Prolog

761 Words
Prolog Di suatu siang yang terik itu, di bawah langit biru, cahaya matahari menembus ke dalam sebuah kolam. Dua raga itu tenggelam, di tengah ketakutan, rasa dingin dan pandangan yang mulai menghitam. Meski sempat melihat kilasan cahaya, namun keduanya merasakan cahaya itu semakin jauh… jauh… lalu menghilang dan mereka terjatuh semakin dalam. Dua tangan yang tadi saling bertautan, kini terlepas. Sayup-sayup, mereka mendengar suara. Cahaya yang tadi hilang, kini kembali, semakin terang dan menyilaukan. Mereka tidak tahu apa yang terjadi. Namun, apa pun itu, masing-masing mereka berharap dalam hati, bahwa Tuhan masih memberikan mereka kesempatan untuk hidup. *** ~Introduction~ “Pagi, Fujita Naura.” “Pagi, Kak.” “Pagi, Cantik.” “Pagi, Kak.” “Pagi, masa depanku.” “Pagi juga, Kak,” sahut Fuji sewaktu beberapa kakak tingkatnya menyapanya secara bergiliran sejak dia baru tiba di kampus. Haduh, capek deh! Mana senyum mulu dari tadi, sampe gigi gue kering kerontang kayak gini, batin Fuji dalam hati. Tapi, ya, mau gimana lagi? Fuji tidak mau saja kalau image-nya sebagai cewek paling cantik, ramah, dan baik hati di kampus ini jelek di mata mereka, khususnya cowok-cowok keren di kampusnya. So, mau nggak mau, dia harus bermuka dua juga sesekali. Karena kenyataannya, Fuji juga nggak baik-baik banget. Pencitraan, kira-kira seperti itulah yang sering kali Fuji lakukan di depan orang-orang. Fujita Naura adalah model, selebgram dan salah satu cewek paling populer di kampusnya. Cantik, berbakat dan menarik, menjadikannya masuk dalam kategori cewek paling dicari di kampus. Selain itu, Fuji juga lahir menjadi putri tunggal dari keluarga berada. Hidupnya sempurna dan banyak orang yang ingin berada di posisinya. Menjadi mahasiswi Fisip di jurusan ilmu komunikasi adalah keinginannya sejak SMA, karena Fuji memiliki cita-cita menjadi pembaca berita di televisi dan juga sutradara. Tapi, belakangan ini, Fuji tiba-tiba tidak bersemangat untuk mengejar mimpinya karena ada seseorang yang mematahkan semangatnya, yaitu seorang dosen muda bernama Askara Bumi yang di mata Fuji, benar-benar menyebalkan. *** “Hai…. Askara Bumi, ya?” tanya seorang cewek berambut pirang pada cowok dengan mata elang di depannya. Tatapannya datar dan kelihatannya dia tidak tertarik sama sekali. Padahal yang mengajaknya bicara adalah Dinda Maheswari, cewek yang juga populer di kampus tersebut. “Gue Dinda.” Dinda yang dikenal pantang mundur, kini mengulurkan tangannya dengan penuh percaya diri. Dia tahu siapa Askara Bumi. Dia sudah mendengar tentangnya dari teman-temannya. Dosen muda yang berpotensi menimbulkan gelombang tsunami di hati para gadis. Cowok yang bernama Askara Bumi itu pun menatapnya sedetik kemudian kembali melangkah, meninggalkan Dinda dan tangannya yang menggantung di udara begitu saja. Dinda menarik tangannya. Tidak ada raut tersinggung di wajahnya, melainkan ada sebuah senyuman miring. “Mahal banget tuh cowok. Gue suka yang kayak gitu,” katanya kemudian. Aska terus berjalan melintasi koridor untuk mencapai sebuah ruangan. Dan sepanjang perjalanannya itu, ada banyak gadis yang memperhatikannya. Tak sedikit dari mereka terlihat tersipu malu ketika dia melemparkan tatapannya ke arah mereka meskipun hanya sepersekian detik. Tiba-tiba saja seorang gadis muncul di depannya dan tanpa sengaja mereka bertubrukan. Gadis itu hampir terjatuh kalau saja dia tidak menahannya dengan cara memegang pinggangnya. Dan selama momen itu terjadi, ada banyak mata yang melihat ke arah mereka. Dinda mendecakkan lidah. “Gawat, kayaknya gue harus lebih gatel.” Namun tak lama kemudian, Aska tahu-tahu melepaskan Fuji sehingga cewek itu terjatuh dengan bunyi yang cukup keras ke lantai. “Aduh! Kira-kira dong, Pak!” seru Fuji kesalnya minta ampun. “Saya bukan bapak kamu,” kata Aska dengan muka lempengnya. Fuji meniup ujung poninya. “Kalau tadi seandainya kepala saya kebentur terus saya jadi gila atau hilang ingatan, gimana? Bapak mau tanggung jawab?” “Saya sih berharap kalau misalnya kepala kamu kebentur, kamu jadi pinter.” “Kalau emang bisa gitu, udah dari dulu kali saya benturin nih kepala ke tembok!” Fuji bangkit kemudian melenggang pergi dari hadapan Aska. Di mata Fuji, Aska adalah dosen sekaligus tetangga yang ngeselin. Fuji tidak tahu kenapa takdir mempertemukannya dengan cowok super nyebelin kayak gitu. Ganteng sih ganteng, tapi ketus, nggak punya perasaan, tukang nge-judge, sok tahu! Pokoknya semua yang nyebelin ada sama dia! Apa nggak cukup tuh cowok jadi dosennya aja? Kenapa harus jadi tetangganya juga, sih? Takdir bercandanya keterlaluan, deh. Sementara itu, di mata Aska, Fujita Naura hanyalah gadis bodoh yang mengandalkan kecantikannya. Kepopulerannya di kampus hanya dikarenakan wajahnya yang cantik, bukan karena sebuah prestasi yang membanggakan. Aska suka mengetes kemampuannya dan membuatnya tertekan di dalam kelas. Namun, siapa sangka, sebuah kejadian, membuat mereka tiba-tiba terjebak dalam suatu fenomena yang mustahil untuk diterima akal sehat. Dan ini… adalah awal mula bagaimana kisah itu terjadi.... ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD