Erland terbangun, biasanya dia sudah mencium aroma masakan dari dapur tapi hari ini terasa hening. Dia keluar dari kamar menuju dapur. Erland melihat sebuah tas bekal lalu dia teringat ucapan resepsionis nya.
"Vanessa datang ke kantor pasti membawa tas bekal ini. Arghhh...... sial. Gue harusnya memprediksi kemungkinan ini tapi gue nggak berharap dia mengetahui hubungan gue dan Cindy secepat ini. Peduli amat....., gue yakin dia pasti setuju dengan kesepakatan yang gue tawarkan kecuali kalau dia ingin kakeknya mati."
Kembali ke taman.
"Ini..., minumlah."
Vanessa mengarahkan pandangannya ke suara itu.
"Pak Mario...."
"Kamu pernah dengar istilah Walau sedih butuh tenaga."
Vanessa tersenyum tipis.
"Saya tidak sedang sedih hanya kangen rumah di Jakarta."
"Kamu pasti kangen orangtuamu, saya bisa mengantarmu ke Jakarta."
"Saya anak yatim piatu. Saya tinggal sama kakek di sana."
"Maaf, saya tidak bermaksud."
"Tidak apa."
"Saya tahu tukang bubur ayam yang mangkal pagi hari. Buburnya enak. Bagaimana kalau kita makan bubur disana?"
Vanessa memang merasa lapar, jadi daripada perutnya berbunyi lagi di depan Mario, dia menerima ajakan Mario.
(Benar kata Mario, sedih juga butuh tenaga untuk melewati ujian ini, batin Vanessa.)
Vanessa makan dengan lahap dan berusaha menahan air matanya. Mario pura-pura tidak melihatnya.
"Kamu mau nambah?"
"Tidak, makasih. Saya sudah kenyang."
Setelah istirahat sebentar, mereka berjalan pulang dan tak terasa telah sampai di depan rumah.
"O iya, tawaran saya masih berlaku, saya siap mengantar kamu."
Vanessa hanya membalas dengan senyuman. Pemandangan itu dilihat oleh Erland yang baru saja membuka pintu. Dia sudah berpakaian rapi hendak pergi ke kantor. Tatapannya berubah dingin.
"Sepagi ini, kamu kemana? Bukannya ngurusin keperluan suami malah kepergok mengumbar senyum ke sembarang pria."
Vanessa tidak percaya dengan kalimat yang baru dilontarkan Erland. Kalimat yang seakan memojokkan dia. Vanessa tidak ingin berdebat di luar jadi dia tidak menggubris Erland. Justru Mario yang membalas Erland.
"Hai Bro, sepertinya ini pertama kali kita bertemu, saya tetangga di seberang Anda. Perkenalkan Mario."
"Erland Hutama, pemilik AntLand Bakery. Toko Bakery ternama dan memiliki banyak cabang di berbagai daerah. Di sini saja cabang kami ada 32 cabang."
"Sorry Bro, saya bukan penggemar bakery, jadi tidak pernah dengar."
Mario melambaikan tangan lalu meninggalkan Erland yang geram dengan ucapannya. Erland pun menaiki mobil dan pergi berlalu.
Telepon yang di tunggu Vanessa akhirnya berdering. Panggilan masuk dari Lidya.
"Iya Lid, bagaimana hasilnya? Kakekku baik-baik saja kan."
"Maaf Ness, bukan kabar baik yang akan kamu dengar. Kakekmu terkena gagal ginjal stadium 4 dan harus operasi transplantasi secepatnya."
Tubuh Vanessa seketika lemas, kakeknya benar sakit. Erland berkata yang sebenarnya.
"Ness.... Ness...., kamu baik-baik saja."
Lidya panik karena Vanessa hanya diam saja.
"Iya Lid, aku nggak apa-apa. Lalu bagaimana keadaan kakek sekarang?"
"Kakekmu sedang di rawat inap di rumah sakit Kita Sehat di ruang VIP. Tapi Ness, wali dari kakekmu adalah suamimu. Apa suamimu tidak memberitahu kalau kakekmu sakit?"
Vanessa bingung harus menjawab jujur atau mengarang cerita tetapi tidak mungkin dia mengatakan yang terjadi.
"Begini Lid, sepertinya kakek meminta Mas Erland untuk merahasiakan penyakitnya dari aku. Kakek pasti tidak ingin aku khawatir."
"Oo begitu. Iya aku paham. Lalu bagaimana sekarang?"
"Aku akan mengunjungi kakek secepatnya. Tapi Lid, untuk sementara ini, bisakah aku memintamu untuk memantau perkembangan kakekku?"
"Tentu Ness, aku akan selalu menginfokan perkembangan beliau di sini. Jadi, kamu jangan terlalu cemas."
"Makasih ya Lidya."
"Sama-sama. Sudah dulu ya Ness, pekerjaan sudah menanti."
Mereka menutup telepon.
Erland mampir ke apartemen Cindy sebelum menuju kantor. Dia menceritakan kejadian semalam. Reaksi Cindy di luar dugaannya, justru Cindy senang Vanessa mengetahui hubungan mereka. Jadi, mereka tidak perlu sembunyi-sembunyi untuk bertemu.
"Ini kabar gembira sayang. Kita bisa bebas bertemu sesering mungkin tanpa di ganggu."
"Iya aku ngerti tapi tetap saja kita harus hati-hati dengan mata dan telinga yang lain. Juga Nessa yang bisa kapan saja membongkar hubungan kita."
"Sayang, aku yakin dia pasti setuju dengan kesepakatan yang kamu tawarkan. Dia tidak akan macam-macam."
"Aku juga berharap demikian."
"Aku belum sarapan dari rumah. Bisa tolong kamu buatkan sayang."
"Aku pesenin online ya sayang. Kamu kan tahu aku tidak pernah ke dapur nanti kuku aku rusak sayang. Kamu mau makan apa?"
"Iya teserah kamu saja."
(Kalau Vanessa tidak mungkin memperhatikan kukunya tapi gue harus akui masakannya enak, batin Erland.)
Vanessa memenjamkan mata, memikirkan langkah yang harus diambil. Setelah mempertimbangkan segala sesuatunya, Vanessa membuat keputusan.
Malam telah tiba, seperti biasa Erland pulang telat. Vanessa tidak mempertanyakan bahkan lebih tepatnya sudah tidak peduli dengan apa yang Erland lakukan di luar sana. Sejak hari pertama menikah, ternyata Erland telah menodai sendiri janji suci yang dia ucapkan di depan altar.
Erland menghampiri Vanessa yang memang tengah menunggunya.
"Bagaimana sudah kamu pikirkan baik-baik tawaranku?"
"Baik Mas, aku tidak akan memberitahukan perselingkuhanmu kepada siapapun tetapi Mas harus menemukan donor ginjal secepatnya. Aku juga ingin segera mengunjungi kakek dan kembali ke Jakarta."
"Eitssss, tunggu dulu. Kamu tetap harus tinggal di sini bila kamu kembali ke Jakarta, Papi Mami pasti minta aku balik juga. Dengar, aku sudah memfasilitasi perawatan terbaik untuk beliau. Aku rasa perawat dan dokter di sana bisa diandalkan. Keberadaanmu di sana juga hanya membebani pikiran beliau."
(Perkataan Erland ada benarnya, dia harus sabar, menunggu waktu yang tepat untuk mengunjungi kakeknya, batin Vanessa.)
"Baiklah, tetapi Mas harus terus memberikan informasi perkembangan kesehatan kakek secara rutin."
"Masalah sepele itu yang penting kamu tutup mulut. Kalau sampai terbongkar, kita hancur sama-sama."
"Aku juga punya satu permintaan lagi Mas."
"Aku ingin bekerja. Aku tidak mungkin seharian di rumah ini tanpa melakukan kegiatan."
"No, no, no, tidak boleh. Kamu itu istri pengusaha ternama. Kamu harus menjaga citra keluarga. Papi Mami juga tidak akan setuju. Lakukan kegiatan rumah tangga seperti biasa. Aku juga tidak mau jadi bahan gujingan tetangga. Kita harus tunjukkan rumah tangga yang harmonis dan romantis biar Papi Mami percaya aku layak menjadi penerus."
Vanessa tidak punya pilihan, ini demi kakeknya jadi dia menuruti keinginan Erland.
"Semoga keputusanku ini tepat ya Tuhan. Beri aku kekuatan dan ketegaran untuk bisa melalui ujian ini."
Mulai malam ini, Vanessa pindah ke kamar tamu. Meskipun Erland tidak pernah menyentuhnya tetapi Vanessa tidak sanggup tidur dengan pria yang telah bermain di belakangnya.
Erland berharap ada sarapan pagi hari ini. Tetapi Vanessa tidak ada di rumah.
"Kemana dia?", kesal Erland.
Erland lalu bersiap ke kantor dan lagi-lagi dia melihat Vanessa baru pulang dari lari pagi bersama Mario.
" Pagi Mas, sudah mau berangkat ya. Mas sudah kenal dengan Pak Mario kan, tetangga kita. Kata beliau lari pagi itu bagus untuk mengurangi stress jadi mulai hari ini aku akan rutin lari pagi."
(Apa maksud kata-katanya?, batin Erland kesal.)
"Hati-hati di jalan Mas. Aku masuk dulu."
"Pak Mario, mari."
Setelah Vanessa masuk ke rumah, Erland menghampiri Mario.
"Istri gue memang perlu banyak olahraga biar terlihat fresh. Elu lihat sendiri kan memang dia kurang menarik sih."
Mario marah dengan ucapan Erland yang terlampau kasar. Mario pun langsung membungkam Erland.
"Bro, wanitamu cantik di mata pria lain.", sambil mengedipkan mata lalu meninggalkan Erland.
Erland mengepalkan kedua tangannya.