Bab 5: Aggreement

1003 Words
Takdir terlalu sering menjebak Ayana. Setelah ia memutuskan meninggalkan rumah Seavey, Pagi ini Naomi justru datang ke rumah itu. Membujuk Ayana agar tetap tinggal sebagai agen pembersih di rumah Seavey. "Aku mohon agar kaupikirkan keputusan ini lagi, Ayana." Naomi menatapnya penuh harap. Seandainya Seavey yang memohon, mungkin Ayana akan... mempertimbangkannya.  "Dia mempermainkan perempuan, di b******n. Dan aku seorang perempuan, Naomi! Aku merasakan sakit saat sesamaku disakiti di depan mataku." tegas Ayana. Alasan feminis itu terdengar jauh lebih logis ketimbang ia mengatakan tak mau melihat sisi buruk seorang Seavey. "Ini terlalu konyol untuk jadi alasan, Ayana. b******n itu murni sifat lelaki. Suamiku pun seorang bajingan.” Naomi menyela. “Bukan itu alasan kau mau pergi." Naomi menambahkan. Ayana sulit menelan liurnya hanya karena pernyataan itu.  "Kau menyukai Seavey, ia 'kan? Kau memutuskan berhenti bekerja karena tidak mau mencintai orang jahat, ia 'kan?" Pertanyaan Naomi sangat menusuk. Pertanyaan itu setidaknya mewakili pemikiran Ayana. "Tidak. Aku tidak menyukai dia." lirih Ayana. Ada setetes air mata untuk satu kalimat pendek itu. Dan hal itu justru menegaskan kalau apa yang dikatakannya bohong. "Lalu kenapa kau menangis? Semalam pun kau menangis saat berbicara pada Seavey. Jelaskan maksud dari semua itu Ayana!" Ayana mendongaki Naomi. Benar, kenapa harus ada air mata yang menetes di sudut matanya? Kenapa? Ayana bergeming, walau rasanya ingin menyangkal setiap pernyatan Naomi yang menghakiminya.  "Lihat. Kau tidak bisa menjelaskannya 'kan? Jujurlah, aku sudah membaca hatimu beberapa hari lalu. Kau menyukai Seavey tetapi tak menyadari hal itu." Naomi menghela napas lalu melanjutkan kalimatnya. "Awalnya aku sudah menegaskan agar kau tidak jatuh cinta pada Seavey. Namun tampaknya kau sudah jatuh cukup jauh. Sekarang aku malah berpikir bahwa dengan hadirnya kamu, mungkin Seavey bisa merubah pola hidupnya termasuk hyper s*x itu." Ayana menggeleng asal, tidak tahu apa yang sebenarnya ingin ia sangkal. "Aku... aku tidak bisa." Ayana mengangkat wajahnya ke arah langit-langit sembari menutup matanya. Ini berat, sangat berat untuk ia pelajari. "Aku hanya ingin bahagia. Itu saja." Kalimat itu terlontar begitu saja di mulut Ayana. "Bahagiamu ada di sini, Ayana. Katakan padaku, apakah kau senang saat bersama Seavey? Apa kau ingin selalu di dekatnya?" Naomi menanyakan hal yang cukup memalukan bagi Ayana. Seperti menanyakan berapa pembalut yang ia pakai saat sedang mengalami menstruasi. Sangat menggelikan di telinga Ayana. "Ada atau tidaknya Seavey aku senang berada di sini karena aku bekerja bersama keringatku. Aku ingin berada di dekat Seavey karena di sini hanya ada aku dan dia. Aku kesepian jadi aku butuh teman bicara." Ayana mengangkat tangannya tidak jelas. Memegangi rambutnya dengan kedua tangannya yang kecil. Dia kaku... "Jadi intinya kau masih mau bekerja dengan dia?" Naomi berharap jawaban ia dari Ayana. Hanya saja, Ayana malah mengangkat bahu. "Aku masih ingin di sini. Bersama kedamaian bukan keburukan. Aku mau tenang, hanya itu." "Jadi kau mau bekerja asal Seavey tak memperlakukan perempuan dengan buruk di depan matamu lagi?" Ayana mengiakan. Naomi menyarankan agar Ayana tetap bekerja hari ini. Dan Naomi berjanji akan bicara pada Seavey mengenai apa yang dimaui Ayana. Setelah itu, Naomi pamit pergi, namun ditahan oleh Ayana. Ada sesuatu yang membuat perempuan itu penasaran. "Ada apa?" tanya Naomi. Ayana menggaruk keningnya. Merasa ragu apakah harus menanyakannya atau tidak. "Aku masih penasaran bagaimana kau tahu aku menangis di depan Seavey semalam. Apa dia menceritakannya?" Ayana penasaran.  Naomi cengar-cengir, "Benar. Semalam dia sedikit membahasnya denganku. Dan kau tidak perlu malu akan hal itu. Menangis itu manusiawi, siapa pun pernah melakukannya. Bayi akan menangis kalau dia tidak tahu harus berbuat apa lagi." Naomi mengamati ekspresi Ayana. Jelas sekali perempuan itu malu. Bagaimana tidak, kenapa dia harus menangis waktu bilang mau berhenti bekerja? Seperti gadis cengeng saja.. Ayana masih diam saat Naomi benar-benar lenyap dari pandangannya. Bodoh ... bodoh ... bodoh.. Ayana mengutuk dirinya sendiri. *** Dua jam sepuluh menit menjadi waktu yang bisa Ayana habiskan untuk membersihkan rumah tuan besarnya. Tidak banyak yang dibersihkan, hanya mengepel ulang lantai yang sudah licin, atau menyetrika pakaian yang sudah rapi. Yang jelasnya kolam renang yang kotor itu menjadi pekerjaan terberatnya. "Kau tidak ada kuliah?" Pertanyaan Seavey mengagetkan Ayana yang sedang melipat pakaian. Ayana sedikit heran mengapa Seavey pulang lebih awal. Biasanya pria itu muncul kalau sudah sore atau malam. "Tidak ada jadwal kuliah hari ini." jawab Ayana. Seavey menganggukkan kepalanya. Dia membuka satu kancing kemejanya. Menghela napas panjang dan mengambil duduk di kursi plastik di ruangan menyetrika. "Apa aku harus mengangkat sofa untukmu?" Ayana mungkin terlalu peka sampai mengajukan pertanyaan gila itu. Membuat Seavey tergelak. "Memangnya kau bisa?" Ayana menggeleng. "Tidak. Cuma aku tidak nyaman melihat seorang bos duduk di kursi plastik." "Begitukah? Kalau begitu, bagaimana kalau kau menyetrika di ruanganku saja? Agar aku bisa bicara denganmu." Ayana heran. Membuka mulutnya lebar-lebar. "Maksudku aku mau bicara masalah kontrak pekerjaan. Kejelasan statusmu sebagai agen pembersih." Ayana membulatkan bibirnya. Memang tidak ada alasan lain mereka harus bicara. Ingat Ayana! Kau hanya agen pembersih dan Seavey tuan rumahnya. "Benar, aku akan menghentikan kegiatan ini. Kita bicara di ruang tengah saja." usul Ayana. Terlalu aneh kalau mereka mengobrol di kamar. Hal itu terdengar provokatif dan sensual. Sangat tidak wajar dilakukan keculali mereka memang merencanakannya. "Ya, sudah." Seavey berjalan lebih dulu. Ayana mengekori setelah menyusun rapi beberapa pakaian Seavey.  Map biru serta pulpen hitam disodorkan oleh Seavey ke arah Ayana. "Aku sudah memasukkan syarat yang dikatakan Naomi. Aku tidak akan membawa perempuan di sini. Paling tidak, aku melakukannya di tempat lain yang tidak mengganggumu." Kalimat itu membuat Ayana merasa bersalah. Bagaimana tidak, seorang bos harus menuruti kemauan agen pembersih? Terdengar konyol dan memalukan. Ayana membaca isi kontrak pekerjaan. Sampai alisnya terangkat. "Satu tahun? Bukankah awalnya hanya lima bulan?" Ayana sudah tidak terlalu sibuk kuliah. Dia sudah berada di semester akhir. Sebentar lagi akan wisuda dan tidak akan menjadi agen pembersih lagi. "Aku pikir, aku membutuhkan kamu satu tahun. Aku tidak suka tempat kotor. Kukira satu tahun itu waktu yang singkat. Tapi kalau kau tidak bisa maka aku akan buatkan kontrak baru lagi." cetus Seavey.  Ayana menggigit bibirnya, "Aku menyetujuinya." Setidaknya kalau ia lulus kuliah. Ia masih punya alasan untuk tetap tinggal di New York. Sampai lagi Despacito tidak lagi diputar di kafe-kafe sepanjang jalan. Mungkin? Atau ia tinggal di New York sampai lelaki mendatangi dan menikahinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD