban terbongkar kepada siapapun. Celline tidak menyambut tangan Rivaldi dan hanya menyebutkan namanya. Rivaldi menjadi kikuk dan menurunkan tangannya.      “Nama yang cantik sama seperti orangnya-” Rivaldi berhenti sejenak karena wajah wanita itu sudah mulai memerah karena ucapannya.      “Aku berpikir mengapa gadis cantik sepertimu mau bunuh diri?” lanjut Rivaldi.      “Sudah kubilang, itu bukan urusanmu.” Sudut bibir Rivaldi kembali terangkat mendengar jawaban Celline.      “Kamu mahasiswa di sini?” tanya Rivaldi untuk memecah keheningan karena sedari tadi wanita itu benar-benar mengunci rapat bibirnya dan tidak bergeming. Tapi sorot matanya yang terus memperhatikan Rivaldi dan duduknya yang tidak beranjak di sisinya membuat ia yakin bahwa saat ini wanita itu sedang mendengarkannya.      “Hah? A-apa? Jawab Celline yang sedari tadi termenung menjadi terkaget dengan pertanyaan Rivaldi.      “Apakah kau mahasiswa di sini?” Rivaldi mengulangi pertanyaannya lagi.      “Iya, aku jurusan Manajemen Bisnis tahun ketiga,” jawab Celline.      “Aku sudah lulus 2 tahun yang lalu, tapi aku belajar di jurusan yang sama denganmu saat kuliah dulu. Bagaimana- oh, tunggu sebentar,” ucapan Rivaldi terhenti ketika ponselnya berbunyi. Layar ponselnya memunculkan nama “Mr Graham”. Ia segera mengangkat panggilan itu dan raut wajahnya berubah seketika menjadi serius.      “Baik, saya segera ke sana,” kata Rivaldi mengakhiri pembicaraannya dengan pria di seberang sana. Selesai dengan panggilan itu, ia menoleh ke arah Celline untuk berpamitan.      “Sepertinya aku harus pergi sekarang. Segeralah pulang dan jangan pernah berpikiran bodoh lagi,” ucap Rivaldi sambil mengedipkan sebelah matanya dan membuat Celline salah tingkah. Sepeninggal Rivaldi, Celline masih terdiam terpaku hingga akhirnya ia menyadari satu hal.      “Ah… aku lupa mengatakan terima kasih.” 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD