Provikasi Kevin

1628 Words
Jingga Pov. Kevin dengan sifat playboy- nya, Mei dengan kecemburuan yang mati - matian ia tahan sedangkan aku dengan senyum manis karena marah atas ulah seseorang. Berkumpul bersama nenunggu pesanan makan datang. Di atas meja ekspresi kami seperti tidak memiliki masalah, tapi di bawah meja lain lagi ceritanya. Betapa menarik atmosfer yang menyelimuti meja makan. Kami terjebak dalam alur yang Kevin ciptakan tanpa disadari. Suasana makan kali ini penuh dengan emosi kehidupan yang nyata, jengkel dan cemburu sungguh menarik. "Fiuuh. " Aku mendesah lega. Akhirnya kaki pintar Kevin berhenti berulah seolah mendapatkan pencerahan sehingga ia tidak lagi menggoda kakiku. Rasanya ribuan kata syukur tak bisa mewakili perasaanku sekarang. Tubuhku terlalu sensitif untuk menahan bulu kaki Kevin yang mengesek-gesek betisku. "Permisi nona, pesanannya sudah datang," penjaga pintu membawa makanan yang dipesan Mei. Secara naluriah aku berisi untuk menata makanan itu sebelum mata wanita itu melototiku. Aku mengambil pesanan itu dan membawanya ke dapur. Namun sesuatu yang tidak terduga terdengar dari belakang tubuhku. "Jangan bilang kau mau bersantai di sini sedangkan Jingga menata makanan," ujar Kevin. Terdengar jelas jika Mei kelabakan atas ucapan suaminya. Aku bisa merasakan Mei yang buru - buru berdiri disusul suara gesekan kursi dan lantai. Tap. Tap. Tak butuh lama Mei menyusulku di dapur. "Sini, kamu ke meja saja. Ingat jangan kegenitan sama suamiku. Wajah jelekmu itu ngak akan mempan merayunya," ancam Mei. Sekali lagi aku menggunakan topeng wajah penurut di depan Mei. Wanita itu tanpa sadar sudah memberiku ide yang luar biasa. 'Merayu pria mata keranjang seperti dia ya? Sepertinya itu bukan yang buruk,' batinku. "Akhirnya cerryku muncul kembali. Ayo duduk di sini, Cerry. Biarkan wanita menor itu sibuk di dapur," ajak Kevin. Dalam hati aku bertanya - tanya hubungan mereka sebenarnya seperti apa. Kenapa Kevin nampak tak menghargai Mei sama sekali justru terlihat sangat membencinya. Bukankah mereka suami istri, atau memang seperti ini sifat Kevin. Apapun itu aku tidak terlalu memikirkannya. Memasang wajah polos dan lemah adalah yang terbaik. Berpura - pura bodoh adalah senjata yang aku pilih. Sayangnya pencerahan pada kakinya sehingga tidak menggodaku di bawah meja tidak lah cukup untuk membuatku tenang. Aku berharap jika pencerahan itu berhasil berhasil pada otaknya. Sayangnya itu tidak berlangsung lama. Bergantian dengan kakinya, tangan Kevin masih dipenuhi ide menggoda ku tanpa memiliki keinginan untuk berhenti. Mei datang dari arah dapur dengan wajah seperti malaikat. Dia memasang topeng kepura - puraan yang sama denganku. Aku tahu jika hatinya dongkol karena harus menata makanan. Dari sini aku mulai curiga jika Mei lah yang mengejar Kevin. "Cobalah ini, Cerry, " perintah Kevin yang menyodorkan sendok penuh pasta padaku. Cream keju yang dibumbui sempurna karya koki di restoranyang dipesan Mei menari-nari di mataku. Bisa dibayangkan betapa lembut dan creemy lelehan keju pada pasta di mulutku nanti. Tanpa sadar aku menjilat bibir karena mulutku berliur. Ketika aku melihat wajah Kevin, senyum geli pria itu memukul kesadaranku. Namun aku tidak perduli, dia tidak tahu kalau istrinya sering membuatku kelaparan di rumah ini meski aku sudah bekerja keras. "Ayo buka mulutmu," perintah Kevin. 'Menyebalkan. Bagaimana ia bisa tahu jika aku bisa menolak apa pun, tapi tidak akan sanggup menolak makanan lezat. ' Dan Kevin pandai menangkap kelemahanku. Baiklah, rupanya dia mempermudah aku membalas Mei. Bersiaplah Mei, sekarang rasakan apa yang ibuku rasakan. Terbakarlah seperti ibuku dahulu. Nikmatilah jilatan api yang bernama cemburu. "Katakan A.... " Kevin memajukan garbu ke mulutku bersama wajahnya ke arahku. Siapa pun yang melihat maka mereka pasti mengira dia ingin menciumku. Dan aku tidak bisa menyia-nyiakan kesempatan ini. "Aku bisa makan sendiri Daddy, " ucapku sambil menunduk. Menunggu paksaannya sehingga Mei menjadi lebih terbakar. "Ayo Cerry. Jangan menolak suapan dari daddy mu." Terima kasih Kevin. Aku tidak menolakmu sekarang. Aku membuka mulutku. Menanti sendok lezat itu mampir di mulutku. Namun kenakalan Kevin tidak berhenti di sana. Dia memperlambat laju sendok yang ia pegang. Mata gelapnya seolah-olah menikmati bibirku yang terbuka. Aku tidak tahan lagi. ''Hap. Hmmmhh..." Aku sudah mendapatkan bagian terlezat dari fettucini di mulutku. Creamnya yang lembut, aroma patterseli, lada dan cheese, oh ini surga. Sangat enak seolah semuanya meleleh di mulutku. Eh...? Mataku membola melihat ulah Kevin selanjutnya. Bagaimana ceritanya ibu jari Kevin mampir di bibirku. Dia mengusap-usapnya seduktif bagian terlembut tubuhku selain bibir bagian bawah. Saat aku menatapnya, sudut bibirnya terangkat lebih tinggi dari sudut bibir satunya. "Kau makan seperti anak kecil. " Ahahaha aku tertawa dalam hati, sungguh luar biasa pria ini. Andai ada yang bisa menggambarkan bagaimana wajah Mei saat ini, itu pasti menyenangkan. Senyum di wajahnya sudah sangat kaku. Matanya membentuk bulan sabit tapi penuh dengan bara api sedangkan rahangnya mengetat. Lihat saja pegangan sendok dan garbunya. Aku bahkan bisa melihat urat menonjol di tangannya yang mengepal. Dia benar - benar marah atas ulah suami genitnya. Rasakan itu, meski aku tahu akan mendapat masalah dari wanita cemburu tapi aku tak keberatan. "Daddy makan juga ya, lihat Bibi Mei juga sudah menyiapkan makanan untuk Daddy." "Aku tidak mau, " tolaknya. Aku menatap heran ke arahnya, seolah ada tanduk yang muncul di kepalanya. Begitu pula dengan Mei. "Sayang, apa makanannya kurang cocok dengan seleramu? Kenapa kau menolak makan?" tanya Mei dengan suara mendesah yang dibuat - buat. "Bukan. Itu karena aku tidak dimanjakan oleh putrimu. Seharusnya dia menyayangiku dan menyuapi aku makanan. " Kembali sikap ajaibnya membuatku ternganga. Siapa pula anaknya, dia itu ibu tiriku yang tidak ada kaitannya denganku. Apalagi dia juga pembunuh ibuku. .."Ta-tapi... " Aku menatap Mei seolah minta tolong. Ekspresi wajah ku buat sebingung mungkin. Lalu menunduk seperti gadis yang patuh dan hanya mendengar perintah. Padahal dalam hati aku sangat menyukai sikap Kevin yang membuat Mei kesal setengah mati. "Sayang, Jingga pasti lapar. Biar aku--- akh!" Deg. Apa tadi? Sesaat aku merasakan tekanan yang menakutkan. Itu memancar dari tubuh Kevin yang sekarang duduk dengan anggun dan tenang. Dan yang mengejutkan, wajah Mei memucat dengan tangan yang bergetar. Sikap Mei menciut seperti melihat malaikat pencabut nyawa. 'Siapa sebenarnya pria ini?' batinku. "Ji - jingga sayang, maukan kau menyuapi daddy-mu, Nak. Kita kan keluarga. " Perubahan sikap yang signifikan ini tidak bisa lepas dari kecurigaanku. Aku harus menyelidiki siapa sebenarnya Kevin dan apa sebenarnya hubungan mereka berdua. Ini adalah hubungan teraneh yang pernah aku lihat. Aku menjilat lidahku, perasaan tertantang ini sangat menyenangkan. Terutama kali ini aku bisa membalas Mei sedikit demi sedikit. Membuatnya tersiksa dan menjebloskannya ke dalam penjara meski tidak yakin bisa mendapatkan bukti untuk memasukkannya ke dalam penjara atau tidak. Setidaknya dia juga merasakan apa yang ibuku rasakan. "Kemarikan bibirmu Daddy, " ucapku. Dia menurut. Matanya menatapku dengan cermat, bibirnya juga melengkung ke atas. "Katakan A..., " Aku menyuapi Kevin dengan steak yang disiapkan oleh Mei. Tapi Kevin mengangkap tanganku. Meletakkan garbu dan membuatku mengambil daging itu dengan tanganku sendiri lalu menyuapkan ke mulutnya. Dia menghisap jari-jariku, menjilat bumbu yang menempel di sana. Deg. "Daddy...?" gumanku sok polos. Tapi dalam hati aku menikmati perlakuan Kevin. Aku menikmati kecemburuan Mei. Yah, inilah yang dirasakan ibuku dulu. Tapi ini belum seberapa dari yang Mei lakukan. Pembalasanku tidak berhenti di sini. Serangan yang menyakitkan adalah ketika kau menjerit kesakitan karena hatimu terluka. Itu pembalasan yang aku pilih bersama niatku sebelumnya. "Bi, kau tidak makan? " "Oh, eh... Tentu saja aku akan makan. " "Daddy? Makannya pake sendok ya? " saranku yang seolah hal tadi bukan apa - apa. "Makanan jauh lebih lezat jika dimakan langsung menggunakan tangan. " Bagus Kevin, teruskan membuat wanita itu terbakar. Tek. Tek. Suara potongan daging Mei terdengar mengerikan. Aku membayangkan jika wanita itu ingin memotongku seperti steak itu. Dan lirikan Kevin kembali menghentikan tindakan Mei. Sungguh aku kasihan dengan wanita itu. Sedari tadi dia mencoba menarik perhatian suaminya. Bisa dilihat betapa besar usahanya agar Kevin melihat ke arahnya. Apalagi dari segi berpakaian. Dress one piece biru tanpa tali. Ketat dan sebatas pertengahan paha. Sangat menggiurkan bagi pria normal mana pun. "Aku sudah selesai, " ucap Mei kemudian. "Di mana sopan santun mu. Aku dan Jingga belum selesai jadi tetap di sana. " "Iya... " jawabnya lemah. Hilang sudah wanita penuh percaya diri yang dulu berdiri angkuh di sisi ayahku. Digantikan wajah yang menunduk karena terhina berkali-kali oleh suaminya sendiri. "Bibi, aku sudah memindahkan barang-barang mu ke kamar sebelah ayah. Aku tidak ingin kenangan tentang ayah berubah. Jadi kalian bisa bermalam di kamar sebelah ayah itu. " Mata Mei tiba-tiba bersinar cerah. Dia hampir melonjak karena senang. "Aku tidak bisa tinggal di sini, Cerry. " Rupanya Kevin menolak tawaranku, rupanya pria ini cukup tahu diri. Besok aku akan mulai mencari tahu siapa pria ini sebenarnya. Tetap saja sekarang aku harus berpura - pura manis dan baik hati. "Eh? Memangnya kenapa Daddy? Bukankah seharusnya kalian tinggal bersama?" tanyaku bingung. "Aku tidak tidur di rumah orang lain. Aku akan pulang ke rumahku sendiri. " Aku suka prinsipnya, andai saja wanita di sisimu itu melakukan hal serupa. "Apa Bibi juga ikut denganmu? " Aku menatap kedua orang itu bergantian. "Tidak. " Sekali lagi Sasuke mengatakan jawaban yang tidak terduga. Lihat saja wajah Mei, dia menjadi sangat pucat. Bukankah mereka pengantin baru? "He...? " ''Sudahlah Jingga. Kami memang sepakat tidak tinggal bersama demi menjaga pandangan dari masyarakat. Bagaimana pun, Momy menikah terlalu cepat. Padahal ayahmu baru meninggal sebulan lebih. " Kebohongan yang konyol. Jika demikian mengapa wajahnya sekarang seolah ingin menangis. Dia seharusnya tahu jika mau menikah dengan pria lain maka harus menunggu waktu iddah. "Kau sungguh mulia, Bibi Mei. " "Sudahlah. Aku masih lapar. Suapi aku lagi, Cerry. " Makan malam pertama dengan keluarga baruku sungguh mengesankan. Aku jadi tidak sabar menantikan hari-hari berikutnya. Yang pastinya penyiksaan di hati Mei jauh lebih menyenangkan untuk disaksikan. Meski aku tahu konsekwensinya tapi itu layak. Yah aku yakin jika Mei akan menyiksaku akibat kesal sudah diabaikan oleh suami yang ia cintai. "Lebih baik bibi Mei yang menyuapi Daddy," saranku. "Tidak. Aku mau kau." Aku kembali bersikap seolah tak berdaya. Namun tertawa senang dalam hati. Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD