Let's eat, Daddy!

2798 Words
Jin termangu, menatap Jinseo dan Jinyoung yang asyik makan kue gulung coklat pemberian Joohyun saat berkunjung kemarin. Tangan yang menyanggah dagu berubah menjadi mengusap ujung bibir salah satu anak kembarnya, Jinseo. "Kuenya enak?" tanyanya, masih setia menatap kedua anaknya tanpa niat untuk meminta, walau dalam hati dia hampir menangis karena ingin makan kue gulung juga, tapi sayang, anak-anaknya terlalu mengakusisikan kue gulung tersebut sampai tidak berniat berbagi dengannya. Kedua anaknya mengangguk sembari melebarkan bibir, memamerkan gigi-gigi s**u mereka yang kotor akibat coklat. "Nyak~" kata mereka dengan wajah berseri-seri, yang malah terlihat seperti mengejek ayahnya karena tidak kebagian kue. Jin tersenyum saat mendengar ucapan si kembar bolo-bolo, lalu mengusap keduanya dengan penuh lemah lembut. Setelah itu matanya sibuk menoleh ke kanan dan ke kiri mencari sesuatu yang belum dia lihat dari tadi pagi. "Jaejin hyung kemana?" "Di kamar" jawab Jinyoung. "Sedang apa?" "Menonton p***o," jawab Jinseo yang berhasil membuat ayahnya melotot. Dia sibuk m******t-jilat jarinya yang kotor terkena meses yang tertempel mentega, sampai tak tahu wajah ayahnya sudah merah padam seperti rebusan tomat. "Hah? Nonton apa?!" seru Jin mengetes kupingnya sekali lagi. "p***o" Nyata. Jin langsung sprint ke kamar si sulung. Pintu yang tak bersalah menjadi korban kekhawatiran Jin yang didobrak dengan kasar. Terlihat Jaejin tengah duduk di karpet kamar dengan serius menatap televisi, mulutnya sedikit menganga membuat Jin semakin was-was. Dengan gusar Jin masuk menghampiri anaknya untuk mengetahui film apa yang sedang ditonton Jaejin, apakah benar apa yang diucapkan oleh Jinseo? Helaan napas terdengar lega saat mengetahui Jaejin tidak menonton film aneh-aneh seperti perkataan Jinseo, karena tv itu sedang menayangkan karakter anime ikan mas yang ingin berubah wujud menjadi manusia. Apa namanya? Sonyo? Sanyo? Bonyok? Aduh Jin lupa. "Jaejin nonton apa?" Bocah sepuluh tahun itu menoleh sesaat ke arah sang ayah, sebelum kembali memanteng layar televisi dengan tatapan serius. "Ponyo." Ah iya, Ponyo. Jin duduk di samping Jaejin, lalu mengelus rambut anaknya gemas saat melihatnya serius menonton anime dengan mulut menganga. Berasa lihat perempuan cantik saja. "Jaejin tidak makan kue gulung bersama Jinseo dan Jinyoung?" Bocah itu menggeleng, lalu menelusupkan tangan memeluk pinggang sang ayah, bersandar manja pada d**a ayahnya yang bidang. Tentu Jin menerima dengan senang hati, mengelus rambut Jaejin, sesekali membenarkan anakan rambut anak itu yang berantakan, tak lupa mengecup pucuk kepala si sulung dengan penuh kasih sayang. Sudah lama sekali dia tidak seintim ini dengan si sulung, kira-kira setelah kehadiran si kembar cerewet di rumah ini dan tambahan si bungsu Jinwoo sekarang. "Jaejin mau makan apa?" tanya Jin dengan suara lembut. Si sulung menggeleng, tanda tidak tahu. "Mau makan daging?" tanya Jin yang tiba-tiba ngidam daging asap yang pernah dia beli di dekat rumah. Si sulung mengangguk, menggesekkan rambut pada d**a ayahnya dengan manja. "Bunda mana?" tanyanya dengan suara pelan. "Bundakan di Daegu," ujar Jin. "Oh iya!" seru Jaejin seakan baru ingat. Sudah dua hari Miyoung, istri Jin, berada di Daegu bersama si bungsu, Jinwoo. Memang dari jauh-jauh hari Miyoung ingin membawa bungsunya yang belum pernah ke Daegu itu untuk diboyong ke sana, melihat nenek-kakeknya yang juga ingin sekali melihatnya yang baru beranjak empatbelas bulan. Kebetulan saat Miyoung melahirkan, mereka tidak bisa menemani. Si kecil Jinwoo memang lagi lucu-lucunya, aktif berjalan kesana-kemari, berceloteh, berteriak, bahkan sudah mulai bisa bicara walau hanya kata ba dan bu, sudah bisa memasukkan barang apapun ke dalam mulutnya, sudah pula muncul gigi yang membuatnya semakin lucu. Dan yang terpenting, Jinwoo sudah pandai membuat pusing ayah bundanya karena sering ikut membantu kakak kembarnya corat-coret tembok rumah. Jin hampir bangkrut karena harus bolak-balik beli cat rumah. Beruntung sekarang ada cat rumah anti krayon. Sebenarnya Jin sempat menolak permintaan Miyoung untuk pergi ke Daegu berduaan dengan si bungsu, apalagi menggunakan transportasi umum kereta, tapi Miyoung selalu memiliki 1001 cara untuk membuat ayah beranak empat itu setuju dengan pilihannya sendiri. Jin juga sudah mengajukan diri untuk mengantarnya, tapi lagi-lagi Miyoung menolak dengan alasan lebih baik jaga anak-anak. Ya mau bagaimana lagi, Miyoung adalah wanita yang tidak bisa dilarang, perkataan ibu ratu adalah mutlak yang wajib harus kudu ditaati oleh rakyat biasa macam Seokjin. Lagipula Miyoung memang senang plesir sendirian, bahkan saat hamil pun dia sering pergi sendirian, dan syukurnya tidak terjadi apa-apa. Dan semoga tidak akan terjadi apa-apa juga sekarang ini. "Ayah! Huhuhuhuwaaaa...!" teriakan salah satu dari anak kembar Jin yang berada di ruang tengah. Dengan sangat terpaksa Jin melepas pelukan Jaejin. Dia berlalu menuju ruang tengah untuk mengetahui apa yang terjadi pada si para pembuat kekacauan dunia sekarang ini. Terlihat Jinyoung menangis sembari duduk di lantai, kakinya bergerak merajuk, wajah yang memerah semakin menambah keyakinan pada hati Jin, bahwa kejadian ini pasti hanya gara-gara hal sepeleh. "Jinyoung kenapa?" Jin berjongkok di hadapan anaknya. "Huuwaaaaa!" Bukannya menjawab Jinyoung malah semakin kencang menangis. "Ayo bangun, kenapa sayang?" Telunjuk mungil Jinyoung menunjuk ke arah kakak kembarnya yang masih asyik makan kue gulung coklat dengan hikmad. Ini pasti perkara kue gulung, Jinseo mengambil bagian Jinyoung. Sudah ketebak. "Jinseo, adiknya kenapa?" Si kakak kembar itu hanya bergidig tak tahu, lalu kembali asyik dengan kue gulungnya, "dasar cengeng" ejeknya. "Jinyoung ndak hiks cengeng" bocah kecil itu mengusap air matanya. "Buktinya Jinyoung nangis" balas Jinseo. "Jinyoung ndak nangis huwaaaaaaaaa" tangisan bocah itu malah semakin kencang. Jin pun menghela napas panjang, memberi semangat pada dirinya sendiri dengan mengatakan. 'Jin sabar, Jin hebat, Jin ayah kuat karena Jin minum biskuit.' Ini adalah cara terbaik untuk menyemangati diri sendiri. Lelaki tampan itu langsung merubah posisi jadi berlutut saat Jinyoung menubruk dirinya, menyembunyikan wajah di ketiaknya. "Jinseo hiks jahat hiks" adunya pada sang ayah. Jin hanya mampu menepuk-nepuk punggung Jinyoung pelan, "sudah sudah, jangan nangis, nanti kita makan daging sapi ya. Maukan?" kata Jin mengalihkan pembicaraan sembari menjauhkan wajah si kecil dari ketiaknya. Jinyoung mengangguk sembari mengusap cairan bening yang mengalir dari lubang hidungnya, "tapi Jinseo hiks jangan diajak" Jinseo yang mendengar ucapan kembarannya segera menoleh, bibirnya mengerucut cemberut, mimiknya berubah menjadi marah lucu khas bocah kecil, gemas. "Kenapa aku tidak diajak?" tanya Jinseo kesal. "Habis Jinseo jahat" Jinseo kembali mengeluarkan aura yang semakin suram, wajahnya memerah dan bersiap untuk menangis. "Jinseo tidak jahat" "Jahat!" "Tidak... Huwaaaaaa ayah!" akhirnya bom waktu pun meledak, membuat Jin harus rela gendang telinganya bergetar, mendengar teriakan anak-anaknya. Tadi mengejek kembarannya cengeng, tapi sendirinya juga cengeng. "Dasar cengeng" balas Jinyoung puas. Jinseo kembali berteriak keras, berlalu menuju sang ayah yang masih setia memperhatikan drama yang diperankan oleh kedua anak kembarnya. Dengan sigap ayah tampan itu membuka lengan satu lagi, menerima tubuh kecil anaknya yang lain. Hah, beginilah resiko punya anak banyak. "Aduh, anak ayah jangan nangis lagi ya," katanya sembari melakukan apa yang tadi dia lakukan pada Jinyoung. Jinseo pun melakukan apa yang tadi Jinyoung lakukan juga, mengusap cairan bening yang mengalir dari hidungnya dengan menggunakan punggung tangan. "Dasar cengeng" seru Jinyoung mengejek kakak kembarnya lagi. "Tidak" balas Jinseo. "Cengeng" "Tidak" "Cengeng" "Tidak, huwaaaaaaaa....." nangis lagi. Jin rasanya mau resign saja, iya resign jadi ayah mereka. Sudah tidak kuat menghadapi kenyataan mendapati mereka berdua menjadi keturunannya. Seharusnya dulu dia meminta Miyoung untuk ikut program KB biar tidak kebobolan terus-menerus, jadi banyak yang berojolkan kalau begini. Aduh, pusing. "Sudah sudah, jangan bertengkar lagi, katanya mau makan daging asap" Jin mengusap rambut Jinseo lalu bangkit dengan menggendong keduanya di sebelah kiri dan kanan, "kalian duduk dulu, jangan nangis lagi" pintanya. "Ayah ambil jaket dulu." kata Jin mengalihkan perhatian kedua bocah kembar yang kerjaannya selalu saja bertengkar. Keduanya pun mengangguk patuh. Jin meletakkan kedua anaknya di atas sofa. Kedua anak kembar itu mulai mengusap wajah mereka yang memerah, lalu duduk rapih mengikuti titahan sang ayah. Kalau begini kan enak, tidak terlihat seperti bibit penghancur dunia. Jin menggeleng sembari menebar senyum manis. Kedua anak itu mendapat kecupan sayang di masing-masing rambut batoknya, sebelum sang ayah berlalu ke arah kamar si kembar yang juga merangkap menjadi kamar Jaejin. Sebenarnya si kembar memiliki kamar sendiri, namun mereka enggan tidur berdua, katanya, mereka sering melihat bayangan hitam di jendela. Padahal bayangan itu berasal dari lampu taman belakang. Jadilah mereka tidur bertiga di kamar Jaejin. Jin mengusap rambut Jaejin saat melewatinya. Dia masih setia nonton Ponyo. "Jaejin hyung ayo kita makan" ajak Jin dengan nada lembut. Jin memang memanggil Jaejin dengan sebutan 'hyung', agar adik-adiknya mengikuti kebiasannya memanggil Jaejin dengan embel-embel hyung. Anak itu segera berdiri mengikuti intruksi sang ayah, walaupun matanya masih memperhatikan layar televisi. Jin hanya menggeleng pelan melihatnya. Setelah mengambil jaket si kembar dan juga si sulung, dia langsung menghampiri Jaejin yang masih sibuk nonton Ponyo, dengan telaten tangannya bergerak memakaikan jaket pada tubuh Jaejin. Daddyable sekali memang ayah satu ini. Jaejin terlihat nyaman saat dipakaiakan jaket, namun matanya masih mencuri lihat layar televisi. "Nontonnya dilanjut nanti ya?" Si sulung mengangguk patuh. "Matikan dulu, sayang" Si tampan cilik mengikuti ucapan sang ayah. Mematikan televisi lalu bergegas keluar kamar mengikuti langkah ayahnya. Anak sulungnya ini memang berbeda dengan si kembar, jika si kembar selalu berhasil membuatnya pusing tujuh keliling, kalau Jaejin ini adalah anak yang paling dicintai oleh banyak umat manusia karena selain kalem dan pendiam, dia juga selalu berhasil membuat kedua trouble maker itu takut dan tunduk terhadapnya. Ibarat si kembar itu Upin dan Ipin, Jaejin ini Kak Ros-nya. Jin menghampiri kedua anaknya yang sibuk berlarian kesana kemari mengitari ruang tengah, mereka juga berteriak menyanyikan lagu London Bridge is Falling Down dengan nada lagu yang diubah menjadi Run milik BTS. Bisa? Mungkin kamu sama gilanya dengan si kembar. Hehe. "Jinyoung! Jinseo! Ayo pakai jaket dulu" teriak Jin membuat anaknya semakin liar berlari memutarinya, namun menghindar saat Jin hampir menangkapnya. "Jinyoung!" "Kejar Jinyoung kejar Jinyoung" balas Jinyoung berlari menjauh dari jangkauan sang ayah. "Jinseo, ayo sini!" teriak Jin lagi memanggil anak kembar satunya. Haduh, pusing pala pangeran. Memiliki anak kembar yang sama sekali susah diatur membuat kepalanya mudah spanenk, kalau tidak suara jeritan yang dia terima ya suara tangisan, dan jangan lupa dengan keberadaan new trouble maker Jinwoo, kalau ketiganya sudah disatukan, hancur dunia. Kelakuan mereka selalu berhasil membuatnya nyebut. Jin jadi mikir, apa dulu waktu pembuatan si kembar dan Jinwoo dia kurang bumbu ya? Makanya tidak ada yang mirip Jaejin. Apa perlu dia uji coba ulang lagi dengan Miyoung? Hm, sepertinya boleh juga. Jin berlari mengejar Jinseo, lalu menangkap tubuh kecil bocah itu, dia segera memakaikan jaket pada tubuh Jinseo. Selesai dengan Jinseo, beralih pada Jinyoung yang bersembunyi di balik sofa. "Jinyoung mana ya?" ayah tampan itu berjalan perlahan mengikuti permainan yang dilakukan oleh sang anak. Jinyoung terkikik, menutup mulut agar tidak mengeluarkan suara yang membuat ayahnya tahu dimana keberadaannya. Padahal ayahnya sudah tahu. "Jinyoung mana ya?" sekali lagi Jin pura-pura mencari, sebelum akhirnya dia menangkap tubuh bocah itu dari belakang. "Di sini rupanya!" Jin segera memeluk tubuh si kecil saat bocah itu hampir kabur lagi, hal itu berhasil mengundang teriakan dan tawa dari Jinyoung. "Ayo pake jaket dulu" Jin segera memakaikan jaket ke tubuh si kecil sebelum anak itu lari lagi. Setelah membuang waktu sia-sia hanya untuk berlarian mengejar kedua bocah yang sulit diatur—mulai dari pakai jaket, topi, hingga sepatu yang membuat Jin harus sprint keliling rumah—, akhirnya dentist tampan itu juga sudah rapih memakai jaket puma dengan setelan celana bahan dan sandal gucci. Benar-benar ayah yang menawan untuk dibayangkan. Dia menggandeng kedua anaknya di kanan untuk Jinyoung dan kiri untuk Jinseo, sedangkan Jaejin menggandeng tangan Jinyoung satunya lagi. Sengaja mereka memilih untuk jalan kaki, selain karena restoran yang dituju memang dekat, juga irit bensin. Akhir-akhir ini perekonomian sedang sulit. "Makan daging makan daging iya iya yoo ~" dendangan dua anak kembar Jin, membuat siapa saja yang mendengar pasti menoleh, memperhatikan mereka dengan gemas, rasanya ingin cubit. "Makan daging asap dengan sayur kol~" mereka kembali menyumbang lagu membuat Jin tersenyum kecil mendengarnya. Jin berbelok ke kedai yang berada di pinggir jalan dekat perumahan mereka, bau khas daging asap tercium saat pertama kali mereka masuk. Anak pemilik kedai yang juga berperan sebagai pelayan membungkuk, menyambut Jin dan ketiga anaknya. "Selamat datang" sapanya. "Terima kasih" jawab Jin lalu menggiring ketiga Jin generation untuk menempati meja kosong yang ada di pojok ruangan dekat tangga. Jaejin duduk di pojok, dilanjut Jinseo, Jin, dan Jinyoung. Sengaja si kembar dipisahkan, selain untuk memudahkan menyuapi mereka, sebab lainnya karena Jin tidak ingin ada perang saudara di antara si kembar jika disatukan. "Permisi," kata salah satu pelayan memberi menu di meja, "mau ditunggu atau ditinggal?" "Ditinggal saja" Kalau ditunggu pasti lama, Jin yakin itu. "Ayah ayah, kita mau makan apa?" tanya Jinyoung duduk rapih di samping sang ayah. "Daging lah!" jawab Jinseo ketus. "Jinyoung tanya ayah bukan bungkus nyam-nyam" balas Jinyoung membuat kembarannya mendungus sebal. "Eh eh sudah," dipisahkan saja masih tetap ada perang, bagaimana jika disatukan? "Kalian pesan yang mana?" Jin memberi dua buku menu pada Jinyoung dan Jinseo. Biarlah dia dan Jaejin mengalah, agar si kembar tidak berisik dan bikin tambah pusing. "Ayah ayah!" seru Jinyoung heboh. "Iya kenapa?" tanya Jin dengan pandangan lembut, berusaha sabar menghadapi anak-anaknya yang luar biasa aktif. "Ini namanya apa?" "Coba baca, apa tulisannya" "Da-ging-a-sap" eja Jinyoung. "Jadi?" "Enak!" serunya dengan tatapan senang yang sombong. "Dasar bodoh, begitu saja tidak tahu!" balas Jinseo kesal, "masa tulisan begitu saja tidak bisa baca." lanjutnya. Masih kecil sudah pintar menghujat, mirip siapa ya? Ckck. "Lalu apa kalau salah?" tantang Jinyoung. "Da a da ng ge i ging—daging— a s asa p—asap—" eja Jinseo. "Jadi?" tanya Jin. "Mantul!" jawab Jinseo dengan cengiran bangga. Terserah, terserah mereka, Jin sudah tidak kuat lagi, apa ada kamera di sini? Tolong segera keluar, Jin mau melambaikan tangan. "Bodoh," komentar Jaejin, "itu dibacanya daging asap" balas Jaejin yang mulai naik pitam. Jinyoung dan Jinseo cemberut mendengar u*****n Jaejin, mereka kesal, kenapa Jaejin Hyung sangat jahat sampai menyebut mereka bodoh. Padahal mereka belum sekolah, sedangkan Kak Jaejin sudah kelas 5 SD, jelas saja Jaejin lebih pintar daripada mereka. Rasanya Jinseo dan Jinyoung mau langsung SMP saja biar lebih pintar dari Jaejin Hyung. Jin geleng kepala, lalu mengelus satu-persatu kepala anaknya. "Sudah-sudah, kalian sudah pintar kok bisa membaca, Jaejin Hyung juga keren bisa membaca dengan lancar. Kalian juga harus belajar lebih giat agar pintar membaca" Si kembar mengangguk lesuh sembari menunduk malu, sepertinya mereka harus pintar membaca agar tidak dicaci oleh kakak mereka lagi. "Jadi mau pesan apa?" "Daging asap!" teriak Jinseo. "Daging sapi!" balas Jinyoung. "Ih daging asap kata ayah!" "Kata ayah daging sapi!" "Daging asap!" "Daging sapi!" "Daging asap!" "Daging sapi!" Hah, bertengkar lagi. "Bodoh, daging asapnya itu daging sapi, tahu!" lagi-lagi Jaejin tersungut. Jinseo dan Jinyoung cemberut setelah mendengarnya. Dah mereka mah apa atuh cuma stik nyam-nyam yang belum bisa baca. Pikir mereka. Menghela napas. Hanya itu yang bisa Jin lakukan selain berdoa dalam hati meminta kesabaran.Setelah melewati banyak rintangan, akhirnya Jin mampu memesan makanan dan minuman. Nyata sekali apa yang Jin prediksi, pasti kalau ada si kembar bolo-bolo, memesan makanan akan sangat lama karena ada ronde bertengkarnya dulu. "Ayah ayah!" seru Jinseo, "apa benar daging asapnya itu dari daging sapi?" Jin mengangguk sembari membenarkan anakan rambut Jinseo, "iya, kenapa?" "Lalu sapinya sudah tidak punya daging lagi?" Jin terdiam sesaat, bingung juga ingin menjawab apa, "hmm...sapinya masih punya daging, tapi mereka dijadikan makanan" "Bagaimana caranya daging sapi bisa dijadikan makanan?" "Daging sapinya dibakar," jawab Jin seadanya. Seketika raut wajah Jinseo berubah, dia terlihat seperti orang bingung sekaligus khawatir. Telunjuk kanannya dia gigit sembari matanya menerawang ke arah pelayan yang tengah membawa pesanannya menuju ke arah mereka. "Ini dagingnya," kata si pelayan meletakkan tungku kecil, lalu daging-daging yang sudah dipotong di letakkan di atas nampan. Sengaja, agar pelanggan dapat membakar dagingnya sendiri. Jin tersenyum membalas kesopanan sang pelayan, namun baru saja dia memegang sumpit dan bersiap untuk membakar daging-daging itu, tiba-tiba Jinseo menangis kencang. "Huwaaaaaaaaaaaa!" Sontak Jin terperanjat kaget. Pelanggan lain juga sampai ikut menoleh. "Jinseo kenapa?" tanya Jin panik. "Huwaaa! Hiks hiks sapinya kasian hiks" Jin membawa Jinseo ke dalam dekapan, lalu menepuk punggungnya pelan. "Sudah sudah," tenangnya. "Sapinya hiks kasihan, nanti bagaimana hiks jika sapinya kesakitan?" "Tidak sayang, sapinya sudah mati" "Huwaaaaaaaaa!" teriakan Jinseo semakin kencang membuat perhatian kembali tertuju pada mereka. "Sudah nak sudah, cup cup cup" Jin kembali menenangkan anaknya yang menangis kencang. "Kasihan sapi hiks, kembalikan sapi huwaaaaaa!" racaunya tak tega. Mungkin sudah naluri alamiah anak-anak, sesering apapun mereka bertengkar dengan anak lain, tapi tetap akan merasa kasihan jika ada yang tersakiti, termasuk hewan. "Iya iya dikembalikan," dia pun memanggil pelayan, meminta agar dagingnya dimasak di dalam saja. "Sudah sayang sudah" Pelayan pun kembali membawa tungku dan nampan berisi daging untuk dibawa masuk lagi. "Hiks sapi, ayah, sapi" "Iya sapinya sudah tidak ada, sapinya baik-baik saja, maafkan ayah ya, ayo jangan nangis lagi" Jinseo mulai tenang, hanya tersisa isakan. Sedangkan Jin mulai mengusap air mata anaknya yang sudah membasahi seisi wajahnya yang merah, kasihan. "Dasar cengeng" bisik Jinyoung dengan pandangan mengejek pada kembarannya. "Ayah, Jinyoung!" teriak Jinseo hampir menangis lagi. "Iya iya tidak," katanya membawa Jinseo ke dalam pangkuan, membiarkan si bocah lucu itu duduk bersandar pada dadanya. "Jinyoung sudah ya," katanya meminta si anak ketiga untuk diam. Jinyoung cemberut. Sedangkan Jaejin mendecih, tak peduli dengan aksi lebay kedua adiknya yang suka mengundang sensasi. Tak lama pesanan mereka datang, dan daging sapi yang sempat ditangisi Jinseo pun ikut tersaji. Jinseo kembali menatap daging tersebut dengan was-was, takut saja jika sapi itu kembali tersakiti. "Sapi?" "Bukan, ini bukan sapi, ini daging" jawab Jin. Ya kau pikir sapi itu bukan daging, pak? "Ayo sekarang makan ya, jangan nangis lagi" ayah tampan itu menyiapkan makanan untuk anak-anaknya. "Ini bukan daging sapi kan ayah?" sekali lagi Jinseo memastikan kalau yang akan dia makan bukanlah daging sapi. "Bodoh, tentu saja itu daging sa..." Jaejin langsung terdiam setelah mendapat pelototan dari sang ayah, seakan berkata 'jika adikmu menangis lagi, kamu yang akan ayah jadikan daging sapi,' langsung saja Jaejin hicep dan menunduk takut. "Jinseo makan ya," Jin menyiapkan mangkuk nasi dan meletakkan beberapa daging sapi di atas nasi milik sang anak. Dan Jinseo pun akhirnya makan daging tersebut tanpa tahu bahwa itu adalah daging sapi. Biarlah Jin bohong. Itu demi kebaikan Jinseo, juga demi kebaikan telinganya yang sering menjadi korban teriakan dua bocah kembar itu. Ingatkan Jin untuk pergi ke THT setelah ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD