Three

1791 Words
8 bulan sebelum Fake Marriage -Cris- Saat main di Violet Bar and Cafè, gue nggak menemukan keberadaan perempuan yang pernah gue lihat mabuk di parkiran beberapa minggu yang lalu. Gue lalu memutuskan menuju hotel yang empat bulan lalu membuat gue kaya dalam sekejap juga membuat gue sadar untuk tak segera mengakhiri hidup gue yang nggak memiliki arti ini. Gue lupa nama hotel itu. Goddamnit lah dengan nama hotelnya, yang penting seberapa besar uang yang bisa gue hasilkan malam ini. Itu point pentingnya Namun dewi fortuna lagi ngambek sama gue, duit sepuluh juta gue raib dalam waktu sekejap. Sial. "Lo sih sok main bersih." Gue menanggapi ucapan Aaron dengan gelak tawa. "Sekali-kali lah berperan jadi protagonis," jawab gue. "Yakin nih nggak mau main lagi?" tanya Aaron memastikan keputusan gue. Gue menggeleng malas. "Kita pulang aja." Sepanjang perjalanan pulang, gue lebih banyak diam. Aaron mengerti kesuntukan gue, dia memilih mengemudikan mobil dengan baik, membiarkan gue larut dalam keheningan. Kangen kamu, Bee. Mantra itu yang terucap kala gue mulai memejamkan mata sesaat yang lalu. Samar gue mendengar suara lembut itu berteriak memanggil nama gue. "Cris, jangan tinggalin aku. Kumohon, Cris!" "Kita nggak bisa bersama, Bee. Mending sekarang kamu pulang. Turuti perintah orang tuamu yang akan mengirimmu ke Jepang untuk kuliah. Kamu tidak akan sejahtera bila bersamaku, Bee." "Jangan pergi, Cris!" Brakkk.... Suara dentuman kendaraan dan pecahan kaca mobil berhamburan di tengah jalan raya. "Bee...bangun, Bee...Biancaaa!" Sebuah guncangan menyadarkan dan membangunkan gue dari mimpi buruk itu lagi. "Lo mimpi Bianca lagi?" Gue mengangguk sambil mengusap kening gue yang penuh peluh. Napas gue masih tersengal hebat saat ini. "Iya....gue masih suka mimpiin Bianca. Tapi intensitasnya sekarang lebih sering, Ron. Semoga bukan pertanda buruk." Saat mobil berhenti di basemen apartemen, gue meminta Aaron menghubungi Briana untuk menanyakan keadaan gadis itu. Setelah panggilan telepon ditutup, Aaron mengatakan kalau Briana baik-baik saja. Jam di dashboard mobil menunjukkan pukul empat pagi. Briana biasanya memang sudah bangun pukul segitu. Dari lorong lantai 34, gue melihat dengan samar seorang perempuan sedang berdiri menyandarkan punggung di dinding samping pintu unit apartemen gue. Mata gue memang rabun jauh. Gue kesulitan melihat dari jarak lebih dari sepuluh meter. Tidak ada satupun yang tahu tentang hal ini, bahkan Aaron sekalipun. Namun dari gesturnya gue bisa melihat siapa wanita yang mengenakan pakaian ketat itu. "Juanita," bisik Aaron memberi tahu gue. Seperti mengerti kode alam, Aaron pamit dari hadapan gue. "Lo tidur di mana, Ron?" "Gampanglah." "Kenapa pergi, santai aja lagi." "Santai pale lo pitak. Desahan lo dan Juanita kalah saing sama desahan film bokep di ponsel gue." Gue terbahak mendengar alasan Aaron. Bocah tengil memang. Gue tahu, diam-diam dia suka mengintip gue kencan dari zaman dahulu kala. Berjalan santai dengan satu tangan kanan masuk kantong celana jeans, gue mendekati Juanita yang terlihat semringah melihat kehadiran gue. Dengan rakus dia meraup bibir gue dan lidahnya memaksa masuk ke rongga mulut gue. "Slowdown, baby. Waktu kita masih panjang," ujar gue melepas ciumannya lalu mendorong pelan bahu terbukanya. "Sial! Pindah apartemen dong, baby. Cari yang pintunya pakai keycard atau password aja. Biar akses aku masuk lebih gampang. Jadi aku nggak perlu nunggu kamu datang kayak cleaning service begini kalau mau masuk apartemen kamu. Pegel betis aku," rengeknya dengan suara super manja. Gue mengarahkan ibu jari kiri gue ke arah gagang pintu. Setelah sidik jari gue terdeteksi, pintu terbuka otomatis. "Aku bayar mahal untuk sebuah unit apartemen supaya mendapat privacy dan keamanan bagiku. Jadi nggak sembarang orang punya akses masuk ke apartemen aku." Juanita berdecak keras, masuk terlebih dulu setelah gue persilakan masuk layaknya tuan puteri. Begitu saja sudah sukses membuatnya lupa akan kekesalannya tadi karena telah membuatnya menunggu. Wanita, mudah sekali diperdaya. "Kamu dari mana kelayapan jam segini? Nggak ngantuk?" Gue basa basi ingin tahu alasan Juanita mampir ke tempat gue. "Abis syuting striping. Lokasinya deket sini. Besok syuting lagi, males mau pulang ke apartemen sendiri." Gue menjawab dengan kata oh saja. Membawakan segelas air putih ke ruang tengah, gue berlutut di bawah kaki Juanita. "Mananya yang pegel?" Perempuan itu cemberut manja, membuat gue gemas dengan bibir mungilnya yang mengerucut. "Betis," jawabnya dengan senyum tertahan. Mulai gue urut betis kanannya dengan lembut. Dia hanya menggumam keenakan. Pijatan gue semakin naik, sesekali gue memberi kecupan ringan di sekitar pahanya. Juanita mendesah saat tangan gue mengurut pahanya yang hanya dibalut dress ketat. Sengaja Juanita menaikkan dressnya itu, memberi akses pada tangan gue mencapai tempat tujuan sebenarnya alih-alih mengurut betisnya. Menggelinjang kegelian, Juanita menggigit bibir bawahnya menahan gairah, membuat hasrat gue terpancing untuk menginginkan lebih dari sekadar memijatnya malam ini. Gue cuma laki-laki biasa, bukan titisan Nabi yang mampu menjaga hasratnya dengan baik. Desahan mulai meluncur dari bibir mungil Juanita, saat gue sudah membuka kedua pahanya, dan wajah gue sudah berada di jarak 10 cm saja dari pusat kenikmatannya yang masih dibalut G-string warna hitam. Pinggulnya terangkat sedikit saat gue mengecup pelan inti tubuhnya yang masih tertutup rapi. Sedang malas foreplay lama-lama malam ini, tangan gue terulur untuk melepas G-String laknat itu. Memberi kecupan, jilatan dan usapan lembut hingga area wanita Juanita terasa licin dan lengket oleh cairan kenikmatannya sendiri. Juanita mendesah dan mengumpat saat dua jari gue bergantian dengan lidah gue mengoyak lubang paling rahasianya. Jari gue terus bergerak, ingin tahu kenikmatan seperti apa yang akan dia berikan pada junior gue malam ini. Tubuh Juanita sedikit melengkung, saat tusukan gue semakin dipercepat. Gue menarik kedua jari gue saat sadar dia akan mencapai puncak kenikmatan pertamanya. "f**k!" Maki mulut manisnya. "Kamu pikir aku pria baik yang akan membiarkanmu menikmati kenikmatan itu sendirian?" Gue menarik tangan Juanita lalu mengangkat tubuh mungilnya. Kedua kakinya terlilit erat di pinggang gue. Juanita menciumi bibir gue dengan rakus. Seolah besok berciuman itu ada pajaknya. Sesampainya di kamar, gue melempar tubuh langsing itu. Juanita memekik erotis. Melucuti sendiri pakaian yang ia kenakan. Membuat tubuh bugilnya mendamba untuk segera disentuh oleh tangan biadab gue. Melakukan hal serupa gue melucuti pakaian gue sendiri. Gue menarik sabuk dari sela celana, merangkak mendekati tubuh Juanita yang tengah telentang. Tak seperti biasanya, perempuan itu nggak langsung menyerahkan kedua tanganya untuk gue ikat. "Bisa nggak sih, kali ini aja tanganku nggak terikat. Sumpah, Cris, aku ingin menyentuh tubuhmu saat kita bercinta." Gue menatap datar padanya. Dia mulai bertingkah dengan protesnya. Crisann Abraham tidak pernah menyukai penolakan. "Kalo kamu sudah bosan aku antar mencapai kenikmatan hingga nirwana, silakan keluar dari apartemenku detik ini juga. Oya, jangan pernah tinggalkan barang pribadi kamu lagi seperti waktu itu. Aku tau, kamu sengaja meninggalkan bramu di kamarku hari itu," ujar gue dingin lalu bangkit dari tempat tidur. "Please, Cris. Maafin aku. Janji, aku nggak bakalan nolak lagi dan meninggalkan barang pribadiku di apartemen kamu. With my pleasure," ujarnya dengan suara mendesah sambil menjulurkan kedua tangannya sukarela untuk gue ikat. "Good girl!" ujar gue lalu mengambil sabuk yang sempat gue buang sembarang di lantai. Sentuhan demi sentuhan gue berikan di sekujur tubuh Juanita. Dia hanya bisa menggelinjang dan mendesah pasrah. Apalagi bila sentuhan itu gue iringi dengan kecupan mesra, meninggalkan jejak panas di seluruh kulit Juanita. Bibir mungilnya senantiasa mengumpat, yang membuat gairah gue semakin terpancing mendengar umpatan kecilnya. Tangannya yang terikat terulur untuk menyentuh rambut gue saat jari gue memainkan puncak payudaranya. "Don't touch me!" Bentak gue lalu menahan kedua tangan terikat Juanita di atas kepalanya. Bibir gue menggantikan tugas tangan gue yang memegangi kedua tangan Juanita. Mengisap lalu menggigit kemudian menjilat benda mungil berwarna kecoklatan itu. Cukup lima menit gue memberi Juanita kenikmatan semu. Bila berlama-lama gue yakin kalah sebelum perang. Karena tubuh gue terlampau lelah kali ini. Kedua kaki perempuan binal itu membuka lebar tanpa gue perintah melihat gue sedang merobek pembungkus permen karet untuk junior gue. Kedua tangannya teronggok pasrah di atas kepalanya. Membelai puncak kepalanya, gue melesakkan junior gue ke dalam liang paling hangat di muka bumi ini. Semakin dalam hingga ujung junior gue menyentuh dinding liangnya. Juanita mendesah erotis ketika gue terus memompa tubuhnya. Hentakan gue semakin kencang saat kewanitannya menjepit milik gue. "I wanna c*m, baby," desah Juanita. Seketika junior gue dilimpahi cairan kehangatan milik Juanita. Gue melenguh menahan diri supaya tidak terpancing untuk keluar juga. Gue merebahkan tubuh menghimpit tubuh Juanita. Hingga gue bisa merasakan kulit lembutnya yang telah basah oleh peluh dan ludah gue. "I wanna c*m, baby." Ganti gue yang mengatakan mantra itu. "Inside me, baby." Jawaban Juanita membangkitkan gairah gue. Lenguhan panjang gue teriakkan saat mendapatkan pelepasan. Gue roboh di samping tubuh Juanita. Kebiasaan gue, setelah puas hanya akan membantu pasangan gue melepas pengikat di tangannya lalu meringkuk di balik selimut. Seperti sekarang ini. Silau sinar matahari mengganggu tidur nyenyak gue. Jam digital di atas nakas menunjukkan pukul tujuh pagi. Juanita sudah nggak ada dalam dekapan gue. Derit pintu kamar terbuka membuat gue berpaling dari jendela. "Breakfast please." Juanita mendorong pintu kamar dengan tubuhnya. Dia masuk kamar membawa nampan berisi sarapan untukku. Gue menyunggingkan senyum miring melihat hasil sajian perempuan yang tidak pernah bisa menghidupkan kompor gas itu. Sepotong sandwich, jus jeruk dan air putih." "Thankyou," jawab gue meraih nampan yang ia sodorkan. Tanpa ragu, gue melahap sandwich buatan Juanita. Di gigitan ketiga, jantung gue terasa sesak. Ingin memuntahkan isi mulut gue, tapi tenggorokan gue seperti tercekat. "f**k! Kamu kasih apa sama makanan ini Juan?" Gue mulai menekan jantung gue dengan telapak tangan. "Sebuah peringatan kecil untuk kamu, baby. Tanda cinta dariku." "Tanda cinta moyang lo! Damn!?" Gue mulai menyumpah serapahi perempuan ular ini. "Aku terlalu cinta sama kamu, Cris. Aku juga terlalu yakin kamu akan menghempaskan aku seperti wanita yang pernah kamu kencani dulu. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu, Cris." Juanita mengusap pipi gue yang sudah penuh keringat dingin karena menahan sakit luar biasa di sekujur tubuh gue. "Jangan pernah tinggalkan aku, Cris. Kalau kamu mau janji, aku akan memberi penawar racun yang sedang menyesap di sela pembuluh darahmu. Penawarnya hanya ada padaku. Efek bekerjanya cukup lama sih. Enam jam dari sekarang. Kamu punya masa hidup selama itu untuk memikirkan kembali hubungan kita." "What the f**k! Perempuan gila. Lo mau bunuh gue, huh?" "Aku tidak berniat untuk membunuh kamu, baby. Aku hanya memberikan sedikit pelajaran pada orang yang aku cintai." "Taiiiikk," gue terbatuk saat mengumpat. Darah segar menyembur dari mulut gue. Juanita tersenyum setan. "Sekarang aku berangkat syuting dulu, nggak lama kok. Cuma ambil satu scene aja. Bertahan ya, baby. Oiya, minum air putih yang banyak. Itu membantu sedikit untuk menetralisir racun yang mulai menembus jantung kamu. Sedikit memperpanjang usiamu setengah sampai satu jam." Gue hendak menarik tangannya. Yang ada gue terjatuh dari ranjang. Tak kuat menahan sakit yang menusuk jantung gue. "I love you, Cris," Juanita mengecup bibir gue yang masih penuh darah. Perempuan gila itu menjilat bibirnya yang terkena bekas darah gue. "Darah kamu sama manisnya dengan s****a kamu ya, baby," ucapnya lalu melenggang meninggalkan gue tergeletak di lantai. Cuma satu orang yang bisa membantu gue untuk membuang racun dari tubuh gue ini. Briana. *** ^makvee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD