LDR 3

1010 Words
        Kini hari-hariku akan disibukkan dengan kegiatan event kami, memang selasa kamis sabtu jadwal kami buat latihan tetapi itu hanya latihan intern seksi acara. Tetapi di hari lain kami gunakan untuk rapat membahas keseluruhannya atau mempersiapkan yang lainnya.         Sama halnya dengan malam ini kami baru saja selesai latihan pukul sepuluh malam. Lebih lama dari biasanya karena tadi sedikit ada insiden sehingga untuk memulainya lama. Kami saja juga belum sempat makan tadi karena insiden itu. Saat di lagu terakhir HP ku berbunyi dan aku permisi untuk mengangkatnya karena Mas Barralah yang menelvonku. “Hallo Mas Barra.” Sapaku. “Kamu dimana?” “Lagi di rumah temen.” “Ngapain? Kamu ga ada bilang kalau mau ke rumah temen kamu. Kamu juga belum pulang jam segini” Aku menghela nafas, aku lupa untuk mengabari Mas Barra. Walaupun Mas Barra jarang membalas chatku tetapi biasanya aku selalu bilang kemanapun aku pergi. Aku berpikir dengan mengatakan apa yang kulakukan dan kemana aku pergi akan membuat Mas Barra yakin dengan yang kulakukan disini. “Kamu juga beberapa hari ini malam ga pernah chat dan bilang kalau kamu udah pulang. Emang kamu pulang jam berapa?” Aku juga lupa untuk mengabarin Mas Barra soal itu karena saat malam aku selalu langsung tidur. Aku juga belum bilang kalau aku mengikuti event di kampus. “Mas Barra, Aku ikut event di kampus jadi panitia. Aku jadi seksi acara dan jadi backing vocal, jadi seminggu tiga kali kita latihan dan pulangnya malam. Maaf ya gabilang sama Mas Barra, aku beneren lupa.” Baru kali ini Mas Barra bertanya sedetail dan sedingin ini. Walaupun Mas Barra cuek tetapi Mas Barra ga pernah punya nada dingin seperti ini. “Kok tumben kamu mau ikutan jadi panitia, biasanya juga ga pernah. Jam berapa kamu pulang biasanya?” “Jam 10 Mas.” “Mas ga pernah tahu kalau kamu jago bohong sekarang.” Kan Mas Barra tahu kalau aku bohong, aku gatau darimana Mas Barra tahu kalau aku lagi bohong. “Iya jam 11 malam. Udah dong Mas Barra jangan gini.” “Kamu juga ga bilang sama Bunda kalau hari ini ga bakalan datang?” “Astagah Mas, aku beneren lupa kalau hari ini hari selasa.” Kali ini aku bener-bener lupa bahwa hari ini hari selasa. Aku bahkan sampai lupa kebiasaanku. Aku mendengar Mas Barra menghela nafasnya disana. “Udah jam segini sekarang kamu pulang. Mas tunggu setengah jam lagi dan Mas berharap kamu udah dirumah. Nanti Mas telvon lagi.” Mas Barra langsung mematikan telvonnya dan membuatku sedikit gelisah. Ini pertama kalinya Mas Barra bersikap seperti ini padaku, mungkin apa ini bisa dibilang pertengkaran? Kalau iya berarti ini adalah pertengkaran pertama kami. Aku langsung menghampiri teman-temanku dan mengambil tasku. “Aku pulang duluan ya. Udah disuruh balik nih.” “Muka kamu kenapa lesu gitu?” Teman tim acaraku menanyakannya padaku. “Masmu marah ya karena pulang jam segini?” “Yaelah masih juga jam sepuluh belum terlalu lama.” “Yaelahh Mas Barra tukang ngatur ternyata.” Aku hanya tersenyum saja dan tidak membalas perkataan mereka. “Mau dianterin ga?” Arvin menyuarakan pendapatnya. “Gausah bisa sendiri kok. Duluan ya.” Setelah itu aku langsung pulang ke rumah. Dalam perjalanan aku terus memikirkan apa yang akan Mas Barra katakan, aku bersyukur sampai rumah dengan selamat dan tidak kurang suatu apapun. Aku langsung membersihkan diri, setelah itu aku melihat ada dua panggilan tak terjawab dari Mas Barra maka aku menelvonnya kembali. “Hallo Mas, Aku baru selesai mandi tadi.” “Udah makan?” “Udah.” Kali ini aku benar-benar bohong, mana mungkin aku mengatakan bahwa aku belum makan. Bisa habis aku malam ini. “Yaudah kalau gitu kamu istirahat jangan lupa doa.” “Iya Mas Barra juga. Mas Barra maaf ya.” “Hmmm.” “Oh iya Mas Barra jadwal aku hari selasa kepake buat latihan. Boleh ga ke rumah Bundanya diganti hari aja?” “Terserah kamulah.” Setelah mengatakan itu Mas Barra langsung mematikan telvonnya. Sepertinya aku salah lagi, kenapa sih harus hari selasa? Yang penting aku datang bukan? Yasudahlah kali ini aku memang benar salah. Besok aku akan meminta maaf untuk hal itu.   ***** Ke esokkan harinya, aku kembali ke kampus dan hanya masuk mata kuliah yang kedua. Mata kuliah pertama aku tidak ikuti padahal itu mata kuliah Bunda Tania. Karena tadi pagi perutku sakit karena tidak makan tadi malam. Aku sedikit menyesal karena tadi malam melewatkan makan malamku. Maka saat ini aku berada di kantin setelah mata kuliah yang kedua. Monica yang merupakan teman dekatku di kampus temanku saat ini makan. Aku mengernyitkan keningku karena melihat Mas Barra menelvonku, tidak biasanya Mas Barra menelvonku jam segini apalagi keadaan tadi malam kami yang sedikit tidak enak. “Kenapa Mas Barra?” Tanyaku langsung. “Kamu dimana?” “Ini lagi dikampus mau makan siang.” “Kata Bunda kamu ga masuk kelas tadi. Kenapa?” “Oh itu aku telat bangun hehe.” Aku memaksa untuk tertawa padahal ga perlu untuk ditertawakan. “Kenapa sekarang kamu jadi suka bohong ya.” Aku menggaruk kepalaku yang ga gatal sebenernya, Monica datang membawa pesanan makanan kami dan menanyakan siapa yang sedang menelvonku, maka aku menjawabnya dengan bahasa komat kamit dan ia bertanya kenapa. “Maaf Mas. Perutku sakit.” “Datang bulan lagi? Sepertinya dua minggu lalu kamu baru datang bulan.” Mas Barra tahu bahwa ketika datang bulan aku akan sunggugut sangat parah bahkan dia menghitungnya? Wah luar biasa. “Bukan.” “Kamu bohong soal makan malam?” “Maaf Mas Barra.” “Dalam satu malam Mas terus mendengar kamu berbohong.” Aku menggigit bibirku. “Aluna!” Aku melihat ke arah yang memanggilku dan aku menemukan Arvin datang. Bahkan seluruh isi kantin melihat ke arah Arvin yang menemuiku. “Tadi aku kerumah, kamu udah ga ada. Di kelas kamu juga ga ada. Temen kamu bilang kamu dikantin. Aku mau pulangin powerbank.” Aku hanya membalasnya dengan tersenyum, aku yakin Mas Barra juga mendengar Arvin. Apakah Mas Barra cemburu? Apa mungkin Mas Barra cemburu? Tapi sejak kapan Arvin mengganti panggilannya? Kayaknya semalam dia masih ngomong lo gue, dan sekarang aku-kamu. Ia tidak mau memusingkan hal itu karena saat ini ada yang lebih genting Mas Barra! “Maaf Mas Barra. Aku janji ga akan gitu lagi.” “Mas suka dengan kejujuranmu, dan kali ini Mas gatau kenapa kamu berbohong.” “Iya maaf, aku hanya takut Mas Barra marah tadinya. Udah dong jangan gini lagi.” “Kamu ke rumah Bunda nanti, kamu pasti belum bilang ke Bundakan.” “Iya nanti aku kesana. Mas Barra sudah ga marah lagikan?” “Jangan diulang, udah dulu ya Mas mau ketemu sama dosen.” “Oke Mas.” Setelah mengatakan itu Mas Barra mematikan telvonnya dan aku tersenyum pada Arvin. “Sorry Vin, makasih ya udah anterin.” “Oke aku cabut dulu ya.” Arvin kembali pergi. “Kenapa doi marah?” Tanya Monica aku hanya tersenyum membalas hal itu. Aku tidak ingin terlalu mengumbar tentang hubunganku dengan Mas Barra.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD