Two

2039 Words
9 bulan sebelum Fake Marriage ♤♡◇♧   Seorang gadis berambut ikal sebahu berjalan riang keluar dari basemen Atlantic Apartement--apartemen mewah di pusat kota tempat tinggal Crisann. Dia adalah Briana Elizabeth. Panggil saja dia Bri. Dia sahabat baik Crisann, berasal dari daerah yang sama dan juga bersama-sama merantau ke ibu kota 13 tahun yang lalu. Dia seorang sarjana ekonomi, pekerjaannya saat ini adalah mengelola sebuah toko bunga bernama Saras Florist. Alasannya nyaman dan bangga menjalani pekerjaan tersebut meski ia seorang sarjana selain karena mencari lowongan pekerjaan di zaman milenia dan serba online itu susah, dia juga memang sangat menyukai bunga. Warna bunga selalu mampu menyejukkan mata dan wangi bunga selalu bisa menenangkan hatinya yang resah. Terlebih ketika merindukan saudara kembarnya yang begitu menyukai bunga mawar putih. Briana berusaha mempercepat langkah kakinya agar bisa lekas sampai di lantai tempat unit apartemen milik Crisann berada. Dulu saat Crisann berhasil memenangkan salah satu unit apartemen mewah yang dijadikan taruhan dalam sebuah perjudian, laki-laki itu selalu memaksa gadis itu untuk tinggal di apartemen ini. Namun tinggal bersama dengan seorang laki-laki penakluk wanita semacam Crisann adalah mimpi terburuk bagi Briana. Katakan dia sahabatnya, kekasih mendiang saudara kembarnya. Namun Crisann tetaplah pria dewasa dan Briana adalah wanita dewasa yang saling memiliki hasrat ilmiah. Ah, sudahlah. Tak perlu dijelaskan panjang lebar di sini. Dengan napas tersengalnya, Briana menyeka dahinya yang tak berkeringat. Briana sangat kesal sehingga memaki dalam hatinya karena lift meringsek sangat lambat. Sesampainya di lorong lantai 34 yang sepi, Briana berpapasan dengan seorang wanita berdandan menor dan super seksi. Wajahnya tidak asing di netranya. Ah, mungkin artis yang sering muncul di layar sinetron favorit ibu Saras, pemilik toko bunga yang ia kelola selama ini. Sebentar, sedang apa artis berbadan aduhai itu melewati lorong ini. Batin Briana bertanya. Tidak ada tanda-tanda pintu unit tertutup di lorong ini. Aah, Ada aroma tak sedap menusuk rongga penciumannya. Sesampainya di depan pintu sebuah unit di balik lorong tadi, Briana mengepalkan tangan kanannya lalu menekan bel unit 1717 dengan tangan kirinya tak sabaran. Bug! Sebuah tonjokan berhasil Briana layangkan ke wajah laki-laki maskulin di hadapannya. Laki-laki itu hanya berdecak kesal lalu menyingkir dari hadapan Briana. "Artis itu dari unit kamu?" bentak Briana saat wajah tampannya tak terganggu sama sekali oleh emosi Briana yang sudah ada di ubun-ubun. "Jangan ikut campur urusanku!" jawab laki-laki yang tak lain adalah Crisann itu dingin. Briana menelusuri unit apartemen Crisann. Tujuan pertamanya adalah kamar utama yang ditempati oleh Crisann. Dan laki-laki itu sama sekali tidak memedulikan apa yang dikerjakan oleh Briana di kamarnya. Dia membiarkan saja Briana memasuki kamar pribadinya. "Ini punya siapa?" Dengan malas Briana menunjukkan sebuah bra warna merah menyala tepat di depan wajah Crisann. Membuat aktivitas Crisan menuangkan jus jeruk ke dalam gelas bening di tangannya sampai tertunda. "Siapa yang ngijinin kamu untuk membongkar kamarku?" Hardiknya lalu melanjutkan menuangkan minuman berwarna kuning pekat itu. "Damn!" Maki Crisann saat Briana mengguyur kepalanya dengan minuman segar yang hendak ia teguk. Tangan Crisann sudah melayang hendak menampar Briana. Namun dia mengurungkan niatnya saat Briana malah menyodorkan wajah untuk ditampar dengan sukarela. Laki-laki berwajah dingin itu kembali mengumpat. Tubuh tingginya menghilang ke dalam kamar. Tanpa berpikir panjang Briana mengekori langkah Crisann ke dalam kamar. Dari tempatnya berdiri, Briana melihat Crisann sedang membuka kausnya. Punggung lebar dengan tato pedang samurai membentang sepanjang tulang ekor Crisann membuat langkah Briana terhenti begiti saja. Gadis itu menikmati punggung polos itu sejenak, lalu memukul kepala dengan telapak tangannya sendiri. Mengenyahkan pikiran kotor yang akan membusuk jika terlalu lama disimpan di otak. Crisann terkejut bahkan terlonjak kaget saat melihat Briana sedang mematung di daun pintu kamarnya. "Bee, ngapain kamu di situ? Aku mau ganti baju!" Bentaknya dengan nada kesal. Briana menahan tawa, melanjutkan langkah memasuki kamar. "Don't call me, Bee. My name is Bri, Briana. Mungkin Anda lupa!" ucapnya tepat di hadapan Crisann. Menunduk sedikit Crisann menjawab, "why? Mau Bri, mau Bee kek, sama aja buat aku," dengan acuh dia mengatakan hal itu. "Aku nggak suka kalau kamu selalu memandangku sebagai Bee, aku pengen dipandang sebagai Bri. Briana, not Bianca!" Briana berteriak histeris sambil berjinjit di depan wajah Crisann. Terang Briana sampai harus berjinjit. Laki-laki di hadapannya itu memiliki postur tubuh dengan tinggi badan 185cm. Berbanding terbalik dengan tubuh Briana yang memiliki tinggi badan hanya 155cm. Tanpa perlu komando, air mata Briana tumpah dengan mudahnya saat berteriak pada Crisann sesaat yang lalu. "Sorry, Bri. Oke, aku nggak akan panggil kamu Bee lagi. Stop ya, jangan nangis lagi." Crisann mengusap air mata di pipi Briana dengan jari telunjuknya. "Apa kamu mencintai dia?" "Siapa?" Lihatlah! Pertanyaan Briana yang ambigu atau memang dugaannya benar kalau Crisann berhubungan dengan banyak wanita. "Ada berapa perempuan sih yang ada dalam hidup kamu, Crisann?" Crisann tertawa, hingga mata sipitnya semakin mengecil membentuk sebuah garis. "Artis yang tadi kamu tiduri itu? Apakah kamu mencintainya?" Tawa Crisann mereda. "Namanya Juanita," jawabnya sambil melangkah menuju lemari pakaian. "Whatever lah. Apakah kamu mencintainya?" tanya Briana lagi sambil mengekori kemana pun Crisann melangkah. Langkah Crisann berhenti tepat di hadapan Briana. "Wo ai ni*," katanya. Briana tahu itu hanya jawaban bercanda ala Crisann. Ia lalu menghilang di balik pintu kamar mandi. Suara klik pada pintu kayu itu cara halus mengusir Briana dari kamar ini. "Baju buat kamu tampil malam ini udah aku siapin, Cris. Aku ada urusan ke tempat lain," seru Briana dari balik pintu kamar mandi. "Loh, kamu nggak ikut aku dan Aaron malam ini?" Teriak Crisann. "Aku ada kepentingan lain, Cris." "Biar Aaron yang menemanimu, Bri!" "No, thanks. Aku bisa sendiri kok." "Briana! Kamu batu banget! Ini Jakarta bukan Singkawang! Jangan nekat keluar malam sendirian." "Dan aku sudah lebih dari 13 tahun hidup di kota ini. Ah, sudahlah..., aku sedang buru-buru nih. Bye, Cris!" "Terserah kamu sajalah. Ponsel jangan sampai off. Hati-hati Bee. Eh sorry, maksudku, Bri." Terdengar dengan sangat jelas laki-laki itu sedang menahan tawa di dalam sana. Sialan, maki Briana. "Ngapain lo di sini?" tanya sahabat sehidup semati Crisann saat melihat Briana keluar dari kamar utama. Namanya Aaron. Dia juga berasal dari kota yang sama dengan Crisann dan Briana. "Menurut lo?" jawab Briana. Aaron menarik lengan Briana dengan kasar. Membuat gadis mungil itu oleng dan terjatuh di atas sofa. Aaron tiba-tiba saja membungkuk di atas Briana. Kini wajahnya tepat berada di depan wajah Briana. Bahkan deru napas hangat Aaron dapat dirasakan menerpa kening Briana. "Mau ngapain lo?" Briana tidak bisa berbuat apa-apa karena Aaron sudah mengunci tubuhnya. Meski Aaron tidak setinggi Crisann, tapi tetap saja dia lebih tinggi dan lebih besar tentunya dari Briana. "Jangan ganggu Cris lagi. Mending lo gangguin gue aja!" Aaron menaik turunkan alis kanannya dan tersenyum smirk. Bola mata Briana terangkat ke atas, menatap malas pada laki-laki yang masih bertahan di atasnya. Aaron tertawa lalu melepaskan kunciannya. ♤♡◇♧ -Nina- Suara dentuman musik bar malam ini membuatku tak ingin buru-buru meninggalkan malam. Tiga bulan bekerja di eN plywood membuat kepalaku hampir pecah. Setahuku belum pernah terdengar masalah seperti ini sebelum-sebelumnya, tapi lihatlah sekarang? Tuhan seperti sedang mengujiku saat ini. "Cukup, Nha! Ini sudah botol kedua lo!" Sahabatku sekaligus pemilik pub ini mengingatkan sudah berapa liter alkohol yang masuk ke lambungku. "Gue belum sober kok." Aku merebut kembali botol wisky yang telah berada di tangan Anya. Menuangkan cairan berwarna kuning keemasan itu ke dalam gelas kristal berbentuk kotak yang berisi es batu di tanganku. "Frustrasi banget kayaknya sama kerjaan lo?" Anya ikut menuangkan minuman beralkohol tinggi itu ke dalam gelasnya sendiri. "Dastan emang kampret lah. Dia bener-bener tega sama gue." Anya terbahak mendengar keluh kesahku tentang mantan pacarnya itu. Sial. "Masih dendam aja dia sama lo?" "Dibawa ke akhirat kali dendamnya ke gue." "Sabar! Tapi gue yakin, dia nggak akan pernah bener-bener ninggalin lo sendirian ngadepin setiap persoalan perusahaan. Gue tau, dedikasinya tinggi banget sama perusahaan papi lo." "I know that." Tatapanku menyapu pub milik Anya yang pernah dihancurkan Dastan beberapa tahun yang lalu. Sudah banyak perubahan. Tawaku tertahan saat tatapanku berhenti pada laki-laki yang sedang khusyuk di depan meja DJ, di lantai yang lebih tinggi dari posisi dance flor. "Dj baru lagi, Nya?" Aku asing dengan laki-laki itu. Sekembalinya dari Milan aku hanya beberapa kali mengunjungi pub ini, dan tak pernah melihat aksi DJ tersebut di sini. "Dj lama kok. Cuma orangnya memang aneh. Moody banget. Kadang muncul, nanti ngilang lagi. Nih aja dia udah tiga bulan menghilang. Tau-tau WA gue kemarin pengen main malam ini. Banyak fansnya sih, jadi selalu gue kasih tempat deh. Menguntungkan pub gue juga," jelas Anya yang aku balas dengan mengangguk paham. Dua kata penilaianku dari laki-laki yang malam ini mengenakan kaus oblong warna putih bersih itu, tampan dan dingin. Meski dia tengah tersenyum, tapi senyumnya sengit dan tatapannya menyimpan banyak luka yang teramat dalam. "Gue dengar dari member pub cewek, dia penakluk wanita dan anti komitmen, tapi banyak perempuan yang rela mengantri untuk dia bawa ke ranjang hangatnya." "Sialan! Kosakata lo baku bener, kayak buku pedoman penelitian, Nya." Anya tertawa mendapat penilaian dariku. Anya meninggalkanku di meja bar. Pandanganku masih fokus menatap laki-laki yang sedang memainkan jemarinya dengan cekatan di atas lempengan hitam. Luka apa yang ia pendam, hingga membuat tatapannya terlihat sarat akan kehampaan seperti itu. ♤♡◇♧ -Cris- Satu setengah jam bermain dengan alat-alat disk jockey, kaus putih gue sudah basah total. Aaron menyerahkan kaus berwarna serupa sebagai pakaian ganti untuk gue. Di parkiran, pandangan gue menangkap bayangan seorang perempuan sedang berjalan sempoyongan ke arah sebuah mobil. Sampai-sampai membuat gue mengurungkan niat masuk ke mobil demi bisa melihat lebih jelas wajah perempuan itu. Arrgh... tapi gagal. Posisi gue saat ini lebih dari sepuluh meter dari perempuan itu, pandangan gue pasti kabur di jarak segitu. Akhirnya hanya bisa memerhatikan perempuan tersebut dari jauh tanpa bisa melihat dengan jelas wajah perempuan tersebut. Entahlah, hati gue merasa iba dengan mudahnya. Seorang perempuan, sendirian, datang ke pub, pulang dalam keadaan mabuk. Kalau nggak setres karena pekerjaan pasti karena patah hati ditinggalkan oleh kekasihnya. Gue hendak melangkah ingin membantunya, tapi lagi-lagi langkah ini seperti ada yang menahan. Perempuan berambut sepunggung itu berhenti di samping Audi berwarna hitam mengkilat. Dilihat dari mobilnya, pasti dari kalangan kelas menengah ke atas. Perempuan itu terlihat sedang mengaduk isi tas jinjingnya. Hingga dia terduduk di atas paving parkiran. Sepertinya apa yang dicarinya nggak kunjung ketemu. Dia seperti sedang bersungut kesal. Membuat gue tak kuasa menerbitkan senyum melihat gestur tubuhnya yang lucu menurut gue. Langkah gue kembali tertahan saat melihat wanita lain menghampiri perempuan mabuk itu. Mereka berdebat sebentar, lalu wanita yang baru datang itu mengambil alih tugas menyetir mobil. Menit berikutnya Audi hitam tersebut menghilang dari pandangan gue. Untungnya mobil dikendarai oleh orang yang sadar, bukan oleh perempuan sedang mabuk itu. Kenapa gue jadi merasa lega ya? Aneh. Hardikan Aaron menyadarkan gue untuk segera masuk mobil. Tak melanjutkan lagi memikirkan orang asing yang baru saja berlalu dari hadapan gue. Sesampainya di apartemen, gue memutuskan untuk tidur. Gue lelah dan suntuk hari ini. Belum lagi sejak tadi Briana belum menghubungi gue sama sekali. Meski Briana bukan kekasih gue, gadis itu selalu dalam pengawasan dan perlindungan gue selama di kota besar ini. Kalau sampai terjadi apa-apa sama dia, gue yang bakal digorok pakai mandau oleh keluarganya yang memang kebanyakan asli suku Dayak. Arrgghh... Briana di mana sih lo. Gue melempar ponsel di atas nakas dengan kesal, karena kontak telepon Briana masih nggak juga bisa dihubungi sejak tadi. s**t! "Bee, itu kamu?" Tiba-tiba gue seperti sedang berada di nirwana. Seorang perempuan yang sangat gue kenal sedang mengulurkan tangan, menyambut kedatangan gue. Namun semakin gue mendekat, perempuan berambut seleher itu justru berjalan mundur. Semakin gue mendekat, dia terus mundur dengan kedua tangan terulur ke depan badannya, seolah ingin gue gapai kedua tangannya. "Bee, awas! Biancaaa!?" Sebuah truk menghantam tubuh Bianca dari arah belakang. Sinar lampu truk menyilaukan pandangan gue. Membuat gue otomatis menutup mata dengan tangan. Tak lama seseorang mengguncang tubuh gue dengan cukup keras. "Lo mimpi Bianca lagi?" tanya Aaron setelah berhasil menyadarkan gue sepenuhnya. Gue hanya mengangguk lalu beranjak menuju jendela kamar. "Bri udah bisa dihubungi?" "Udah. Dia ada di kosan dari jam sembilanan. Trus ketiduran. Ponselnya mati, makanya nggak bisa lo hubungi. Gue udah bilang kalo lo marah banget sama dia sekarang," jelas Aaron. Gue berdecak kesal menanggapi penjelasan Aaron. Jam digital di atas nakas menunjukkan pukul empat pagi. Gue baru tertidur dua jam-an kalau gitu. Pantes kepala gue pening hebat gini. *** ^makvee^    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD