Entah menjadi suatu keberuntungan ataukan kesialan bagi Jingga. Mei lama tidak berada di rumah dan pergi dengan alasan berlibur ke luar negeri untuk menghibur dirinya dari kesedihan atas meninggalnya Karim. Yang mana hal itu membuat Jingga memiliki kesempatan untuk beristirahat dan menyewa beberapa orang untuk bersih - bersih.
Saat sore hari, Sarah datang mengunjungi Jingga. Dia datang dengan ribuan nasehat yang harus didengar oleh Jingga.
" Kau adalah putri kandung Karim, satu satunya keturunan keluarga Broto tapi kenapa kau diam saja diperlakukan seperti pembantu sama wanita nggak jelas itu? " omel Sarah pada Jingga.
Nggak tahu juga harus menghadapi sikap bibinya yang keras. Namun apa yang ia lakukan memiliki maksud tersendiri. Jika Jingga bersikap keras dan tak mau kalah dari Mei maka wanita itu akan berhati-hati. Hal itu akan menyulitkan Jingga untuk mencari bukti agar menjebloskan wanita itu ke dalam penjara.
"Jingga ngak apa - apa Bi. Jangan khawatir, lagi pula Jingga menyukai beres - beres rumah."
Sampai saat ini sehingga tidak mengatakan pada Sarah tentang pembunuhan yang dilakukan Mei terhadap Karim. Jingga yakin jika salah akan meledak lalu melabrak dan menghajar Mei, tidak perduli apapun. Dia tidak bisa melakukan hal itu namun jika ia melakukannya maka Mei hanya akan pergi dari rumah ini begitu saja. Dia tidak akan menerima balasan atas pembunuhan yang ia lakukan terhadap ayahnya. Itu karena kurangnya bukti untuk menjerat wanita itu ke dalam penjara.
"Kau ini memang susah di kasih tahu ya? Terserah, bibi hanya menasehatimu. Lagi pula bibi juga memiliki sebagian besar saham keluarga Broto."
"Bi, bukan itu masalahnya. Jingga belum bisa ngasih tahu alasannya sekarang Bi."
"Tsk kamu ini susah dibilang ya? Ya sudah kalau begitu, bibi disini cuma ngasih tahu kamu aja."
Jingga panik melihat Sarah yang marah. Dia segera memeluk bibi yang sudah merawarnya selama lima tahun sampai ia berusia hampir dua puluh tahun. Dengan cepat Jingga memeluk Sarah dan mencoba merayunya dengan air mata. Jingga tahu benar jika Sarah sangat lemah pada air matanya.
"Hiks bibi jangan marah ya? Jingga sudah ngak punya sapa - sapa selain bibi. Hiks... kalau bibi marah, siapa yang akan menyayangi Jingga?" rintih Jingga.
Sesuai dugaan Jingga, Sarah turut menangis melihat Jingga yang menangis. Dia buru - buru membalas pelukan dari Jingga agar gadis ini tidak tempramental seperti dulu. Saat itu ia bahkan sangat ketakutan.
Empat tahun yang lalu.
Jingga hanya mengurung diri di kamar. Tatapan matanya kosong seakan tak ada sinar kehidupan di sana. Sarah yang melihat hal itu mencoba mengajak bicara Jingga yang hanya diam sejak kedatangannya di Surabaya.
"Jingga ... kita keluar jalan - jalan yuk," ajak Sarah.
"Ngak baik anak gadis mengurung diri di kamar. Apalagi secantik kamu..." rayu Sarah.
Sayangnya Jingga masih tak bereaksi. Dia masih termenung menatap pemandangan luar jendela.
"Jingga kau tidak boleh seperti ini terus Nak... kau harus kuat agar ibumu bisa tenang di sana," nasehat Sarah.
Rupanya ucapan Sarah memicu titik sakit Jingga. Dia mulai menangis dan meronta. Rambutnya ia jambak dan berguling- guling seolah kesakitan.
"Jingga, ya ampun apa yang terjadi padamu... hiks Jingga...!"
Butuh beberapa waktu bagi Jingga untuk kembali tenang, tapi masalah baru dimulai. Tekanan emosinya membuat Jingga kesulitan bernafas. Kali ini Sarah putri dan suaminya segera menolong Jingga. Mereka mencoba sekuat tenaga membuat Jingga bernafas normal.
Begitu Jingga tenang dan mendapatkan pertolongan di rumah sakit, Sarah tidak bisa menahan amarahnya dari Karim. Dia menelepon Karim dan memakinya.
"Halo mbak Sarah. Bagaimana kabarmu?"
"Jangan tanya kabarku! Tapi tanya kabar Jingga. Anakmu itu hampir berhenti bernafas karena tekanan mental! Apa kamu puas Karim membuat seluruh keluargamu menderita karena jalanngmu itu!"
Karim menghela nafas atas kemarahan Sarah. "Mbak, aku mencintai Mei, aku juga menyayangi Jingga. Tapi aku benar - benar ngak ada perasaan sama Melinda," ucap Karim.
Sarah semakin naik pitam atas jawaban Karim.
"Memangnya waktu kamu miskin dulu jalanngmu akan mau sama kamu. Ingat Karim, yang menemani kamu waktu susah dulu Melinda. Waktu kamu sakit juga Melinda, tapi sekarang dia meninggal gara - gara tekanan batin. Kau pasti akan menyesal Karim..."
Tut.
Tanpa Sarah sadari dia sudah mengutuk adiknya mendapatkan karma. Yang mana dia tidak akan menyangka jika waktu penyesalan yang ia maksud tidak perlu menunggu waktu yang lama.
Flashback Off.
Mengingat kejadian itu, Sarah terkadang meneteskan air mata. Dia tidak mau Jingga menjadi sama seperti dulu. Butuh waktu yang tidak sebentar membuat Jingga melupakan kesedihannya.
Dan ada lagi yang membuat Sarah menyesal, itu adalah ucapannya yang menyumpahi Karim mendapatkan penyesalan. Kini ia jauh lebih menyesal sudah mengatakan hal itu pada adiknya sehingga ia meninggal begitu cepat.
"Ya sudah Jingga. Bibi cuma mau kamu jaga diri baik - baik ya. Jangan sampai menderita karena Mei. "
Jingga mengangguk, bersyukur atas sikap pengertian sang bibi yang memperlihatkan begitu besar kasih sayangnya sehingga ia tidak kekurangan kasih sayang.
"Terima kasih Bi. Aku sayang sama Bibi."
Sarah mengusap lembut surai panjang hitam Jingga. "Nada ada di Jakarta Nak. Dia bekerja di sini, kalau ada waktu hubungi dia ya."
Senyum mereka di wajah Jingga. Nada adalah putri Sarah, sepupu sekaligus sahabatnya.
"Tentu saja Bi. Aku pasti akan mengunjungi Nada."
***
Sarah berpamitan pada Jingga. Dia juga akan mengunjungi rumah Sarah yang ada di Jakarta sehingga tidak bisa lama - lama tinggal di sini. Padahal niatnya ke sini karena ingin menjambak Mei, beruntung wanita itu tidak ada di rumah.
"Fiuuh, untung bibi Sarah bisa dibujuk," batin Jingga.
Dari sini ia mulai belajar jika memasang wajah polos dan lemah adalah senjata yang bagus dalam menaklukan siapapun.
Setelah Sarah pergi mang Asep datang terburu - buru menuju ke Jingga. "Non, wanita itu sudah tiba di bandara, " lapor mang Asep.
Jingga segera menyuruh semua pelayan pergi dari kediaman. Dia tidak mau Mei melihat dirinya baik - baik saja.
"Ya sudah Mang. Kita tetap berhati- hati ya?" pesan Jingga pada pria yang sangat setia pada ayahnya itu.
"Baik Non."
Jingga mengusap suarinya sehingga menjadi agak berantakan. Lalu memercikkan air ke muka agar terlihat ia berkeringat. Setelah itu ia mengambil sapu dan berpura- pura menyapu halaman.
Jingga bersikap seperti sedang sibuk menyapu halaman meski ia mendengar suara mobil datang. Namun di luar perkiraan, Mei datang bersama dengan seorang pria.
Jingga Pov.
Sebulan berlalu dalam sekejap. Kematian ayahku sudah seperti sejarah bagi sebagian orang. Mei yang menghilang setelah pemakaman datang ke mansion dengan sesosok pria yang mampu membuat para gadis mabuk tanpa sebab. Seseorang yang pasti merasa kenyang dirayu oleh para gadis dengan tingkat persiapan seratus persen. Pria yang setiap nafasnya menawarkan kenikmatan dalam hubungan satu malam dan menggiurkan. Sekarang sosok pria itu berdiri dengan tampan di sisi Mei, dan menjadi salah satu orang yang harus aku waspadai. Jika ia merugikanku, maka dia akan menjadi pria yang juga menjadi targetku.
"Bi, aku senang kau datang. Aku sangat khawatir denganmu. "
Mei tidak ragu memelukku, tentu saja ia bersikap seperti malaikat di depan pria yang bisa membuat bagian intiim wanita basah.
Aku ikut memeluk tubuh Mei yang tinggi dan ramping, membalas pelukannya sama hangatnya.
"Hidupku serasa hancur setelah kematian Karim. Beruntung Kevin menghibur hari-hariku hingga akhirnya kami menikah waktu liburan kemarin. "
'Bic*h. Dari awal memang ini yang kau inginkan. Apa dia gigolo yang berhasil kau temukan?' Batinku mengutuk.
"Syukurlah. Aku senang bibi mendapat kebahagiaan lagi bersama pria lain. " Aku melepas pelukanku dari Mei lalu mengulurkan tangan pada pria itu. "Selamat datang di rumah keluarga Broto, tuan... " Aku menekankan kata rumah keluarga Broto agar ia sadar aku mengancamnya. Dan untuk mengingatkan Mei jika dia dan suami barunya hanya menumpang.
"Halo sayang. Panggil aku Kevin. Atau Daddy Kevin. " Ia dengan seringai nakal yang sangat memabukkan mengulurkan tangannya. Mengambil tanganku dengan cara seksi yang terkesan erotis. Lantas menempelkan punggung tanganku ke bibirnya. Berkat tindakan nakal seorang Kevin, sebuah salaman sederhana berubah menjadi sesuatu yang tidak sederhana.
Aku menarik tanganku secepat mungkin seolah ciuman bibirnya membakar punggung tanganku. Senyum manis langsung kupasang untuk mencegah suasanya canggung.
"Ini perlu dirayakan Bi. Aku akan memasak sekarang,'' Aku menepuk tanganku gembira.
Mei terkekeh. Mata berkilat gembira. Sepertinya ia lega karena merasa aku tidak curiga sedikit pun. "Kau memang manis sekali, Jingga. "
''Tunggu, kenapa kau yang masak? Jangan bilang tidak ada pelayan?" Kevin memotong percakapanku dengan Mei. Kami menoleh ke arah Kevin yang masih menyeringai seksi.
"Apa itu menganggu mu... ja - jangan khawatir. Para pelayan datang tiap pagi dab sore kok hehehe... " tanya Mei pada Kevin.
Dia mencoba menenangkan Kevin dan menempel pada lengan suaminya tapi pria itu melangkah maju ke depanku. Meninggalkan Mei yang memeluk udara kosong. Jelas itu sangat aneh.
Kevin menatapku dalam-dalam. Mata hitamnya yang indah tidak memberikan aku kesempatan untuk menyembunyikan segala emosi di mataku. Dia sepertinya dengan cepat menangkap wajah asli di balik topeng kaca yang aku kenakan.
"Aku belum mendapatkan pelukan hangat dari putrimu, Mei. "
Suasana langsung hening. Aku pun semakin bingung dengan hubungan dua orang ini.
"Ke-kenapa tidak. Ayolah Jingga sayang. Jangan mengecewakan Daddy-mu. " Meski Mei terlihat tersenyum, dia tidak bisa menyembunyikan nada suaranya yang bergetar dan sorot matanya yang cemburu. Ini memberikan aku suatu ide mengerikan yang belum pernah terlintas sebelumnya.
Karena aku tidak bisa melaporkan Mei atas pembunuhan yang ia lakukan pada ayahku. Aku bisa membuatnya merasakan sakit hati yang ibuku rasakan.
Yah, dulu aku memiliki ide yang bagus. Selain mencari bukti untuk melaporkan Mei atas pembunuhan ayahku. Aku juga bisa membuatnya merasakan sakit yang ibuku rasakan dulu.
"Tsk Lihat, putrimu enggan memelukku. "
Apalagi pria ini nampak genit dan playboy. Sangat memuakkan.
"Jingga sayang..." rengek Mei.
Senyum manis kembali aku pasang. Tanganku terbuka lebar menyambut Kevin. "Tentu saja aku menyambutmu, Daddy. Kemarilah, berikan aku pelukan hangat. "
Aku membenamkan diri ke pelukan Kevin. Kedua tanganku melingkar pada pinggangnya yang dipenuhi otot. Sedangkan kedua lengannya melingkari tubuhku yang mungil. Dia bahkan meletakkan dagunya pada pundakku.
Sangat aneh.
Diam-diam aku mengintip ekspresi wajah Mei. Aku ingin tau reaksinya sekarang ini. Ternyata dugaanku tidak meleset. Wajah Mei mengeras. Senyumnya menjadi kaku dan topeng kelembutan yang biasa ia pasang retak.
'Bagus Mei. Kau yang memberiku ide bagaimana cara untuk membalasmu.'
"Selamat datang di keluarga Broto, Daddy. Eh!? "
Aku sedikit melonjak saat Kevin meremas pinggangku dengan lembut dan menggoda. Cukup terkejut karena pria ini berani menggodaku di depan istrinya.
"Terima kasih, Jingga boleh aku panggil namamu Cerry? "
"Cerry? " beoku.
"Yah, kau manis seperti cerry. Aku bahkan tidak bisa membayangkan rasa cerry yang tercelup coklat lumer. Apakah rasanya mirip denganmu. "
Senyumku menjadi kaku. Lalu aku berakting menatap Mei seolah meminta tolong. Dan Mei sepertinya mengerti maksudku.
"Sudahlah. Kau membuatnya bingung, Sayang. "
Kami pun menuju meja makan. Hidangan lezat tersedia di meja makan sesuai pesananku. Kami duduk di tempat biasa. Namun Kevin justru duduk di sebelahku. Ini semakin membingungkan.
"Daddy, mengapa tidak duduk di samping bibi Mei?"
"Karena aku ingin akrab dengan putri istriku. Kau tidak keberatan kan, Mei? "
Wajah Mei memerah. Senyumnya semakin kaku dan kaku. Jelas terlihat jika dia marah dan cemburu.
"Tentu saja. Daddy mu harus mengakrabkan diri dengan putrinya. Kita akan menjadi keluarga yang hebat."
"Baiklah. "
"Mei sekarang pesan makanan dari restoran kesukaanku, okey?"
"Iya sayang."
Kevin menaruh pantannya di meja makan, dan dengan isyarat menyuruhku duduk.
"Duduk di sini Cerry mungilku. Kau juga Mei. Kita mengobrol sambil menunggu pesanan kita tiba."
Aku menurut begitu pula Mei. Tanpa tahu jika ternyata tindakan Kevin tidak berhenti di sini. Dia bahkan memainkan kakinya di bawah meja. Pria ini seakan tidak berhenti menggoda ku, juga tidak takut dengan Mei. Namun aku sangat terganggu dengan sikapnya yang tidak sopan.
'Beruntung ada bibi Mei. Jika tidak maka aku jamin garbu ini menancap di kakimu. '
Aku memberikan senyuman semanis mungkin pada Kevin. Sebuah kebiasaan yang tidak diketahui oleh siapa pun di dunia ini. Kemarahanku tidak pernah aku perlihatkan digantikan oleh sebuah senyum. Semakin marah diriku maka semakin manis senyumku. Itu adalah kebiasaan yang muncul sejak ayahku berselingkuh dengan Mei.
Tbc.