Chapter 10

1755 Words
     “Kakimu membengkak,” kata Aldi mengalihkan pikirannya seraya mengambil spray anti pembengkakan dari kotak obat dan menyemprotkannya di kaki Celline lalu memijat-mijatnya untuk memperlancar aliran darah di kaki Celline. Ia memfokuskan diri untuk memijat kaki Celline. Celline terlihat meringis kesakitan.      Celline memandangi wajah Aldi. Wajahnya terlihat begitu tampan dan maskulin jika dilihat dari dekat. Badannya yang menjulang, dadanya yang bidang dan lengannya yang terlihat berotot menunjukkan bahwa Aldi termasuk orang yang menjaga fisiknya dengan baik. Aldi yang merasa dipandangi sedari tadi oleh Celline menoleh ke arah gadis itu.      “Kau terpesona padaku?” goda Aldi sambil menyeringai dan membuyarkan pengamatan Celline. Celline menundukkan wajahnya yang memerah karena malu ketahuan oleh Aldi. Aldi terkekeh pelan sambil menyelesaikan aktivitas memijatnya. Lalu, ia kembali mencari sesuatu di kotak obat. Ia mengambil antiseptik dan cotton bud. Ia hendak mengobati luka gores Celline. Sejenak ia melihat di balik pergelangan tangan kiri Celline ada bekas sayatan. Aldi tergelitik bertanya.      “Eng… bekas luka apa itu di tanganmu?” Celline buru-buru membalikkan pergelangan tangannya.      “Ah… bukan apa-apa. Hanya bekas luka lama karena goresan cutter,” jawabnya berusaha menutupi dirinya. Tidak mungkin dia bercerita bahwa itu luka bekas upaya bunuh dirinya yang gagal di masa lalu.      Aldi merasakan ada yang ditutupi oleh Celline tentang luka itu dan ia memberanikan diri bertanya lebih jauh. Entah mengapa ia begitu ingin menyelami hidup gadis malang di hadapannya ini.      “Kejadian di balkon waktu itu… apakah itu pertama kalinya untukmu?” tanya Aldi membuka keheningan.      Celline mengerjap beberapa kali karena tidak begitu memahami arah pembicaraan Aldi. Aldi memahami tatapan mata bingung Celline dan mengulangi pertanyaannya.      “Maksudku, apakah kau pernah mencoba bunuh diri sebelumnya?”      Celline menghela nafasnya dalam-dalam dan ia mengangguk.      “Beberapa kali,” jawabnya sambil menerawang mengingat kejadian bunuh diri pertamanya. *** Flashback On      “Kue… kue… kue enak… kue enak… siapa mau beli?” seru Celline dari atas sepedanya yang membawa beberapa tumpuk kotak berisi kue buatan Marriane. Ia berjalan menyusuri kampungnya yang sempit itu berharap ada orang yang bersedia membeli kuenya.     Di depan sebuah rumah ia melihat ada sepasang anak SMA sedang berduaan. Sang gadis baru saja menerima bunga dari sang pria lalu ia tersipu malu.      “Maukah kau jadi pacarku?” tanya sang pria yang kini sudah berlutut dengan satu kakinya sambil memegang tangan gadis itu. Gadis itu tersenyum dan mengangguk dengan cepat lalu memeluk sang pria.      Celline mengamati pemandangan itu dan berkhayal jika seandainya gadis itu adalah dirinya. Memiliki seseorang yang mencintainya, memberikan perhatian padanya dan bersikap semanis pria itu. Ah, betapa indahnya dan betapa bahagianya! Ia terus berkhayal hingga tak menyadari ada dua orang gadis sebayanya yang saat ini tengah memperbincangkannya.      “Eh, kau lihat dia?” seorang gadis seusia Celline dengan rambut dikuncir dua berbicara dengan sahabatnya. Sahabatnya itu langsung mengangguk.      “Itu bukannya murid di sekolah kita?”      “Iya… kau tau? Dia itu sudah miskin, hanya bisa berjualan kue, tidak punya Papa, dan tidak punya teman. Dan, kabarnya lagi kemarin ia dipanggil kepala sekolah karena menunggak SPP 3 bulan. ckckck… kasihan!” kata gadis berkuncir dua itu. Dan, kata-katanya barusan didengar oleh Celline. Entah mengapa kata-kata itu menyakiti hatinya. Ia menangis lalu menyingkir dari tempat itu.      Ia melajukan sepedanya dan menyadari bahwa obrolan kedua orang itu tentang dirinya memanglah benar adanya. Hidupnya begitu menyedihkan, tanpa ayah, tanpa teman, miskin, penjual kue keliling dan sekolah pun sepertinya juga tidak menginginkan kehadirannya yang tidak bisa membayar SPP. Semua pikiran itu membuat dadanya sesak. Mengapa hidupnya begitu mengenaskan? Mengapa hidupnya tidak bisa bahagia? Ini semua bermula dari Ibunya. Jika ia tidak mengusir ayahnya, maka ini semua tidak akan terjadi.      Sesampainya di rumah…      “UNTUK APA AKU HIDUP, MA? UNTUK APA??? HIDUPKU BEGITU SENGSARA! SEMUA TEMAN MENJAUHIKU KARENA AKU TIDAK MEMILIKI APAPUN. HIKS-“ jerit Celline pada Marriane.      “LALU KAU BISA APA HAH? MASIH BERSYUKUR KAU BISA SEKOLAH, KAU BISA HIDUP. SADARLAH, CELLINE!!!”      PLAKKK!!!!  Sebuah tamparan hangat melayang ke pipi Celline. Gadis itu memegangi pipinya yang memanas. Ia masuk ke dalam kamarnya lalu keluar dengan membawa sebuah cutter di tangannya. Ia menodongkan cutter itu ke hadapan Marriane.      “MAU APA KAU, CELLINE?”      “MAMA TANYA AKU BISA APA? LEBIH BAIK AKU MATI DARIPADA HIDUP TIDAK BAHAGIA SEPERTI INI!” Celline menyayat lengannya beberapa kali. Marriane membelalakkan matanya lalu berlari ke arah Celline dan merebut cutter itu dari tangan putrinya.      “BODOH! ANAK BODOH!” Marriane lalu menampar Celline berulang kali agar putrinya sadar apa yang diperbuatnya saat ini adalah kebodohan. Namun ternyata semua tamparan itu menimbulkan luka di hatinya yang akan terus menganga, entah sampai kapan.  Flash back end.      Celline mulai meneteskan air mata mengingat semua kejadian masa lalunya itu. Aldi melihat Celline yang kembali meneteskan air mata. Tapi, ia tidak ingin menginterupsi luapan emosi Celline. Ia mulai mengoleskan obat itu di lutut Celline perlahan namun ia melihat Celline meringis kesakitan lalu menghapus air matanya.      Sekarang giliran lengan belakang dan punggung Celline yang tergores karena duri. Aldi tidak tahu bagaimana harus memulai. Ia harus benar-benar menahan gejolaknya untuk tidak berbuat yang tidak-tidak pada gadis rapuh ini karena sebentar lagi ia akan melihat pemandangan yang sangat bisa membuatnya jatuh dalam nafsu lelakinya.      “Eng… Celline, punggungmu harus diobati. Maafkan aku… sepertinya kau harus melepas sebagian kemejamu,” kata Aldi sambil meneguk ludahnya.      “Ah… aku akan lakukan itu sendiri,” kata Celline sambil mengambil antiseptik dan cotton bud itu dari tangan Aldi. Celline mencoba untuk bangun dan berjalan agak tertatih ke depan kaca besar di depan lemari pakaian Aldi. Aldi memalingkan wajahnya ke arah yang lain dan berusaha tidak menoleh ke arah Celline. Ia menggaruk tengkuknya walau tidak terasa gatal. Sekuat apapun ia mencoba bertahan, sudut matanya tetap tidak bisa lepas dari bayangan Celline di kaca. Ia begitu… seksi.      Celline melepaskan kancing kemejanya perlahan, melorotkan sebelah lengannya, lalu mengambil antiseptic dan meneteskannya di atas cotton bud lalu sedikit menengok ke belakang. Ketika ia hendak mengoles antiseptic itu, tangannya ternyata tidak cukup panjang. Ia berusaha menjangkau bagian lukanya tapi tangannya tak cukup panjang untuk menggapai tempat luka itu.      “Eng… Kak Aldi, kurasa aku butuh bantuan,” Celline meminta tolong. Aldi meneguk ludahnya sebelum akhirnya berjalan ke arah Celline dan mengambil antiseptic itu. Mati-matian ia menahan gejolaknya melihat leher jenjang, putih dan mulus serta punggung Celline yang berhias tali bra merah terpampang jelas di depan Aldi. Ia meneguk ludahnya berkali-kali melihat pemandangan itu. Bagaimanapun ia tetaplah pria normal yang bisa terangsang hanya karena hal ini. Ia mengoleskan obat itu perlahan dan membuat Celline sempat berjingkat dan mengaduh karena perih.      Sambil mengoleskan dengan lembut, Aldi sudah berimajinasi yang bukan-bukan. Ia ingin sekali membalikkan badan Celline saat ini lalu melumat bibirnya dengan penuh gairah kemudian menjelajah setiap inci tubuh Celline, mengelus dan mencumbunya. Lalu…      “AAAHH!!! Kak Aldi sakit!” jerit Celline karena Aldi tidak sadar menekan keras cotton bud itu di luka Celline. Aldi tersadar dari imajinasi kotonya.      “Maafkan aku… aku akan melakukannya perlahan.”      Rivaldi bodoh! Hentikan semua imajinasimu, Bodoh!!! Ia merutuki dirinya yang sudah berpikir m***m itu. ***  Di rumah Celline,  Marriane terlihat mondar-mandir sedari tadi. Jam sudah menunjukkan pukul setengah satu pagi dan putrinya belum ada tanda-tanda untuk pulang. Dalam hatinya begitu cemas. Jika selama ini orang melihat ia sebagai sosok yang sepertinya tidak peduli dengan putrinya, sebenarnya yang terjadi sebaliknya. Ia sangat peduli. Buktinya, ia masih berusaha memikirkan masa depan putrinya. Ia masih cemas akan banyak hal tentang putrinya, termasuk jika ia tidak pulang tepat waktu seperti ini.      Ia mencari-cari nama di daftar kontaknya yang bisa ia hubungi untuk mengetahui posisi putrinya. Ia sudah mendapatkan kabar dari Brandon kalau Celline tiba-tiba minta turun di sebuah minimarket karena mau menginap di rumah Fabby. Marriane sudah menelepon rumah Fabby namun panggilannya berakhir karena terhubung dengan kotak suara.  Ia mencoba menghubungi Fabby dan Fabby mengatakan bahwa ia sedang di luar kota. Fabby mengatakan dirinya sempat dihubungi oleh Celline tapi entah mengapa Celline sepertinya bersikeras untuk menginap di rumahnya. Lalu sambungan itu terputus. Fabby tidak tahu keberadaan Celline.      “Di mana kau, Celline? Apa kau baik-baik saja?” Marriane terus merapalkan doa agar Tuhan menjaga putrinya. Ia terduduk di sofa di ruang tengah sambil memejamkan matanya sejenak. Tak terasa ia tertidur karena lelah.  ***     “Terima kasih, Kak Aldi,” kata Celline sambil mengancing kembali kemejanya. Aldi menghela nafas lega karena ia berhasil menjaga agar nafsunya tidak mengambil alih otaknya dan melakukan yang tidak-tidak pada gadis rapuh ini.      Aldi melihat jam dan jam sudah menunjukkan setengah satu pagi.      “Celline, ini sudah sangat larut, apakah Ibumu masih terbangun untuk membukakanmu pintu?”      “Eng aku tidak yakin… atau… apa bisa aku meminjam ponsel untuk menghubunginya?”      “Sure!” jawab Aldi sambil menyerahkan ponselnya pada Celline. Celline menekan-nekan tombol dan melakukan panggilannya. Namun, panggilan itu sepertinya tidak diangkat oleh Marriane. Ia mengulangi panggilan itu hingga 3 kali namun tidak mendapatkan jawaban.      “Aku rasa Ibuku sudah tertidur. Aku takut jika membangunkannya,” kata Celline sambil mengembalikan ponsel Aldi.      “Hari sudah sangat larut, aku rasa sebaiknya kau bisa menginap di sini atau kau ingin membangunkan Ibumu yang pasti sudah terlelap?” tawar Aldi.      “Hah? Me-menginap di – di sini?” seketika pikiran negatif itu muncul lagi di otak Celline. Ia tidak mengenal Aldi sebelumnya dan bagaimana jika ia memang punya niat buruk padanya. Celline was-was.      “Sudah kukatakan jangan berpikir negatif. Kau tidurlah di kamarku dan aku di sofa luar. Am I clear?’ jawaban Aldi membuat hati Celline lega. Ya setidaknya ia tidak akan bersentuhan fisik dengan Aldi yang memungkinkannya melakukan yang tidak-tidak padanya. Aldi segera mengambil sebuah bantal di dalam lemari kemudian keluar dari ruangan.      Celline berjalan tertatih ke arah ranjang dan duduk di pinggirnya. Ia tersenyum karena Aldi begitu baik padanya. Ia begitu gentle. Entah mengapa hatinya menghangat mengingat semua pertolongan yang Aldi berikan untuknya.      Kak Aldi, terima kasih.      Ia merebahkan badannya di atas Kasur Aldi dan mencoba menutup matanya. Entah hari apa ini, Celline tidur lebih awal dari biasanya.      Bagaimana dengan Aldi? Ia sudah merebahkan badannya di atas sofa depan televisi. Memutar badannya ke berbagai sudut, mencoba memejamkan matanya tapi ia tetap tidak bisa tidur. Sedari tadi, entah mengapa otaknya memutar badan Celline yang ia lihat. Ia membayangkan bagaimana indahnya badan Celline, paha putihnya yang mulus, leher jenjangnya yang entah mengapa begitu menggoda, belum lagi senyumannya yang walaupun sekilas tapi mampu membuat Aldi ingin menciumnya.. Ahhhh!!! Bisa-bisanya ia berpikiran kotor. Tapi, ia segera menampik pikirannya namun sepertinya hasrat gairahnya yang menang.      “Sial..,Sial… Sial! Mengapa gadis itu begitu melekat di otakku???”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD