Mei Yang Sebenarnya

1757 Words
Jingga pov. Sang artis secara piawai menunjukkan kebolehannya dalam berakting. Menangis dalam derai air mata yang mengiba, membuat siapapun yang menyaksikan terjatuh dalam air mata buaya sekaligus menghapus segala curiga. "Karim... suamiku hiks kenapa kau meninggalkan aku secepat ini hiks." Sungguh akting yang pantas dihadiahi sebuah tepuk tangan. Begitu meyakinkan sampai membuat siapapun ikut terhanyut dalam kesedihan. Mei memanfaatkan perhatian rekan sosialitanya yang sibuk menenangkannya untuk menunjukkan sebuah keelokan akting yang sempurna. Membuatku merasakan rasa marah yang menjilat hati, berharap memiliki kekuatan untuk memotong jalan nafas wanita durjana pembunuh ayahku. Hingga sampai saatnya ia melanjutkan akting itu dan menarikku untuk mengambil bagian aktingnya. "Kasihan kau Nak. Kau sudah kehilangan ayah dan ibu kandungmu. Tapi jangan khawatir, aku akan merawatmu seperti ibu kandungmu sendiri. " Aku hanya bisa terduduk di tanah merah di mana ayahku terbaring. Membiarkan wanita itu bersama aktingnya yang hebat. Pemakaman ayahku menjadi ajang aktingnya yang menakjubkan. Tanpa cela di saat sudut bibir yang sedikit melengkung ke atas sebagai ungkapan hatinya yang bahagia karena tujuannya tercapai. "Kau wanita yang baik Mei. Padahal dia bukan anak kandungmu... " temannya mulai memberi semangat. Sedangkan yang lain menepuk punggungnya agar tabah. Hal itu membuat Mei justru semakin deras dalam meneteskan air mata, rekan ayahku sekaligus tetangga semakin iba padanya. "Rawatlah putri satu - satunya Karim. Kalian pasti bisa akur." "Tentu saja." Mereka menghadiahi Mei pujian atas akting dan kepura - puraan Mei. Mei tentu puas. Menjadikan rasa iba setiap orang padaku menjadi moment menarik simpati. Aku muak dan ingin menjambak wanita ini, juga mulai mempertanyakan dimana keadilan. Wanita ini menghancurkan keluargaku, menyebabkan ibuku meninggal sekarang ia membunuh ayahku secara perlahan. Tapi masyarakat justru memujinya seperti ia seorang pahlawan sesungguhnya. Sungguh mengerikan melihat kebenaran tertutupi fasad cantik itu. Yang mana adalah tugasku merobek kulit palsunya untuk mempertontonkan betapa mengerikan wanita yang mereka puji di balik wajah elok yang membutakan ayahku. Agar mereka tahu siapa sebenarnya wanita yang mereka puji. "Huhuuuu suamiku. Kenapa kau meninggalkanku?" Jingga Pov End. Normal Pov. Pemakaman sudah berlalu meninggalkan seluruh penghuni rumah keluarga Broto sendirian. Mei menunggu semua tamu pergi agar bisa menancapkan kukunya pada kekayaan Broto. Tersenyum keji ia kini memulai pertunjukan yang lain, di mana rumah keluarga Broto menjadi pentas. Semua penghuni rumah mulai melihat wajah asli Mei yang menatap Jingga tajam. Dia mendekat dan mencengkeram dagu Jingga agar gadis itu menatap ke arahnya. "Dengar Jingga... Kau boleh tinggal di sini tapi kamu harus menuruti semua aturan yang aku tetapkan. Asal kau tahu semua harta kekayaan keluarga Broto sudah diberikan kepadaku. Dan kau bukan apa apa selain anak yatim." Mei berkata dengan percaya diri. Jingga menatap Mei dengan mata berkaca - kaca. Ia mengangguk pelan sebagai tanda sebuah kepatuhan. "Iya, Bi Mei," ucap Jingga dengan susah payah. "Bagus," ucap Mei yang melepaskan cengkeraman tangannya di dagu Jingga. Para pelayan tidak ada yang berani mengangkat kepalanya. Mereka menunduk menyaksikan betapa ponggah sikap wanita yang bahkan tidak diketahui dari mana asal -usulnya. Mereka takut akan kehilangan pekerjaan jika berani membantu atau menolong Jingga. Tanpa mereka sadari jika karma berbalik menghantam mereka. Dengan wajah terangkat ke atas dan kedua tangan yang terlipat di depan d**a, bibir merah Mei melengkung ke atas. "Baguslah. Kurasa tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan mulai besok kau bisa membersihkan semua ruangan dan melakukan hal - hal yang dilakukan pelayan." Mei menunjukkan perubahan sikapnya secepat dia membalikkan telapak tangan. Katanya sekolah penuh kasih sayang kepada jadi wajah yang mengerikan dan kebencian. Keserakahan terpancar jelas di wajahnya yang cantik dan glamour. Perlahan ia melihat ke arah para pelayan yang berjajar di depannya. "Sedangkan kalian semua aku pecat. " Mei melihat mereka dengan sudut bibir yang menyeringai kejam. "Kalian semua pergi dari rumah ini dan ambil pesangon kalian, sekarang juga. " Para pelayan saling menatap satu sama lainnya. Mereka tidak percaya hari ini akan kehilangan pekerjaan. "Tapi Nyonya... Kami akan kerja di mana? Jaman sekarang sulit dapat kerja Nyonya." "Tolong jangan pecat kami nyonya. " Mei mendengus melihat pelayan yang mengiba. Baginya membayar mereka adalah tindakan pemborosan. Akan lebih baik jika Jingga yang melakukannya. "Kalian semua berisik! Aku tidak mau tahu, sekarang pergi dari rumahku ... aku tidak mau lihat kalian!" Mei menaiki tangga menuju ke kamar utama. Dia tidak mengacuhkan rintihan permohonan dari para pelayan. Luntur sudah kecantikan yang selama ini ia pertahankan. Matanya yang melotot dan juga bibir yang berkata tajam memperlihatkan dengan jelas keburukan hatinya yang terpancar melalui wajahnya. Terlebih Mei tertawa keras sebagai tanda kemenangan atas segala rencana yang sudah ia dapatkan. Jingga dia menatap iba pada para pelayan tetapi tidak bisa berbuat apapun untuk saat ini. Sebab saat ini ia hanya bisa menuruti Mei. Tujuannya begitu besar tapi ia sadar jika pada dasarnya dia sendiri adalah anak yang lemah dan tidak berani melakukan apapun. Dia sendiri kebingungan dan tidak tahu apa yang harus ia perbuat untuk membongkar semua kejahatan dari Mei. Akibat dari kematian ibunya yang begitu mendadak hanya karena tekanan mental saat kehilangan ayahnya, Jingga menjadi gadis yang insecure terhadap dirinya sendiri. Sudah terbiasa menjadi gadis penurut yang tidak ingin berdekatan dengan masalah. Akhirnya sekarang ia harus berhadapan dengan masalah besar yang pada akhirnya membuatnya terpaksa berpikir keras agar bisa menyelesaikan tugasnya sebagai anak, yaitu untuk mencari keadilan untuk ayahnya. Mei melangkah masuknke kamarnya. Dia memiliki kepercayaan diri jika harta keluarga Broto jatuh padanya. Bekerja sama dengan Rio yang merupakan pengacara dulu dan berhasil ia rayu-- tentu saja membuatnya merasa di atas awan. Dia bahkan tidak tahu apa yang menantinya saat ini. Di bawah tangga, Jingga menyaksikan dengan sedih para pelayan yang pergi satu persatu melewati pintu keluarga Broto. Mereka adalah orang - orang yang setia dengan ayahnya tapi menutup mata dengan apa yang menimpa keluarga Broto. "Non kami pamit ya. Maafkan kami yang selama ini acuh tak acuh pada nyonya Melinda dan non Jingga..." ucap salah satu pelayan yang bernama Isa. "Non harus kuat ya?" "Jangan kalah sama wanita jahat itu Non. Maafkan kami yang pengecut. " Jingga menggelengkan kepalanya. Tidak akan ada satu pun orang yang menyalahkan mereka karena ia tahu keluarga mereka butuh makan. Mau tak mau mereka diam meski semua kejahatan Mei nampak jelas di mata mereka. Tak mungkin mereka mau mengorbankan keluarga mereka untuk membongkar kelakuan Mei yang ada kemungkinan jika dimaafkan oleh Karim. "Tidak apa Mbok. Jaga diri kalian ya." Mereka mengangguk dan menyadari jika mereka salah tidak memberi tahu keburukan Mei pada almarhum Karim. Seandainya saja mereka bilang mungkin saja ceritanya bisa berubah. Kini mereka harus menerima akibat diamnya mereka. "Jingga cepat buat makan malam!" Bentak Mei dari atas. Dia tidak peduli meskipun para pelayan masih berada di bawah tangga dan belum meninggalkan rumah. Dia tidak memiliki kepentingan untuk menanggapi pendapat orang lain, terutama pelayan. Apalagi ia merasa sudah mendapatkan tujuannya selama ini Jadi ia tidak takut pada apapun sekarang. "Iya, Bi. Aku akan segera membuatkan makanan untukmu." Mei yang hanya memakai kimono tipis mendengus. Lali timbul pemikiran untuk membuat Jingga lebih menderita. "Habis masak jangan lupa bersihkan rumah. Semuanya berantakan gara - gara banyak tamu." "Iya Bi." Jingga bisa membayangkan betapa lelahnya ia kala membersihkan rumah ini. Tapi ia tidak menyerah untuk kita tinggal di sini karena tujuannya masih belum tercapai. Demi mendapatkan keadilan untuk ayahnya ia tidak akan meninggalkan rumah ini meski harus mendapatkan perlakuan semena - mena dari Mei. Sayangnya dia masih tidak memiliki ide bagaimana caranya mendapatkan bukti jika Mei adalah orang yang memberi obat anti pembekuan darah pada ayahnya. Sambil memikirkan rencana itu, dia memasak untuk Mei. Ia yang memang sudah terbiasa untuk memang ketika berada di rumah Sarah tidak kesulitan membuat Mei puas dengan hasil masakannya. Mei tersenyum senang kala makanan yang di masak Jingga sesuai seleranya. "Ngak sia - sia aku memecat semua pelayan ya. Kau ternyata bisa berguna." Jingga menunduk menatap lantai. Pikirannya tidak berada di sini karena ia Masih memikirkan Bagaimana cara mendapatkan bukti untuk mendapatkan keadilan bagi ayahnya. Sangat mustahil jika menyuruh memang aku jika ia sudah membunuh ayahnya. Dia juga pasti tidak akan mengatakan hal itu pada orang lain. Jingga merasa sangat frustasi memikirkan langkah apa yang harus dilakukan. "Heh kok melamun! Cepat bersih-bersih sana! Memangnya apa yang kau tunggu!? " Bentakan dari Mei membuat Jingga tersadar dari lamunannya. Dia berbalik menuju gudang dan mengambil alat-alat kebersihan. Jingga tidak ingin membuat Mei marah dan membuatnya melakukan hal yang tidak terduga. Apalagi situasi di rumah ini hanya ada dirinya, Mei dan juga penjaga pintu. Melihat kepatuhan Jingga atas perintahnya membuat Mei memangguk puas. Dia merasa jika rencananya sangat sempurna sehingga tak hanya bisa menguasai kekayaan keluarga Broto tapi ia juga memiliki pelayan gratis. "Tinggal mendapatkan hati Kevin. Dengan memegang semua kekayaan Broto aku sudah sejajae dengan Kevin. Jadi ngak perlu ragu dengan omongan orang- orang." Mei memejamkan matanya membayangkan dia menikah dengan Kevin. Sosoknya yang tinggi besar, wajahnya yang tegas dihias hidung tinggi dan mata yang tajam--- membuat tidak sanggup melupakan pria itu. Dia adalah pria yang sudah lama ia cintai sejak masih bekerja di klub. Kedatangan pria itu di klub langsung membawa hatinya hanya saja pria itu terlalu angkuh untuk didekati. Padahal saat itu Mei adalah manager club malam yang bergengsi tapi Kevin menolak berkenalan dengannya dengan mengatakan jika mereka tak sepadan. Dari sinilah Mei memutuskan untuk menjerat Karim untuk mendapatkan kekayaannya sehingga ia bisa selevel dengan Kevin. Rupanya wanita yang tak memiliki hati, sudah jatuh cinta pada pria lain. Di antara semua pelayan hanya mang Asep yang tidak dipecat oleh Mei. Pria yang merupakan kepercayaan Karim tersebut melaporkan apa yang dialami Jingga pada Sarah. Saat ini ia sedang mengatakan apa yang ia lihat di rumah. "Non Jingga sekarang diperlakukan seperti pelayan Nyonya Sarah. Saya yakin Non Jingga menerima semua perlakuan wanita itu agar mendapatkan bukti tentang pembunuhan tuan Karim." Terdengar helaan nafas panjang dari Sarah. "Anak itu, kenapa hanya pasrah. Dia kan bisa mengancam Mei! Biar aku yang bicara dengannya. " "Tak hanya itu, Nyonya Mei memecat semua pelayan. Kasihan non Jingga." "Ya ampun." Mang Asep melihat Mei menuju ke arahnya. "Nyonya, ada Nyonya Mei. Saya tutup dulu ya teleponnya." Ia segera menutup telepon dan memasang senyum ramah. "Ada apa Nyonya manggil saya?" tanya Mang Asep. Mei bersikap ramah pada Mang Asep karena tidak ingin gosip muncul. Jika ia memecat mang Asep maka orang - orang akan curiga. "Jangan panggil Nyonya donk Mang. Aku kan masih muda. Nanti antar aku ke suatu tempat ya?" ucap Mei. "I- iya nona." Mei melambai dan berbalik sehingga mang Asep bisa mengelus dadanya. 'Tsk apa dia tidak pernah mengaca ya? Meski cantik tetep aja kelihatan kalo sudah berumur tiga puluhan." Mang Asep kemudian menuju ke mobil untuk bersiap. Seandainya di sini tidak ada Jingga, dia pasti pergi bersama dengan pelayan lainnya. Tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD