Chapter 1

1473 Words
Siapa, sih, yang tidak kenal Fujita Naura? Cantik, populer dan lahir dari keluarga kaya raya. Gadis mana pun ingin ada di posisinya walau hanya semalam. Bagaimana tidak? Fuji termasuk salah satu anak sultan yang segala keinginannya akan dipenuhi hanya dengan menyebut dan menunjuknya saja. Semua orang memuji kecantikannya, lebih-lebih para cowok. Selain terkenal di media sosial sebagai selebgram, Fuji juga terkenal di kampusnya. Sejak menginjak remaja, Fuji memang cenderung menonjol di sekolahnya karena memiliki wajah cantik dan kepribadian yang menarik. Jadi, bisa dibilang dia sudah terbiasa menjadi populer. Tapi, jujur saja itu cukup membosankan sih, karena sering kali dia harus bermuka dua di depan banyak orang untuk menutupi sifat aslinya yang sebenarnya. Dan mau tak mau, Fuji tetap harus mempertahankan kepopulerannya sebagai cewek paling cantik dan ramah abad ini, baik itu di dalam kampus ataupun di luar sana. Valid no debat. Setiap langkah Fuji yang melintasi koridor menjadi pusat perhatian banyak orang, khususnya para cowok, baik itu teman satu angkatan atau bahkan kakak tingkatnya. Kesempurnaan seakan menjadi miliknya. Tutur katanya yang lemah lembut dan juga senyumnya yang senantiasa menghiasi wajahnya, menjadikannya semakin terlihat sempurna. “Fuji!” Suara seorang perempuan terdengar memanggilnya dari arah belakang. Tanpa menoleh pun, Fuji mengenali suara itu. Milik Kaila, sahabat baiknya sejak di bangku SMA. Masuk ke fakultas yang sama membuat mereka menjadi semakin dekat. Kaila adalah pribadi yang berbanding terbalik dengannya. Gadis itu terlalu polos, lurus, dan cenderung pemalu. Untuk urusan fashion pun, Kaila tergolong orang yang tidak mau ribet. Kesehariannya, dia selalu memakai kaus berlengan panjang dan celana jins lalu rambut yang selalu di kepang dua. Tak lupa, kacamata tebalnya yang berwarna pink. Oh, ya, satu lagi, ke mana pun dia pergi, dia akan selalu membawa sebuah buku di tangannya. Entah itu buku pelajaran, novel, atau jurnal-jurnal yang menurut Fuji itu benar-benar merepotkan. “Ji, tahu nggak?” seru Kaila setelah tiba di hadapannya. “Enggak.” “Belum.” “Mau gibah apa lagi?” “Ada anak baru katanya ganteng banget.” “Seganteng apa? Standar ganteng gue sama lo kan beda. Lo kambing dikacamatain aja lo bilang ganteng.” “Apaan sih lo, gue serius tau.” Kaila memberengut. “Anak baru dari mana?” “Katanya pindahan dari luar negeri. Sumpah, ganteng banget. Gue barusan lihat.” Kaila mendekap buku yang kali ini entah buku mengenai apa. Yang jelas, buku itu setebal hak sepatu yang sering Fuji pakai. “Fakultas apa tuh dia?” “Nggak tau.” “Ngasih info ngga jelas. Gimana, sih….” “Yang penting itu info soal kegantengannya dia.” “Gantengan mana sama Alden?” “Alden kayak monyet, gue nggak suka.” “Kok kayak monyet. Manis gitu, brewokan. Gemes tau.” “Ih, geli, ah! Gue nggak suka sama cowok yang banyak bulunya kayak gitu.” Fuji melirik Kaila tak suka. “Terus, selera lo kayak mana? Licin kayak lampu taman?” Kaila memandang Fuji dengan bibir cemberut. “Nggak lucu.” “Seganteng apa, sih?” “Ganteng pokoknya.” Fuji mendengus. “Jadi penasaran….” *** Bagi Fujita Naura, di matanya cowok yang dikatakan ganteng itu adalah cowok yang memiliki bentuk tubuh proporsional, yang artinya tinggi dan berat badannya seimbang. Udah gitu, punya wajah yang kalau dipandang tidak membosankan meski dilihat seharian. Jika melirik seorang cewek, maka dia hanya akan melakukannya sekilas. Menurut Fuji, cowok yang seperti itu tuh yang harus diperjuangkan karena dia pasti ‘mahal’ dan limited edition gitu. Dan ketika untuk pertama kalinya Fuji melihat Askara Bumi melintas di depannya, dia tidak bisa mengedipkan matanya lantaran terperangah dengan apa yang dilihatnya dari sosok pria dengan mata elang itu. Sumpah, demi apa! Dia benar-benar ganteng…. Tolong garis bawahi itu. Ada banyak cowok di kampusnya, tapi Fuji belum pernah merasakan yang seperti ini. Jantung berdebar dan rasa bahagia yang tiba-tiba muncul saat melihatnya. Pasti tingkat oksitosin dan dopamin dalam dirinya sedang meningkat sekarang karena melihat wajah nan rupawan cowok bernama Askara Bumi itu. Meskipun demikian, Fuji percaya bahwa setampan apa pun cowok itu, dia akan menjatuhkan pandangannya pada seorang Fujita Naura. Dia yakin seratus persen, kalau cowok mana pun akan tertarik padanya hanya dengan menatapnya saja. Fuji juga yakin kalau hal itu akan berlaku juga pada Aska. Maka pada saat melihat cowok itu berjalan ke arahnya, Fuji mulai menghitung. Dia hanya membutuhkan waktu 4,5 detik untuk membuktikan pria itu tertarik padanya. And here we go… Aska semakin dekat dan bibir Fuji bergerak mengatakan, “Satu, du—eh?” Aska melintas di depannya begitu saja. Dan waktu yang dihabiskan Aska untuk menatapnya hanya satu detik. Seriously??? Bibir Fuji terbuka lebar, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Cowok itu mengabaikannya? Cewek secantik dia? Apa dia nggak tahu kalau Fuji adalah cewek yang termasuk dalam jajaran cewek kampus paling populer? Yang bener aja deh! Kok ngeselin, sih? “Dia ngelihat gue apa nggak, sih, tadi? Satu detik doang? Serius? Buta kali, ya?” *** “Itu anak baru kok songong banget, sih!” kata Fuji setelah masuk ke dalam kelas dan duduk di kursinya. Kaila mendongak, membetulkan kacamatanya dan bertanya, “Anak baru yang mana?” “Ya cowok itulah! Yang lo bilang ganteng banget itu. Biasa aja kok menurut gue,” ucap Fuji lagi, tak sepenuhnya jujur. Dia sudah terlanjur kesal saja sama cowok itu, jadi Fuji nggak mau lagi memujinya. Bisa-bisanya dia mengabaikan Fuji yang tadi berdiri di dekatnya. Yang memalukan adalah, saat itu Fuji sedang melemparkan senyum manis ke arahnya. Eh, tahunya malah dikacangin! Nyebelin! Kalau bisa ditarik, udah ditarik tuh senyumnya! Bikin malu aja! “Memangnya kenapa? Lo udah ketemu sama dia? Kapan? Di mana?” “Lo percaya nggak sih kalau dia cuma ngelihat gue selama satu detik?” Kaila mengerjapkan matanya. “Terus, salahnya di mana?” “Harusnya dia itu ngelihat gue selama empat atau lima detik. Masa iya, dia nggak tertarik sama gue?” Kaila menekan kacamatanya. “Lo masih mending dilihat satu detik sama dia. Lah, gue? Dilihat aja enggak. Padahal gue berdiri loh di depannya dia. Masa iya dia nggak ngelihat gue? Apa bagi dia gue ini makhluk astral kali, ya?” “Gue aja nggak dilirik, apalagi elo,” cetus Fuji kesal. “Ya udah sih lupain aja. Nggak penting juga kan?” “Kesel aja gitu.” “Makanya jangan terlalu berharap jadi orang, kecewa deh. Lo pikir semua cowok bakal suka sama lo? Enggak.” “Hellooo, siapa juga yang ngarep!” “Ya elo.” Fuji mendengus. “Udah ah, nggak mau bahas dia.” “Eh, eh, Ji! Tuh lihat!” Kaila menggoyang-goyangkan tangan Fuji sambil matanya melihat ke arah pintu masuk. Bukan hanya Kaila yang heboh, namun juga teman-teman ceweknya yang lain. “Apa, sih?” “Itu lihat!” Kaila menunjuk ke depan, pada seorang cowok yang baru saja memasuki kelas dan kini berdiri di depan papan tulis menghadap mereka semua. Fuji tertawa mendengus. Anak baru di kelas ini? Lihat aja, bakal gue kerjain! batin Fuji. Cowok berkemeja navy itu mengangkat dagunya dan menatap seluruh murid yang ada di ruangan itu. “Selamat siang.” “Siang….” Aska tersenyum tipis. Berdiri dengan gaya santai dan menatap mereka semua dengan mata elangnya. “Jadi, ada yang mau bertanya?” “Hah?” Tentu saja, pertanyaan itu membuat seisi kelas kebingungan. Tiba-tiba datang langsung bertanya kayak gitu. Aneh banget. “Maksudnya apa, ya?” bisik Kaila pada Fuji. Fuji mengedikkan bahunya tanpa sedetik pun melepaskan tatapannya pada cowok yang sedang menjadi pusat perhatian itu. Tahu-tahu, seorang teman ceweknya mengangkat tangan dan bertanya, “Saya.” Aska melihatnya. “Silakan.” “Kamu siapa, ya? Kok bisa ada di kelas kita? Anak baru?” Aska tersenyum lebar. “Saya adalah masa depan kamu.” Tentu saja jawabannya itu membuat para cewek yang mendengarnya seperti cacing kepanasan. Kaila menyenggol pundak Fuji. “Ya ampun, senyumnya manis banget, Ji! Gemeees.” Bukan hanya Kaila yang terlihat excited tapi semua teman ceweknya di kelas itu. Fuji mendengus dan membatin, “Jadi, dia tukang gombal. Huh, dasar!” “Ada yang mau bertanya lagi?” Kaila tiba-tiba mengangkat tangannya sehingga membuat Fuji terkejut saat melihatnya. “Ya, silakan.” “Ka-kamu sudah punya pacar belum?” tanya Kaila malu-malu sambil memilin rambutnya. Aska menggeleng. “Belum.” Lagi-lagi, jawaban itu membuat heboh seisi kelas. Fuji mengangkat tangan dan bertanya dengan malas. Dia harus menghentikan kehebohan ini. “Nama lo siapa dan lo ngapain di sini?” Aska kemudian menatapnya dengan perhatian penuh, lebih dari lima detik sehingga membuat suasana kelas tiba-tiba hening. Aska lalu menuliskan sesuatu di papan tulis, berupa judul materi lalu kembali menghadap mereka semua. “Nama saya Askara Bumi dan mulai hari ini... saya akan mengajar di kelas ini.” Seketika, Fuji menegang dan menyesali pertanyaannya yang tidak sopan tersebut. Kaila menyikut pinggang Fuji dan berbisik. “Ji, dia dosen?” “Mampus gue!” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD